Bab 6
Darel benar-benar terkejut mendengar nada bicara Karla yang berani mempertanyakan dirinya seperti itu. Dia menarik pergelangan tangan Karla dan menyeretnya ke ruang tamu di lantai dua.
"Lepaskan aku!" teriak Karla, berusaha melepaskan tangannya. Air mata yang tidak bisa dia tahan jatuh, mengalir di pipinya dan membasahi bajunya.
"Jadi, seperti ini caramu berbicara denganku?" tegur Darel, nada otoritasnya sontak muncul. "Kamu tahu, semua yang kamu miliki sekarang adalah karena aku yang membantumu?"
Dia mencengkeram pergelangan tangan Karla lebih erat, tak peduli seberapa kuat Karla berontak. Dia bahkan tidak memperhatikan apakah genggamannya terlalu keras atau menyakitinya.
Kata-kata Darel itu membuat Karla tiba-tiba diam.
Beberapa saat kemudian, dia berkata dengan suara serak, "Semuanya karena kamu membantuku?"
Membantunya? Membantu dengan apa?
Membantu menciptakan segunung pekerjaan rumah yang membuatnya harus membereskan semuanya setelah bekerja seharian?
Membantu dengan membuat dia harus memasak makanan rumah hanya karena dia bilang ingin, lalu mengantarnya kepadanya?
"Rumah yang kamu tinggali itu, bukankah setengah uangnya aku yang bayarkan? Saham 25% di Piara itu, kalau bukan karena aku menyetujuinya, kamu kira kamu bisa dapat? Sekarang banyak investor yang ingin masuk ke Piara, tapi aku menolaknya demi kamu. Karla, kamu ini benar-benar nggak tahu berterima kasih, ya?"
Dasar tidak tahu malu.
Pergelangan tangannya terasa sakit. Karla menggertakkan giginya dan berkata, "Darel, lepaskan aku!"
"Kalau aku nggak melepaskan, kamu mau apa?" Mata Darel memerah. "Karla, mulai sekarang, di rumah ini, perhatikan caramu berbicara padaku. Aku nggak peduli bagaimana kamu memperlakukan ibuku atau Cindy, tapi antara kita, kamu lebih baik sadar siapa yang kepala di sini."
"Buang barang-barang tidak berguna itu. Dan perbaiki sikapmu, jangan biarkan emosimu mengganggu pekerjaan."
Setelah berkata begitu, dia melepaskan tangan Karla, seperti membuang sepotong kain usang.
Barang-barang tak berguna ...
Kata-kata Darel yang merendahkan itu menusuk hati Karla. Tanpa bisa menahan diri, dia melontarkan, "Barang-barang tak berguna itu yang membuat Piara bertahan, Darel. Bagaimana kamu bisa dengan mudahnya merendahkan mereka?"
Langkah Darel terhenti. Dia berbalik perlahan. "Apa katamu?"
Karla baru sadar apa yang telah dia katakan. Dia menggigit bibirnya, memilih diam.
Namun, yang dia dapatkan hanyalah tawa mengejek dari Darel. "Karla, kamu benar-benar terlalu percaya diri. Aku akui hasil sulamanmu punya kualitas, tapi kamu pikir kamu ini siapa? Seorang pengrajin top internasional? Daripada bermimpi konyol, lebih baik kamu asah kemampuanmu lagi. Bahkan cacat sesederhana itu kamu biarkan lolos. Kapan kamu bisa jadi terkenal?"
Kata-katanya penuh penghinaan, seakan sudah terbiasa melontarkannya.
Karla mendongak, tatapannya tajam. "Kalau suatu hari aku benar-benar jadi terkenal, apakah kamu akan meminta maaf karena meremehkanku?"
Minta maaf?
Dua kata itu seolah tak pernah ada dalam kamus hidup Darel.
Kalaupun muncul, itu hanya sekadar basa-basi tanpa arti.
Dia tidak pernah merasa dirinya salah, apalagi mengakui bahwa dia bisa berbuat salah.
Darel mengangkat dagu Karla dengan jarinya, memaksa wanita itu menatap matanya. Dengan nada dingin dan pelan, dia berkata, "Kamu nggak mungkin jadi terkenal. Semua pengrajin berbakat, di usiamu, sudah memenangkan penghargaan."
Kata-katanya tajam, bukan hanya menolak untuk mengakui keinginannya, tetapi juga menjatuhkan harga dirinya lebih dalam.
