Bab 10
Mobil ini adalah mobil Keluarga Atmaja!
Devan sudah melihatnya berkali-kali di rumah Keluarga Atmaja.
Mobil ini dibeli khusus oleh Fredi untuk mengantar Marco ke sekolah.
Karena ruangnya besar, mobil ini sering dipakai untuk berbagai hal.
Namun, Devan tidak pernah sekali pun menaikinya!
Tak peduli di bawah terik matahari ataupun hujan deras.
Marco selalu memiliki sopir pribadi serta mobil khusus untuk menjemputnya.
Sementara itu, Devan harus berjalan sendiri menembus hujan atau panas terik untuk pergi ke sekolah.
Meski tubuhnya basah kuyup atau kepanasan hingga hampir pingsan, tidak ada seorang pun yang peduli.
Mobil ini selalu menjadi milik Keluarga Atmaja, mobil khusus untuk Marco!
"Kita sudah memutuskan hubungan, kenapa masih mencariku?"
Mata Devan memancarkan aura dingin saat dia menatap satu per satu orang yang keluar dari mobil.
Termasuk juga kakak ketiganya, Karin, yang jarang sekali dia temui.
"Jangan berpura-pura di sini. Apa kamu nggak merasa sikapmu penuh kepalsuan?"
"Apakah kamu pikir kami nggak tahu apa niatmu? Kesepakatan itu sama sekali nggak memiliki kekuatan hukum!"
"Bukannya kamu hanya ingin mendapatkan lebih banyak, jadi kamu memilih untuk mempertaruhkan segalanya?"
Liana melirik dengan mata yang dingin, bahkan tak mau memandang langsung pada Devan.
Sejak dia mengetahui rencana kecil Devan, dia merasa sangat muak dengan pria ini!
Pikirannya yang licik membuat Liana merasa kesal!
"Berhenti bicara sembarangan!"
Sonia memotong perkataan Liana, kemudian melangkah maju.
Dia ingin mendekati Devan untuk melihat luka di kepalanya.
Namun, Devan secara refleks mundur untuk menjaga jarak.
"Bu Sonia, kalau ada yang ingin dibicarakan, cepat katakan. Aku nggak ingin seluruh orang di lingkungan ini tahu kalau aku punya hubungan dengan Keluarga Atmaja."
Kata-kata dingin Devan langsung menyelimuti suasana di tempat itu.
Seketika itu juga, suasana menjadi sedingin es.
"Memang kenapa kalau seluruh orang di lingkungan ini tahu? Apa punya hubungan dengan Keluarga Atmaja malah jadi aib bagimu?"
Liana berteriak penuh amarah.
"Bu ... Bu Sonia?"
Sonia merasa terkejut, tidak bisa segera merespons.
Dia tidak menyangka panggilannya akan berubah seperti ini.
"Kami yang terlalu terburu-buru bersikap pada peristiwa kemarin. Bagaimana kalau kita kembali?"
"Kita semua adalah keluarga, masalah apa yang nggak bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik?"
"Meski kamu memiliki banyak kebiasaan buruk ...."
Sonia mengerutkan keningnya, menyadari bahwa dia sudah salah bicara lagi. Kemudian, dia langsung menghentikan kalimatnya.
Sebagai seorang Ibu, tentu saja dia tahu perbedaan perlakuannya terhadap kedua anaknya.
Namun, Devan sudah tinggal jauh dengannya selama 15 tahun. Kecuali hubungan darah, mereka tidak memiliki ikatan emosional.
Sebaliknya, Marco berbeda. Dia adalah anak yang dibesarkan oleh Sonia sendiri.
Dia melihatnya tumbuh dewasa sedikit demi sedikit.
Dalam segala hal, Marco adalah orang yang sempurna.
Dia beradab, berpengetahuan, berbudi luhur, serta bermoral.
Sejak mengetahui bahwa Devan berasal dari kalangan bawah, Sonia khawatir kalau Devan tidak bersih. Baik itu dalam hal tindakan, perkataan, maupun hati.
Jika bisa berubah, itu akan bagus. Namun, kalau dia sampai memengaruhi Marco, semuanya akan hancur!
Sonia mengerucutkan bibirnya sambil menatap Devan yang ada di depannya.
Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini adalah anak kandungnya, jadi dia harus bertanggung jawab.
"Aku yang salah. Mulai sekarang, aku akan memperlakukanmu dengan baik dan membimbingmu."
"Ayo kita pulang, oke?"
Sonia dengan gugup mengulurkan tangannya, seolah ingin menggandeng tangan Devan.
Matanya tampak penuh harap, menunggu jawaban dari Devan.
Ketiga putri Keluarga Atmaja yang berada di belakangnya juga menatap Devan, menunggu apa yang akan dilakukan pria itu.
Jika Devan menggandeng tangan Sonia, itu berarti dia setuju untuk kembali.
Bagaimanapun juga, ibunya sudah merendahkan dirinya, memberi Devan kehormatan!
Apa lagi alasannya untuk menolak?
Namun ....
Devan hanya berdiri diam di tempatnya, dengan tenang menatap Sonia.
Tatapan itu sangat dingin, seolah-olah dia sedang melihat orang asing.
"Pulanglah!"
Suara Sonia sedikit bergetar, membawa sedikit tangisan yang tertahan.
Dia kembali mengangkat tangannya, menunggu tanggapan Devan.
