Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Suara aktivitas terdengar dari luar pintu, seperti seseorang sedang memindahkan barang. Ketika pintu terbuka, mata Karla langsung menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak. Beberapa orang sedang memindahkan barang milik Lenni ke dalam kamar tidurnya. Kamar tidur itu! Itu adalah ruang yang dia persiapkan sebagai rumah masa depan mereka setelah menikah dengan Darel. Meski Darel tidak tinggal bersamanya, sesekali pria itu datang untuk makan malam bersama. "Karla, kamar ini pencahayaannya bagus sekali. Banyak terkena sinar matahari, dan itu sangat membantu untuk kesehatanku. Aku dengar dari Darel kalau kamu orang yang sangat pengertian. Aku yakin kamu nggak akan marah padaku, 'kan?" ujar Lenni mendekati Karla sambil menggenggam tangannya dengan lembut. Jika ada yang melihat mereka, mungkin akan menyangka mereka adalah kakak adik yang begitu akrab. "Aku cuma numpang sebentar saja. Anggap saja kamu membantu seseorang yang sedang sekarat, ya? Kalau hari ini aku membuatmu nggak senang, aku minta maaf." "Lenni, Karla bukan tipe orang seperti itu. Kamu nggak perlu merasa bersalah," ujar Darel menimpali. Karla menarik tangannya pelan, menatap mereka tanpa ekspresi. Dia diam saja, menyaksikan mereka dengan antusias memindahkan barang-barang ke dalam kamar yang seharusnya menjadi tempat paling pribadinya. "Darel Horins." Itu adalah pertama kalinya dia memanggil nama lengkap pria itu. Darel yang membelakanginya tersentak. Dia berbalik dengan ekspresi heran. Karla mengangkat wajahnya, tidak lagi seperti dulu, saat dia selalu menunduk setengah, penuh kelembutan dan patuh. Tatapannya kali ini tajam, penuh kesungguhan. "Aku mau tanya," suaranya tenang nan dingin, "Kamu ini pacar siapa sebenarnya?" Darel memindahkan rokok di tangannya menjauh darinya, kebingungan. "Apa maksudmu?" "Pernikahanku, baju pengantinku, sekarang bahkan kamarku harus kuberikan padanya. Kamu nggak ada niat sedikit pun untuk melakukan sesuatu?" ujar Karla sambil menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu ruang kerja. "Apakah selanjutnya, yang harus kurelakan adalah kamu?" Darel memegang bahu Karla yang ringkih, nadanya serius. "Apa-apaan ini, Karla? Kita sudah bersama selama tujuh tahun. Kamu pikir aku seperti itu?" "Bukan soal pikiranku," balas Karla sambil mundur setengah langkah, melepaskan dirinya dari cengkeramannya. "Ini soal apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri." Darel menatap kosong pada tangannya yang kini menggantung di udara. "Apa dia menolak sentuhanku?" pikirnya dalam hati. Dari sudut ruangan, suara tajam terdengar, "Cuma satu kamar saja kamu nggak rela? Karla, jangan lupa utangmu pada keluarga kami! Hidup itu harus tahu berterima kasih, 'kan?" sindir Cindy, mencemooh dengan nada mengejek. Kata-kata itu menghantam Karla seperti palu. Utang, satu kata itu cukup untuk memadamkan emosi yang tadi nyaris meledak. Benar, dia memang berutang. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dia bantah. Karla merasa tidak sanggup lagi bertahan di rumah itu. Dia mengambil tasnya dan berjalan keluar tanpa menoleh. "Karla, kamu mau ke mana?" tanya Darel, menyadari ada yang salah dengan ekspresi pacarnya dan langsung mengejar. Karla tidak menjawab. Langkahnya cepat, seperti ingin meninggalkan semuanya di belakangnya. Darel bergegas menyusul. Sebelum masuk ke mobil, Darel tiba-tiba mencengkeram lengan Karla dengan erat. "Aku tanya kamu mau ke mana?" tanyanya dengan suaranya dingin. Karla tersenyum lelah, senyum yang tampak lebih seperti bentuk keputusasaan daripada kebahagiaan. "Sekarang aku mau kerja, cari uang. Bisa nggak, jangan ganggu aku lagi, Pak Darel?" Hanya karena utang budi, dia telah bertahan selama bertahun-tahun. Ucapan seperti yang dilontarkan keluarga Horins hari ini? Dia sudah terlalu sering mendengarnya, hampir setiap beberapa hari sekali. Terlebih lagi, setiap kali hari peringatan kematian ayah Darel tiba, caci maki dari Vera selalu jadi lebih kejam dan menyakitkan. Karla menarik tangannya dari genggaman Darel, lalu masuk ke mobil. Vera yang ikut keluar mendengas penuh amarah, "Gadis pembawa sial itu! Semakin jauh dia pergi, semakin baik!" teriaknya tanpa peduli siapa yang mendengar. Namun, ketika Darel berbalik, keberanian Vera seketika menghilang. "Ibu, sudah berapa kali aku bilang?" kata Darel, nadanya tajam seperti pisau. "Orang yang seharusnya kamu benci itu suamimu sendiri. Dia yang nggak bisa menjaga