Bab 4
Molly lupa daratan. Cintia sudah menceraikan Yovan dan bukan lagi nyonya muda Keluarga Shaw. Grup Wright bukan lagi Grup Wright di masa lalu. Cintia sudah kehilangan semua keunggulannya.
Nada suaranya menghina dan penuh sarkasme, "Cintia, apa kamu pikir kamu bisa memenangkan cinta Yovan dengan berkorban tanpa pamrih selama empat tahun? Memang kenapa kalau aku sebenarnya bukan penyelamatnya? Aku mendapat bantuan dari ibu angkatku, ketika kamu bercerai, pada akhirnya aku akan menjadi istrinya."
Tubuh Cintia sangat sakit sehingga dia tidak mempunyai kekuatan untuk berbicara dan tangannya terkepal erat. Butir-butir keringat terus mengucur di keningnya, wajahnya sepucat kertas dan dia menggigit bibir atas dan bawahnya erat-erat, menahan rasa sakit yang datang dari seluruh tubuhnya.
Molly memperhatikan ekspresinya dan tersenyum bersama pembantu di sampingnya.
"Nona Cintia, kamu pandai berakting, kenapa kamu nggak terjun ke dunia hiburan? Tuan Muda sudah pergi jadi tak bisa melihat penampilan luar biasamu lagi."
Molly merasa geli.
"Cintia, apakah kamu masih terjerumus dalam mimpi dan belum bangun?" Molly tampak tidak percaya. "Apakah kamu masih mengira kamu adalah putri sulung kesayangan Keluarga Wright? Maafkan aku karena harus memberitahumu kenyataan yang kejam ini. Kamu sudah bukan yang dulu, ayahmu yang memberimu status tertinggi sudah meninggal. Kamu nggak lagi memiliki keputusan akhir di perusahaan kalian. Nona muda Keluarga Shaw bukan lagi kamu. Kamu hanyalah badut dan pecundang yang malang."
Molly mengulanginya berulang kali. Cintia merasa kepalanya berat dan bayangan ganda muncul di depan matanya.
Pembantu memandang Cintia dengan jijik. Dia akhirnya mendapat kesempatan dan tentu saja dia tidak akan menyerah.
"Nona Cintia, kenapa kamu melebih-lebihkan kemampuanmu? Tuan Muda tak akan percaya apa pun yang kamu ucapkan. Cobalah kamu pikirkan, dalam tiga tahun sejak kamu menikah dengan Tuan Muda, kepercayaan Tuan Muda padamu sudah lama terkikis habis olehmu."
Cintia menggertakkan gigi dan berjalan ke pinggir, dia ingin meninggalkan vila Keluarga Shaw dulu.
Sebelum melangkah, dia terjatuh ke tanah dingin, di sampingnya ada kaki yang baru saja ditarik.
Yang baru saja berbicara adalah si pembantu. Dia berkata dengan nada meminta maaf, "Maaf Nona Cintia, aku nggak melihatmu."
Cintia merasakan sakit yang menjalar dari anggota tubuh dan tulangnya, rasa sakit itu menyelimutinya.
Setiap inci tubuhnya terkoyak, bahkan tulangnya pun seolah terbakar menjadi abu.
Melihat penampilannya, Molly berlutut dan mengangkat dagunya dengan jari agar dia memandang Molly.
Suara yang sampai ke telinganya lembut dan pelan, "Cintia, tahukah kamu betapa menyedihkannya kamu sekarang?" Nadanya penuh rasa kasihan pada orang lemah, tapi kata-kata yang diucapkannya sama sekali berbeda, "Kamu seperti gelandangan yang diusir dan dimaki semua orang!"
Detik berikutnya, dia melepaskan tangannya, berdiri dengan dipapah pembantunya, lalu mengambil saputangannya dan menyeka jari-jarinya dengan kuat seolah-olah dia sudah menyentuh sesuatu yang kotor. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa jijik.
Mata Cintia memerah, sangat kontras dengan kulitnya yang pucat.
Di berjuang untuk bangun.
Rasa sakit yang menusuk tulang menyerang pinggangku.
"Hei gelandangan, masih nggak bangun? Kami terlalu berangan-angan."
Pembantu mengerti lirikan Molly dan menendang perutnya tanpa ragu.
Cintia tersentak, perutnya ditendang hingga membuatnya tidak bisa bangun.
Molly berseru dan pura-pura memarahi pembantu, "Apa yang terjadi? Matamu buta sekali. Apakah kamu nggak tahu kalau Nona Cintia baru saja keguguran?" Dia menyentuh dagunya dan berpikir, "Pasti sakit, 'kan?"
Cintia menatap ketiga majikan dan pelayan itu, amarah membara di matanya.
