Bab 6
Cintia melihat nama penelepon dan mengerucutkan bibirnya.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia menjawab panggilan telepon.
Ujung jarinya menyentuh layar dan ponsel diangkat ke telinganya.
Bahkan sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata pun, Hasan langsung mengutuk.
Hasan adalah pecundang yang hanya berani menindas orang lemah. dia selalu merasa keponakannya mudah dikendalikan, sehingga dia berani membentak, "Cintia, tahukah kamu seberapa besar dampaknya terhadap pasar saham Grup Wright setelah kabar perceraianmu dengan Yovan diumumkan?"
"Selain itu, kenapa 47% saham Grup Wright tiba-tiba dialihkan dari investor ritel ke namamu? Kapan kamu dan Sovia membeli properti itu? Kenapa aku nggak melihatnya di surat wasiat ayahmu?"
"Cintia, sia-sia aku dengan tulus melindungimu setelah orang tuamu meninggal, kama malah menceraikan Yovan tanpa bilang padaku dan meninggalkan masalah untuk Grup Wright!"
Hasan sudah bersabar selama dua puluh tahun demi mendapatkan Grup Wright dan menjadi penguasa yang sesungguhnya.
Dia mengira setelah Harto meninggal, kedua putri Harto tidak akan mampu menstabilkan situasi sama sekali dan segala harta termasuk perusahaan atau properti akan berada di bawah namanya.
Di luar dugaan, Harto membuat rencana.
Semua usahanya selama bertahun-tahun sudah menjadi lelucon besar.
Tidak ada manfaat sama sekali!
Dia pernah diinjak-injak sebelumnya dan sekarang dia masih diinjak-injak. Perasaan ini menyakitkan bagi siapa pun.
Cintia meremas ponselnya dan tidak terburu-buru menjawab.
Ketika masih hidup, ayahnya selalu menoleransi adik laki-lakinya yang tidak punya keahlian, memberi rumah dan mobil untuk sang adik dan bahkan memberi sebuah posisi santai di perusahaan, dengan dividen yang dibayarkan setiap tahun.
Pada akhirnya, ayahnya bernasib seperti ini.
Ini sungguh konyol.
Cintia menghela napas panjang, udara dingin masuk ke dalam hidungnya hingga membuatnya menggigil.
Dia mengejek dengan nada acuh tak acuh, "Hasan, bukankah lucu kalau kamu mengulas apa yang kamu katakan?"
"Kamu selalu memainkan peran sebagai orang yang tak tahu apa-apa dan tak memiliki pengetahuan. Kamu sudah mendapatkan kepercayaan ayahku dan bantuan ayahku. Kamu sudah memiliki cukup makanan dan pakaian. Apakah ada hal lain yang membuatmu nggak puas? Tanpa ayahku, apakah kamu pikir kamu punya kemampuan untuk mendapatkan pijakan di Kota Bedo dan masih ada orang yang akan memanggilmu Pak Hasan dengan hormat saat kamu keluar?"
Cintia tidak menunggu reaksi Hasan dan lanjut berkata lagi.
"Saat menikmati kemewahan yang ayahku berikan kepadamu, apa yang kamu lakukan? Berpura-pura tak bersalah, diam-diam membeli saham dari investor ritel, menunggu tibanya hari untuk memaksa ayahku melepaskan perusahaannya. Paman, ini benar-benar taktik yang bagus."
"Memang kenapa kalau aku punya real estat? Itu jaminan yang ditinggalkan ayahku untukku. Apakah itu ada hubungannya denganmu? Mana mungkin tertulis di surat wasiat? Di masa-masa terakhir hidup ayahku, Paman sibuk membeli saham, jadi tentu saja tak tahu ayahku meninggalkan wasiat dan meninggalkan begitu banyak jaminan untukku dan Sovia, 'kan?"
"Hasan, apakah menurutmu nggak konyol kalau kamu menanyaiku sekarang? Apa hak kamu?"
Ini pertama kalinya Hasan dituding dan dimarahi oleh seorang junior sehingga dia sangat marah.
"Aku pikir kamu dan Steve menggunakan cara licik untuk mendapatkan barang-barang yang seharusnya menjadi milikku!"
Cintia benar-benar tidak bisa menahan tawanya sekarang.
"Milikmu?" Dia membungkuk karena tertawa, "Kamu benar-benar pandai berpikir dan berani berpikir. Apakah itu adalah milikmu?"
"Menurutku Paman benar-benar tak tahu malu."