Hati Karla terasa hancur berkeping-keping. Dia membalas dengan suara gemetar, "Kenapa kamu nggak pernah mau mendukungku? Kamu terus menjatuhkanku. Kalau memang kamu pikir aku seburuk itu, kenapa kamu nggak putus saja denganku?"
Darel mendengus, ekspresinya penuh kesombongan. "Kenapa kamu makin kekanak-kanakan? Kata-kata manis hanya akan membuat seseorang sombong. Aku ini sedang mendidikmu dengan cara yang keras, apa kamu nggak mengerti?"
Karla menghela napas panjang. Rasanya, tidak ada lagi yang perlu dia katakan.
Dia menutup matanya sejenak, mencoba meredakan rasa sakit di dadanya. Jemarinya meremas kuat-kuat potongan sulaman yang rusak di tangannya. Tanpa sepatah kata lagi, dia berbalik dan berjalan menuruni tangga.
...
"Darel, apa Karla keluar?"
Lenni terus memperhatikan pergerakan mereka.
Baru saja dia melihat Karla pergi dengan membawa setumpuk barang yang tampak seperti rongsokan.
Ekspresi Darel gelap. "Nggak usah pedulikan dia. Pergi atau nggak, cepat atau lambat dia akan pulang. Kamu istirahat saja," ujarnya dengan dingin.
Lenni tak berani menguji seberapa besar posisinya di hati Darel saat ini, jadi dia hanya menurut dan diam tanpa membantah.
...
Di Grup Piara.
Karla masuk ke ruangan yang biasa dia gunakan untuk membuat sulaman. Dia menarik napas dalam-dalam dan mulai memperbaiki karya-karyanya yang rusak, helai demi helai.
Namun, air matanya terus mengalir tanpa henti.
Hatinya hancur karena hasil kerja kerasnya yang diremehkan, diperlakukan seperti sampah yang bisa dibuang kapan saja. Semakin dia menarik benang dan mencoba memperbaikinya, semakin besar rasa sakit yang menyeruak di dadanya.
Takut air matanya jatuh dan membasahi kain, Karla buru-buru menjauhkan wajahnya. Setetes air mata jatuh ke lantai keramik, suara kecilnya terdengar sangat jelas di tengah kesunyian malam itu.
Apa yang dilakukan Cindy dan Lenni sebenarnya tidak terlalu menyakitinya.
Yang benar-benar membuat hatinya terasa seperti ditikam adalah Darel. Ketidakpahaman pria itu, kurangnya rasa syukur, dan ketiadaan dukungan darinya.
Selama ini, Darel selalu bersikap sopan kepada semua orang, begitu anggun hingga nyaris tak pernah membuat kesalahan. Namun hanya pada Karla, dia tidak pernah sekali pun mengucapkan kata-kata dukungan.
Karla masih ingat dengan jelas, suatu kali dia berusaha membuat nama Piara dikenal dengan mengirimkan salah satu hasil sulaman terbaiknya ke sebuah lomba. Dia memenangkan juara pertama di Turnamen Seni Sulam Desember.
Dia berpikir Darel akan senang.
Namun, setelah lomba, yang dia dapatkan hanya satu kalimat dari Darel, "Jangan terlalu sombong. Itu hanya keberuntunganmu kali ini. Kamu dan aku sama-sama tahu levelmu. Tetaplah bekerja keras."
Darel selalu memperlakukan Karla seperti seorang bawahan yang bodoh, lupa bahwa dirinya adalah pacarnya.
Apa yang Karla pedulikan bukanlah barang atau hasil karya, melainkan hubungan mereka yang terasa semakin retak.
Rasa sakit itu membuat seluruh tubuhnya terasa lemah.
Dia menjatuhkan jarum dan benang yang dipegangnya, bersandar pada kaca kantor sambil menutup mata. Air mata terus mengalir, membasahi sudut matanya.
Tanpa sadar, dia tertidur di sana.
Hari ini, dia benar-benar terlalu lelah.
Pukul 03:30 dini hari.
Karla terbangun karena suara telepon yang nyaring.
Dia melihat layar ponselnya. Itu dari Darel.
Darel menelepon Karla lebih dari 30 kali.
Karla duduk tegak, mencuci muka, lalu menyalakan lampu. Dia kembali fokus memperbaiki sulamannya.
Kerja sama dengan Grup Cevora tidak boleh tertunda. Untuk membuat ulang, waktunya sudah tidak cukup. Satu-satunya pilihan adalah mempercepat proses perbaikan.
Panggilan Darel? Dia tidak menggubrisnya sama sekali.
Sejak hari itu, Karla memutuskan untuk tinggal di kantor cabang Piara.