Molly merasa itu sudah cukup dan dia benar-benar tidak punya tenaga untuk bermain lagi.
"Oke, sudah cukup. Jangan berakting lagi. Kak Yovan sudah pergi. Sekalipun dia ada di sini, dia nggak akan merasa kasihan padamu. Kenapa membuang-buang waktumu?"
Saat itu, ada suara berisik di pintu.
"Kesabaranku terbatas." Mata dingin Steve Lincoln menatap pengawal yang berdiri kokoh di depan pintu dan sisa kesabarannya hilang. "Kuberi kalian dua pilihan, biarkan aku masuk atau kujatuhkan kalian dan kalian datang ke perusahaanku untuk meminta biaya pengobatan pada asistenku."
Para pengawal di pintu masih saja bergeming. Rasa haus darah melintas di mata Steve dan dia menjatuhkan mereka semua dalam tiga pukulan. Ketika dia memasuki vila Keluarga Shaw, dia melihat Cintia tergeletak di tanah dan segera menggendong Cintia.
"Cintia!" Dia menggendong Cintia dan menatap tajam ke arah Molly dan yang lainnya yang sedang menyaksikan. "Molly, tunggu saja balas dendam dariku. Paman Harto memang sudah meninggal, tapi Cintia bukannya nggak punya pendukung."
Menghadapi ancaman Steve, Molly mencibir tanpa rasa bersalah dan menjadi semakin sombong.
"Harto sudah mati. Siapa lagi yang bisa melindunginya dari Keluarga Wright? Kamu? Siapa kamu?"
Merasa gadis di pelukannya semakin melemah, Steve menggendong Cintia dan meninggalkan vila.
Cintia masih sadar, tapi dia tak bisa berbicara. Mula-mula dia mendengar suara Steve, kemudian suara itu melayang di udara dan menghilang bersama aliran udara.
....
Cintia terbaring di ranjang rumah sakit.
Dia mengalami mimpi yang sangat panjang, sangat nyata dan sangat membahagiakan.
Di bermimpi tentang banyak peristiwa masa yang bukan drama tunggal dia.
Dia bilang tidak akan datang, tapi nyatanya dia datang hari itu.
Kesedihan di wajahnya hilang saat dia muncul. Cintia menyunggingkan senyuman terindah dalam beberapa hari itu karena dia mendapat sinar bulan terindah di dunianya.
Sayangnya, itu adalah mimpi yang sangat nyata. Bagaimana mimpi bisa menjadi nyata?
Dia tidak datang, akhirnya tetap tidak datang.
Ada bau disinfektan yang menyengat di hidungnya dan Cintia menganggapnya familier. Di saat yang sama, diiringi suara detak mesin medis, dia perlahan membuka matanya.
Rasa sakit di tubuhnya menyerangnya, hampir menenggelamkannya.
Steve yang sedari tadi berada di sisinya langsung berdiri saat melihatnya bangun, "Cintia, kamu sudah bangun."
Di matanya ada kekhawatiran yang sudah lama tidak dilihat Cintia.
Tampaknya hal itu tidak terlihat sejak Harto meninggal dunia.
"Kak Steve ...."
"Apa yang kamu rasakan sekarang? Perlu panggil dokter untuk periksa?" kata Steve sambil menggerakkan tangannya untuk membunyikan bel pengingat di bangsal, "Kamu akhirnya bangun, kamu sudah tidur satu hari satu malam, apa kamu tahu?"
Cintia terkejut, "Aku tidur begitu lama?"
"Ya, itu membuatku takut setengah mati."
Cintia memaksakan senyum. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Dia hanya tahu bahwa dia sedang dalam mimpi yang bahagia. Dia sangat bahagia sehingga dia tidak mau bangun.
Dokter datang memeriksanya dan menyuruhnya istirahat yang cukup.
"Aku jauh lebih baik," kata Cintia.
Steve duduk di kursi di samping, "Ya. Kamu bahkan belum nifas selama sebulan. Di musim hujan yang dingin ini, kenapa kamu berkeliaran di luar?"
Wajah Cintia masih pucat, bibirnya kering dan terkelupas. Dia berkata pada Steve, "Terima kasih, Kak Steve."
"Nggak perlu berterima kasih di antara kita. Saat hidupku sulit, berkat keluarga kalianlah aku bisa kembali ke Keluarga Lincoln dan menjalani kehidupan yang kumiliki sekarang."
Steve tak berani menyebut nama Harto, dia sudah lemah dan tidak bisa mengalami terlalu banyak gejolak emosi.
Dia memapah Cintia duduk dan bersandar di bantal, "Kamu dan Yovan sudah bercerai? Apa yang terjadi?"