Bab 8
Saat Devan membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah Erica yang duduk di atas tubuhnya.
Wajah cantik gadis itu penuh dengan kegembiraan.
Berbeda dari ingatannya, Erica yang ada di depannya kini telah tumbuh dewasa.
Gadis di hadapannya terlihat anggun dan menawan.
Baik dari segi penampilan maupun postur tubuh, semuanya sangat indah.
Matanya yang besar menatap Devan tanpa berkedip.
"Kamu sudah jadi gadis besar sekarang, nggak boleh duduk sembarangan di atas tubuhku lagi."
Devan menggelengkan kepala, mengingatkan dengan nada lembut.
"Nggak mau! Dulu aku sering duduk di atas Kakak, sekarang juga!"
Erica yang bertingkah manja, langsung memeluk Devan erat-erat.
Wajah mungilnya menempel di dada Devan.
Kedua kaki panjangnya melingkari tubuh Devan.
Dia seolah takut kakaknya akan pergi lagi.
Sejak Devan pergi, Erica merasa sangat sedih.
Dia selalu ingin pergi menemui Devan, tetapi orang tuanya melarang.
Mau bagaimana lagi? Karena begitu Devan masuk ke Keluarga Atmaja, mereka seakan sudah hidup di dua dunia yang berbeda.
Pernah suatu kali Erica nekat pergi mencari Devan sendirian. Namun, dia diusir oleh Keluarga Atmaja.
Sudah tiga tahun dia tidak bertemu dengan Devan.
"Sudahlah, aku benar-benar nggak akan pergi lagi. Kamu tenang saja!"
Devan mengusap rambut Erica dengan lembut sambil tersenyum.
"Benarkah?"
Erica mengangkat kepalanya sambil bertanya penuh harap.
"Aku nggak pernah berbohong padamu."
Devan menjawab dengan tulus, lalu menatap Erica sebagai bentuk keyakinan.
Setelah mendengarkan hal itu ....
"Yay!"
Erica pun melepaskan pelukannya, lalu mulai melompat-lompat kegirangan di tempat.
Devan hanya bisa menggelengkan kepala, tidak bisa menahan senyum.
Pada saat itu.
Suara Rania terdengar dari luar kamar.
"Ayo bangun dan sarapan!"
Devan dan Erica pun akhirnya keluar dari kamar.
Setelah Devan selesai mencuci muka dan bersiap-siap, dia duduk di meja makan bersama yang lain.
Sarapan pagi itu sederhana, hanya semangkuk bubur panas, telur goreng, serta sayuran.
Meski begitu, bagi Devan ini rasanya seperti menikmati hidangan mewah.
Di Keluarga Atmaja, dia tidak pernah sekali pun makan makanan hangat!
"Setelah sarapan nanti, aku akan membawamu membeli beberapa baju baru."
"Kopermu bahkan nggak ada baju kotornya. Sepertinya kamu nggak membawa pakaian apa pun dari Keluarga Atmaja, ya?"
Rania memutuskan sendiri ingin mencuci pakaian Devan.
Namun, saat dia memeriksanya, isinya sangat sedikit!
Setelah berdiskusi dengan Benny, mereka berdua menebak bahwa Devan tidak membawa apa pun dari Keluarga Atmaja.
Hal ini makin menunjukkan betapa tegas sikap Devan terhadap keluarga itu.
"Aku juga mau ikut!"
Erica langsung berseru merajuk pada Devan, ingin ikut bersamanya.
"Kamu baru saja masuk sekolah, bukannya belajar dengan baik, malah ingin ikut bersenang-senang!"
Rania menegurnya dengan mata melotot.
"Huh, aku cuma ingin bermain dengan Kakak!"
Erica mengerucutkan bibirnya, terlihat sedikit kesal.
"Nggak apa-apa. Hari ini adalah libur, 'kan? Biarkan saja dia bersenang-senang. Yang penting kita semua senang!"
"Selain itu, nilai Erica di sekolah juga bagus. Anggap saja ini sebagai hadiah untuknya!"
Benny segera tersenyum sambil mencoba menenangkan suasana.
"Baiklah. Kamu memang selalu memanjakan dia!"
Rania menggelengkan kepala, tetapi akhirnya setuju.
Devan melihat pemandangan di depannya ini sambil tersenyum lebar.
Inilah suasana sebuah keluarga yang sebenarnya!
"Kak, aku masuk peringkat sepuluh besar di sekolah! Ayo, cepat puji aku!"
Erica memeluk lengan Devan, lalu menggoyang-goyangkannya dengan antusias.
"Erica hebat sekali. Kamu adalah panutanku. Aku harus bekerja keras agar bisa menyamai prestasimu!"
Devan memuji Erica sambil tersenyum.
Dengan ujian akhir yang tinggal sebulan lagi, Devan sadar bahwa dirinya juga harus mulai belajar lebih giat belajar.
Setelah selesai makan.
Benny pergi ke toko untuk bekerja.
Sementara itu, Rania dan Erica bersiap-siap untuk pergi berbelanja.
Devan menaruh koper dan ranselnya di kamar, lalu bersiap untuk pergi.
Saat itulah dia menyadari ada lebih dari sepuluh panggilan tak terjawab di ponselnya.
Selain panggilan dari kakak tertuanya, Desi. Ada satu lagi nomor yang dikenalnya.
Ini adalah nomor Karin Atmaja, kakak ketiganya!