Sementara Darel tetap di kantor pusat. Mereka kini seperti dua kutub yang berjauhan, selatan dan utara. Jika tidak sengaja bertemu, mereka hampir tak pernah bertatap muka.
Pagi pun tiba.
Karla merenggangkan bahunya yang terasa kaku dan pegal.
"Bu Karla?"
Sekretarisnya yang datang untuk membersihkan kantor kaget melihat Karla masih berada di sana.
Karla berdiri perlahan. "Buatkan aku secangkir kopi," perintahnya.
"Baik, Bu."
Setelah menyeruput kopi untuk mengusir kantuk, Karla memulai harinya yang baru. Dia mengikuti rapat demi rapat, dan di sela-sela waktu, dia terus memperbaiki sulamannya.
Empat hari berlalu tanpa satu pun kontak antara Karla dan Darel.
Namun, Darel tidak berhenti mencoba. Dia mulai mengirimkan pesan melalui WhatsApp.
"Karla, kenapa kamu nggak menjawab teleponku?"
"Sekarang kamu sudah hebat, ya?"
"Kalau kamu nggak balas teleponku, jangan pernah berharap aku akan menghubungimu lagi."
Membaca satu per satu pesan Darel yang sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan, Karla pun tidak ada niat untuk membalas pesan itu.
"Bu Karla, hasil lomba sulaman yang kita ikuti sudah keluar!"
Sekretarisnya masuk dengan penuh semangat. "Salah satu sulaman kita dilirik oleh pameran internasional!" lanjutnya.
Ada banyak kategori dalam seni sulaman, seperti Sulam Sulawesi, Sulam Papua, hingga Sulam Sumatra.
Piara sebelumnya belum pernah tampil di panggung internasional. Karla selalu bermimpi membawa Piara melangkah lebih jauh, mengejar langkah Grup Cevora.
Eksposur adalah segalanya. Sulaman Piara bisa dipamerkan di galeri internasional, ini sama saja seperti memasang iklan jangka panjang untuk Piara!
Rasa senang mengalir di hati Karla, membuat senyumnya tak bisa ditahan.
Dia meraih ponselnya, berpikir untuk memberi tahu Darel kabar baik ini.
Namun, ketika dia menelepon Darel, tidak ada yang mengangkat.
"Kamu tahu di mana Pak Darel sekarang?" tanyanya pada sekretaris.
"Tadi aku bicara dengan sekretaris dari kantor pusat, katanya Pak Darel sedang di rumah sakit. Hari ini jadwal pemeriksaan kesehatan untuk pegawai kantor pusat."
Pemeriksaan kesehatan?
Karla terdiam sejenak, lalu mengambil kunci mobil dan pergi ke pusat pemeriksaan.
Pusat Pemeriksaan Kesehatan.
Karla sampai di sana dan melihat beberapa pegawai dari kantor pusat. "Pak Darel ada di mana?" tanyanya.
"Pak Darel ada di ruang istirahat di lantai dua."
Karla naik ke lantai dua dengan lift. Pikirannya dipenuhi rasa senang membayangkan kabar baik yang akan dia sampaikan. Piara telah mendapatkan kesempatan untuk tampil di ajang internasional!
Begitu tiba di ruang istirahat, dia membuka pintu sambil tersenyum. "Darel, sulaman Piara dipilih untuk pameran internasio ... "
"Plak!"
Sebuah tamparan keras memutus semua kata-katanya.
Di depan pintu, Vera berdiri dengan tatapan penuh kebencian. "Kamu ini benar-benar pembawa sial! Masih punya muka datang ke sini? Apa kamu senang mendengar Darel kecelakaan?" teriaknya.
Kecelakaan?
Pandangan Karla bergerak, dia melihat Darel duduk di tepi ranjang. Lenni sedang memegang kapas untuk membersihkan luka gores di lengannya.
"Karla, kamu benar-benar bencana untuk keluarga kami!" Cindy menudingnya dengan nada penuh kemarahan. "Kalau bukan karena Darel ingin pergi ke kantor cabang untuk mencarimu, mana mungkin dia mengalami kecelakaan?"
"Karla, aku cuma ingin mengatakan ini," Lenni menyela sambil membuang kapas yang dipakainya. "Apa kamu harus sampai marah berhari-hari? Katanya kamu mencintai Darel. Kalau benar, kenapa kamu bisa bertindak begitu kekanak-kanakan? Kali ini kamu memang keterlaluan."
Semua salahnya?
Sekarang bahkan ini pun harus dia tanggung?