"Sudah selesai?"
Devan bertanya tanpa ekspresi.
Kemudian, dia berbalik untuk melangkah pergi, mengabaikan semua reaksi.
Ini membuat semua orang terkejut, langsung melongo tak percaya.
Mata Sonia dipenuhi dengan air mata, sementara wajahnya penuh ketidakpercayaan.
Anaknya sendiri, benar-benar menolak dirinya?
Benarkah dia sekejam itu?
"Devan, apa maksudmu?"
"Kami nggak memintamu untuk meminta maaf padaku, atau memintamu meminta maaf pada Marco, itu saja sudah bisa dibilang menghormatimu!"
"Kepada siapa kamu ingin menunjukkan gayamu yang memuakkan ini?"
Liana akhirnya tak bisa menahan diri, langsung memaki.
Dia bahkan ingin maju untuk memberi pelajaran pada Devan, tetapi Desi di sampingnya menariknya. Jadi dia tidak bisa maju.
"Menghormati? Aku nggak butuh kehormatan ini, nggak perlu memberiku kehormatan palsu seperti ini!"
"Soal permintaan maaf, haha ...."
"Jadi kamu masih berharap aku meminta maaf?"
Langkah Devan terhenti, tak bisa menahan diri untuk menoleh.
Dia benar-benar merasa semua ini sungguh lucu.
Hubungan mereka sudah sampai pada titik ini, tetapi orang-orang ini masih berharap untuk berdebat dengannya.
Apakah otak mereka tidak bekerja dengan baik?
"Nggak perlu meminta maaf, sungguh nggak perlu. Asal kamu mau kembali, aku akan setuju dengan apa pun!"
Sonia melihat Devan menghentikan langkahnya. Hatinya kembali bergetar, lalu dia segera berseru.
"Oh?"
Devan mengangkat alisnya, tertawa sinis, lalu berkata, "Kalau begitu suruh Marco pergi!"
"Apa?"
Semua merasa orang terkejut hingga menarik napas dingin.
Tak disangka, Devan masih bersikap seperti kemarin.
"Apa kamu benar-benar berpikir kami datang untuk memohonmu kembali?"
"Ibuku sudah merendahkan dirinya seperti ini. Kalau kamu nggak memanfaatkan kesempatan ini, kamu nggak akan punya kesempatan lagi nanti!"
"Siapa pun yang otaknya normal pasti akan setuju!"
Liana berkata dengan marah.
"Apa yang otaknya nggak normal itu aku? Kemarin aku sudah bilang dengan jelas. Kalau dia pergi, aku akan tinggal. Kamu yang sebaiknya memeriksakan otakmu."
Devan menunjuk ke arah kepala Liana dengan nada yang penuh makna.
"Dasar bajingan! Siapa yang kamu maki?"
Hati Liana seperti direbus, kemarahannya langsung membuncah.
Berani-beraninya orang ini memakinya!
Selama tiga tahun tinggal di Keluarga Atmaja, kapan Devan berani melawan?
Sekarang dia bahkan berani mengatakan hal seperti ini!
"Ya, aku bajingan. Kalau kamu mengakui aku punya hubungan dengan Keluarga Atmaja, itu berarti Keluarga Atmaja adalah sekumpulan bajingan!"
Devan tidak bisa menahan tawanya, tidak peduli dengan penghinaan kali ini.
Meski dia dirugikan dalam proses melukai orang-orang ini, tetapi ucapan ini membuat Devan merasa puas.
"Devan, pikirkan sekali lagi. Apa kamu benar-benar nggak mau kembali? Ibu benar-benar nggak bisa melepaskanmu!"
"Marco juga Ibu yang membesarkannya sendiri. Dia adalah anak Ibu, bagaimana mungkin bisa dipisahkan?"
"Jangan buat Ibu makin sulit. Aku mohon, kembalilah bersamaku. Kita mulai lagi dari awal!"
Sonia berkata sambil terisak. Matanya basah, sementara tatapannya penuh dengan permohonan.
"Bu Sonia, aku bisa mengerti perasaanmu. Bagaimanapun juga, pasti akan tumbuh rasa kasih sayang yang mendalam meski hanya merawat seekor anjing di rumah."
"Tapi kamu sama sekali nggak pernah memberiku setitik pun cinta. Aku bahkan nggak sebanding dengan seekor anjing!"
"Kalau yang paling kamu cintai adalah Marco, kenapa harus mempersulitku? Bukankah berpisah adalah hal yang baik untuk semua orang?"
Devan mengangkat bahunya, tertawa ringan dan santai.
Tanpa sedikit pun kesedihan atau rasa tidak rela.
Dia sudah lama melihat wajah Keluarga Atmaja dengan jelas.
"Bagaimana bisa kamu mengatakan hal seperti itu? Marco nggak melakukan kesalahan apa pun. Kenapa dia harus dipaksa meninggalkan rumah karena kamu?"
Desi mengernyitkan keningnya, bertanya dengan suara dingin.
"Di dunia ini, mana ada banyak alasan seperti itu?"
"Nggak peduli seberapa banyak penjelasan yang aku berikan pada kalian, itu nggak ada gunanya. Lebih baik kita akhiri di sini."
"Seperti yang aku katakan kemarin, kita adalah orang asing. Bukankah itu bagus?"
Devan berkata dengan tulus.