"Ternyata dia ...."
Devan menyipitkan matanya. Ada sedikit perasaan kecewa yang terlintas di hatinya.
Di Keluarga Atmaja, Fredi dan Sonia selalu bersikap dingin, selalu acuh tak acuh terhadap Devan.
Desi, kakak tertuanya, sibuk dengan urusan perusahaan. Jadi mereka jarang berinteraksi.
Sementara itu, kakak keduanya, Liana, selalu bersikap seperti Marco.
Dia akan selalu menghujat dan mengejek Devan setiap harinya.
Dia akan selalu mempermalukan dan merendahkannya!
Namun, Karin ini sedikit berbeda.
Karin adalah orang paling cerdas di Keluarga Atmaja. Dia berhasil masuk ke Universitas Buana, menjadi kebanggaan Keluarga Atmaja.
Meski dia tidak pernah menghina Devan dengan sengaja, dia juga tidak pernah menunjukkan perhatian khusus padanya.
Karin lebih sering berada jauh dari rumah, jarang sekali tinggal di rumah.
Dia sibuk dengan kuliahnya di tahun terakhir, sedang bersiap untuk melanjutkan studi pascasarjana.
Namun, kenapa sekarang dia menelepon Devan?
Setelah berpikir panjang, Devan memutuskan untuk tidak menghubungi balik.
Bagaimanapun juga, Devan telah memutuskan hubungan dengan Keluarga Atmaja, tidak ingin ada urusan lagi dengan mereka.
Meski Karin menghubunginya karena ada alasan tertentu, Devan merasa berhak menolaknya.
Setelah bersiap-siap, Devan pun pergi bersama Rania dan Erica menuju ke mal.
Pada saat yang sama.
Di kediaman Keluarga Atmaja.
"Bagaimana? Dia masih belum mengangkat teleponnya?"
Desi bertanya dengan wajah tegang, dahinya sedikit berkerut.
"Ya."
Karin menarik napas panjang, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Dia mengenakan pakaian olahraga berwarna hitam, tampak penuh semangat dan vitalitas.
Wajah cantiknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Desi dan Liana.
Pagi ini, dia kembali ke rumah untuk mengambil beberapa dokumen. Namun, dia malah mengetahui masalah yang sedang terjadi di Keluarga Atmaja.
"Setelah semalaman nggak ada kabar, kemungkinan besar dia nggak akan pernah kembali lagi kalau dia nggak kembali hari ini."
Karin berkata penuh arti.
"Apa maksudmu?"
Desi tampak sedikit terkejut, lalu bertanya dengan penasaran.
"Dia sudah ditekan selama ini di Keluarga Atmaja. Sekarang, akhirnya dia meledak."
"Menurutmu, kenapa dia harus kembali?"
Karin menjawab sambil mengangkat bahunya.
"Ini adalah rumahnya. Dia punya masa depan yang cerah menunggunya kalau berada di Keluarga Atmaja. Kenapa dia nggak kembali?"
Desi terlihat tidak mengerti.
Karin hanya mengerucutkan bibirnya, tampak ragu untuk berbicara.
Meski dia tidak sering berada di rumah akhir-akhir ini, dia juga tidak buta.
Karin tahu dengan baik bagaimana Keluarga Atmaja memperlakukan Devan.
Awalnya, Karin menganggap Devan hanyalah seseorang yang lemah, yang akan selalu menerima perlakuan buruk tanpa perlawanan.
Karin juga tidak terlalu peduli padanya.
Namun, tindakan Devan semalam benar-benar membuat Karin terkejut.
Seolah-olah persepsinya tentang Devan berubah total!
"Kalau ada sesuatu yang ingin kamu katakan, katakan saja. Jangan buang-buang waktu!"
"Kalau Ayah dan Ibu nggak melihat Devan kembali, mereka pasti akan marah besar. Kita semua nggak akan ada yang tahu apa akibatnya!"
"Selain itu, Marco juga akan terkena dampaknya. Kalau dia juga pergi dari rumah, itu akan menambah masalah lagi!"
Desi menjelaskan masalah ini dengan nada analitis.
Biasanya, Desi dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Bagaimanapun juga, dia adalah salah satu orang yang berkuasa di Grup Atmaja.
Namun, beberapa hal rumit yang tidak ingin dia tangani dengan orang tuanya, membuatnya meminta Karin untuk menganalisis situasi.
Karin dikenal sebagai orang dengan kecerdasan yang luar biasa di Keluarga Atmaja.
Dia adalah satu-satunya orang di keluarga mereka yang berhasil masuk ke Universitas Buana.
Pada saat ini.
Karin hanya bisa menghela napas dengan penuh keputusasaan.
Ketika mendengarkan ucapan Desi, dia bahkan merasa hal itu cukup menggelikan.
"Jadi, kamu ingin dia kembali?"
Karin bertanya dengan tegas.
"Tentu saja! Dia adalah bagian dari Keluarga Atmaja, darah keluarga ini mengalir dalam tubuhnya. Kalau dia nggak kembali, itu akan mempermalukan kita!"
"Kalau dia mulai menyebarkan identitasnya sebagai anggota Keluarga Atmaja, reputasi kita akan terancam!"
Desi berkata dengan nada dingin.
"Kalau dia kembali, apakah kalian akan terus memperlakukannya dengan buruk?"
Karin bertanya dengan nada tak acuh.