Bab 4 Pilihan
Aku mengikuti Indra ke pesta perayaan Dina. Ketika kami bertiga masuk, semua orang di ruangan itu menoleh dan wajah mereka menunjukkan berbagai ekspresi yang beragam.
"Indra, kenapa kamu membawa orang itu?"
"Dia itu selalu membuat keributan dan bersikap berlebihan. Dia selalu memusuhi semua wanita di sekitar Indra, terutama Dina!"
"Dengar-dengar, dia bahkan mencoba bunuh diri karena masalah dengan Dina?"
"Dia memang nggak tahu diri. Bisa menikah dengan Indra saja sudah untung, mana punya hak dia untuk mengatur-ngatur suaminya? Wanita-wanita sebelumnya saja bisa dibilang nggak sebanding dengan Dina, apalagi dia. Apa dia pikir dia layak dibandingkan dengan Dina?"
Suara-suara itu tidak terlalu keras, tetapi aku bisa mendengarnya.
Aku melirik sekilas ke arah mereka dan menduga bahwa mereka mungkin teman Indra atau Dina.
Bagaimanapun juga, mereka semua berada di lingkaran sosial yang sama, jadi aku tidak mungkin salah.
Aku tertawa dingin dalam hati. Tidak heran kalau di usia 25 tahun aku ingin mengakhiri hidupku. Dengan mendengar kata-kata merendahkan seperti ini setiap hari, wajar jika pikiranku menjadi terganggu.
Pasti saat itu aku sangat mencintai Indra, sehingga dalam penderitaan yang terus-menerus, aku merasa begitu sakit hingga ingin mengakhiri hidupku.
Indra dan Dina sudah duduk di tempat yang disediakan untuk mereka, sementara aku berdiri sendirian.
"Apa nggak canggung berdiri sendirian di sana?"
"Kenapa harus canggung? Asal bisa bersama Indra, kamu bisa suruh dia berlutut sekalipun!"
Aku menatap dingin pria yang bergosip itu dan berkata, "Dia belum mati, kenapa aku harus berlutut padanya?"
Ekspresi pria itu langsung berubah. Sepertinya dia tidak menyangka aku berani membalas perkataannya hari ini.
Indra menunjukkan ekspresi jenuh. "Sudahlah, jangan ribut."
Aku sudah dipermalukan oleh orang-orang, tetapi bukannya membelaku, dia malah hanya menyuruh semuanya berhenti ribut.
Aku tertawa kecil dengan nada meremehkan. "Sepertinya aku nggak diinginkan di sini. Aku nggak akan mengganggu kalian lagi."
Setelah mengatakan itu, aku langsung berbalik dan pergi.
Suara terkejut terdengar dari orang-orang di belakangku.
"Apa aku nggak salah lihat? Dia benar-benar nggak mempermalukan Indra!"
"Mungkinkah dia benar-benar sesakit hati itu karena Dina?"
"Aku berani bertaruh, dia nggak akan bertahan lebih dari setengah jam dan akan segera kembali ... "
Aku hanya terdiam.
Suara-suara bising di belakangku membuatku sangat jengkel. Aku pergi ke kolam renang di luar untuk menenangkan diri.
Tidak lama kemudian, Dina tiba-tiba datang.
"Nona Citra, kamu benar-benar membuatku terkesan."
Aku melirik ke belakangnya, memastikan dia hanya sendirian, lalu berkata dengan nada main-main, "Aku sangat membencimu, kamu nggak takut aku mendorongmu ke dalam kolam di sini?"
Dina tersenyum. "Aku malah takut kamu nggak akan berani. Lagi pula, semua orang tahu Indra akan menyelamatkanku."
Aku mengerutkan bibirku, malas menanggapi ucapannya
Dina mendekat ke arahku. "Citra, apa kamu berani bertaruh?"
Aku merasa sangat aneh. "Kalau kalian benar-benar saling mencintai, kenapa kamu nggak menyuruh Indra menceraikanku saja? Dina, apa kamu perlu menghancurkan hati orang lain demi memainkan drama kalian seperti ini? Apa itu yang disebut cinta sejati?"
Ekspresi Dina berubah. "Itu karena kamu yang terus mengejarnya! Kamu bahkan sampai melakukan hal-hal ekstrem seperti mencoba bunuh diri hanya untuk bersamanya. Dia hanya merasa kasihan padamu!"
Tidak lama kemudian, dia kembali tenang dan lembut, lalu bertanya lagi padaku, "Citra, apa kamu berani bertaruh?"
Kolam renang tampak berkilau dan jernih, tetapi sebenarnya sangat dalam.
Aku dengan tegas menggelengkan kepala. "Aku nggak berani."
Aku tidak bisa berenang.
Melakukan hal bodoh seperti bunuh diri sekali sudah cukup, tidak perlu melakukannya untuk kedua kalinya.
Setelah aku berdiri, mataku bertemu dengan tatapan penuh penyesalan dari Dina.
Tiba-tiba, dia yang masih berdiri di belakangku langsung mendorongku dengan kuat.
Plop!
Aku mendengar teriakan di telingaku saat tubuhku menyentuh permukaan air, lalu dengan cepat tenggelam.
Pada saat itu, aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Hanya ada rasa takut yang menguasai seluruh indraku saat air kolam menenggelamkanku dari segala arah.
Tenggorokanku mulai kemasukan air dan paru-paruku terasa semakin berat. Aku berjuang keras untuk berenang ke atas, tapi hanya melihat sosok yang kukenal berenang dengan cepat ke arah yang berlawanan.
Suamiku, Indra, berenang menuju Dina ketika kami berdua jatuh ke dalam air pada saat yang sama.
Hatiku terasa sangat sakit.
Mungkin ini adalah sisa-sisa perasaan terakhir yang ada dalam diriku pada usia 25 tahun ini.
Meskipun aku sudah lama melupakan masa lalu dan tidak lagi mencintainya, tubuhku masih bereaksi secara naluriah.
Namun, kali ini, perasaanku benar-benar tenggelam sepenuhnya.
...
Ketika aku terbangun, aku sudah terbaring di tepi kolam renang.
Aku dan Dina sama-sama diselamatkan, hanya saja dia diselamatkan oleh Indra, sementara aku diselamatkan oleh seorang pria asing.
Dia terlihat cukup tampan.
Aku terbaring di tanah, dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menekan dadaku, mencoba mengeluarkan air yang masuk ke dalam paru-paruku.
Aku memuntahkan air dengan keras.
Dari sudut mataku, aku melihat Indra berjalan mendekat.
Dina masih memeluk dirinya sendiri dengan wajah penuh kesedihan, memandangi punggung Indra yang menjauh dengan tatapan enggan.
Indra sepertinya baru ingat bahwa aku adalah istrinya, lalu dengan kening berkerut, dia bertanya, "Kamu baik-baik saja?"
Aku tidak menjawab, dan berjuang untuk berdiri.
Pria di sebelahku mencoba membantuku, tetapi aku menepisnya. Ketika Indra berdiri di depanku, aku mengangkat tanganku dan menamparnya dengan puas.
Suasana di sekeliling langsung sunyi senyap.
Aku bahkan bisa mendengar napas setiap orang yang tertahan.
"Indra, ayo kita cerai."
Setelah beberapa saat, dalam kesunyian yang mendalam, aku akhirnya mendengar suaraku sendiri.
"Anggap saja tamparan ini sebagai uang kompensasi perceraian dariku, mantan istrimu."