Bagaimana Hasan bisa dengan mudah menguasai aset yang diperjuangkan orangtuanya dengan bekerja keras seumur hidup?
Dia tidak tahu apa yang membuat Hasan berani mengucapkan kata-kata yang tidak tahu malu seperti itu.
Hasan tidak khawatir itu akan membuat orang mentertawakannya.
Sebelum Cintia menyusun kata-katanya, dia mendengar kata-kata yang seperti sebilah pisau tajam menusuk jantungnya.
Pada musim hujan itu, dia berdiri di tengah angin dan hujan.
Rintik-rintik air hujan jatuh di pakaiannya, meresap dan menembus kulitnya, membuatnya menggigil.
"Cintia, berkali-kali aku merasa kasihan padamu. Kamu hanya seorang wanita terlantar yang ditinggalkan oleh Yovan. Yovan sudah tak menginginkanmu lagi dan kamu sudah diusir oleh Keluarga Shaw. Aku tak tahu apa yang kamu sombongkan?"
"Kamu sudah tiga tahun menikah dengan Yovan. Selain membiarkannya menidurimu dengan gratis selama tiga tahun, apa lagi yang kamu punya? Selain dipenuhi amarah yang tak terkatakan dan hati yang disiksa suami hingga hancur, apa lagi yang kamu punya? Dalam situasi seperti ini, kamu masih mau memperebutkan sesuatu dengan paman yang sudah melindungimu dari kecil hingga dewasa. Bahkan kalau aset itu berada di tanganmu, kamu tetap tak bisa menjaganya. Coba lihat sendiri, bukankah kamu konyol?"
Cintia tiba-tiba tertawa.
Hasan sebenarnya benar.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Yovan, dialah yang selalu berupaya sendirian untuk mempertahankan pernikahan tanpa cinta itu.
Mata Cintia memerah dan dia menggigit bibir bawahnya.
Saat dia hendak berbicara, ponsel di tangannya diambil dan dia menatap sepasang mata yang suram.
Telepon ditutup pada detik berikutnya.
Mata Cintia berkilat keheranan dan tertegun.
Yovan mengembalikan ponsel itu ke tangannya, lalu mengerutkan kening dan seolah bertanya, "Kamu nggak bisa membalas?"
Cintia tersenyum getir, "Semua yang dia katakan itu benar, bagaimana aku bisa balas?"
Suaranya sangat lembut, bagaikan embusan angin yang bertiup dan dia juga terbawa angin itu.
Ada sedikit kerumitan di mata dingin Yovan.
Tapi, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya berbalik dan berjalan menuju Maybach yang menunggu tidak jauh dari saa.
Cintia tahu setelah malam ini mereka akan menjadi dua garis paralel dan tidak akan pernah bertemu lagi.
Jadi, dia dengan berani memanggilnya untuk terakhir kalinya.
"Yovan, apa kamu ingat hari ini hari apa?" Hari pernikahan mereka, hari yang hanya diingat oleh Cintia.
Yovan yang sedang membuka pintu mobil pun berhenti sejenak. Beberapa gambaran terlintas di benaknya, tapi dia tidak bisa mengingatnya.
"Apa itu?"
"Ulang tahun pernikahan kita," katanya.
Beberapa adegan muncul di depan mata Yovan.
Melihat tatapannya, Cintia sudah mempunyai jawabannya di dalam hatinya.
Dia tidak ingat dan dia tidak tahu.
Dia mengambil beberapa langkah ke depan dan meraih ujung bajunya.
"Kita sudah menikah selama tiga tahun. Faktanya, tahun ini adalah tahun keempat. Aku merayakannya selama tiga tahun sendirian." Suaranya tercekat oleh isak tangis dan dia mengerucutkan bibirnya. "Mari kita habiskan ulang tahun pernikahan terakhir bersama, hanya karena kita pernah menjadi suami istri."
Yovan menganggapnya lucu, "Cintia, agak konyol kalau masih membicarakan ulang tahun pernikahan setelah perceraian."
Cintia mengangguk, "Memang agak konyol."
Air hujan berjatuhan di bulu matanya yang panjang, membuat matanya lebih jernih dan cerah.
Nada suaranya penuh permohonan, "Tapi, kita nggak berbulan madu saat menikah dan nggak pernah merayakan hari raya yang layak. Kabulkanlah keinginanku hari ini ... anggap saja memberi akhir cerita indah yang palsu pada mimpiku yang takkan jadi kenyataan."