nyawanya, apa hubungannya dengan Karla?" "Itu ayahmu!" bentak Vera balik, matanya merah. "Berani-beraninya kamu bicara begitu tentang dia?" "Aku hanya menyampaikan fakta," jawab Darel dingin. Di balik sikapnya yang egois, ada logika yang begitu tajam hingga menakutkan. Di dekat pintu, Cindy, adiknya, mengintip percakapan mereka dengan tatapan penuh perhitungan. "Kak, rumah ini kamu juga ikut keluar uang, 'kan?" tanyanya sambil mencoba menahan rasa takut. Melihat kakaknya mendekat, Cindy buru-buru mengalihkan pandangan, tidak berani menatap langsung. Setelah diam cukup lama, Darel akhirnya membuka mulut, nadanya tetap tenang. "Ada apa?" tanyanya. "Aku ... " Cindy tergagap. "Kalau mau tinggal di sini, tinggal saja. Kalau nggak, pergi," kata Darel pendek, sebelum melangkah menuju lantai atas. Di kamar atas, Lenni, yang mendengar percakapan mereka, menggigit bibirnya dengan keras sampai hampir berdarah. Dia ... dia membela Karla sampai seperti itu? Ketika Darel naik ke atas, Vera hanya bisa memandang punggungnya, tak berani menyusul. Sementara itu, Cindy berbisik dengan nada kesal, "Ibu, kenapa Kak Darel seperti membela Karla habis-habisan? Kita bilang satu hal saja tentang wanita itu langsung nggak boleh. Padahal, bukannya Kak Darel sendiri juga sering menyulitkan dia?" Namun, Vera hanya melotot tajam pada putrinya, membuat Cindy buru-buru menunduk. Vera menggertakkan giginya dan berkata, "Semua gara-gara Karla. Dia benar-benar berhasil menyihir kakakmu! Anak ini benar-benar bodoh, sampai rela memakai separuh uangnya untuk membeli vila sebesar ini untuknya. Gadis malang seperti dia, apa pantas tinggal di rumah seperti ini?" Semakin dipikirkan, semakin marah Vera. Dia tidak rela hasil jerih payah putranya dinikmati oleh Karla, gadis yang menurutnya hanya tahu hidup enak! Namun, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Kedua orang itu belum mendaftarkan pernikahan mereka, dan nama di sertifikat kepemilikan vila ini? Masih nama putranya! Di lantai atas, di depan pintu ruang kerja. Vera mengetuk pintu dengan lembut. "Nak, kalau sudah selesai, Ibu mau bicara sebentar," ujarnya. Tidak ada suara balasan dari dalam. Darel tetap diam. ... Karla meninggalkan rumah dengan kepala kosong, pikirannya buntu. Dia terus menyetir tanpa tujuan hingga telepon dari sekretarisnya berbunyi. Dia menepikan mobil dan mengangkat telepon. "Pak Jakson?" tanyanya singkat. "Bu Karla, karya untuk Turnamen Seni Sulam September kali ini bisa kamu serahkan awal bulan depan, 'kan? Kami perlu mempersiapkan pendaftaran," ujar Pak Jakson di seberang, terdengar sopan, tetapi juga mendesak. Mencoba mengesampingkan kekacauan emosionalnya, Karla memaksa dirinya masuk ke mode kerja. "Bisa," jawabnya mantap. Dia masih memiliki beberapa karya sulaman yang hampir selesai. Semuanya disimpan di rumah itu. Jika dia memilih salah satu yang terbaik untuk dikirimkan ke kompetisi, dia cukup yakin karyanya akan memenangkan penghargaan di tingkat nasional. Namun, untuk itu dia tetap harus kembali ke vila malam ini. Karya-karyanya harus ditemukan dan dirampungkan. "Baik, terima kasih, Bu Karla. Selamat malam," ujar Pak Jakson sebelum menutup telepon. Beberapa tahun terakhir, karya seni sulam mulai mendapat perhatian besar di dalam negeri. Pemerintah bahkan memberikan banyak dukungan, termasuk subsidi besar-besaran. Hal ini memicu kebangkitan sejumlah perusahaan dan pabrik sulam seperti Grup Piara, tempat Karla bekerja. Sebagai dampaknya, berbagai kompetisi juga mulai bermunculan. Di antaranya adalah turnamen sulam nasional yang diadakan setiap tahun. Para pemenangnya berhak mengikuti kompetisi internasional tahun berikutnya. Baik kompetisi nasional maupun internasional memiliki reputasi tinggi. Bukan hanya soal hadiah uang, tetapi juga tingkat eksposur dan promosi yang ditawarkan. Bahkan, hanya dengan sekali menjadi juara, perusahaan seperti Piara bisa menikmati keuntungan selama satu tahun penuh. Karla, karena alasan tertentu, tidak pernah bisa mengungkapkan identitasnya. Dia selalu mengirimkan karya dengan sedikit cacat sengaja, cukup untuk mengamankan posisi kedua atau ketiga. Namun, dia tidak pernah melewatkan kesempatan apa pun. Di balik semua ini, ada keuntungan yang tidak boleh dia abaikan. Pukul 9.30 malam. Setelah makan malam seadanya di luar, Karla kembali ke vila itu. Dia tidak punya tempat lain untuk pergi. Seburuk apa pun situasinya, vila itu adalah satu-satunya tempat yang bisa dia sebut rumah. Lampu vila masih menyala ketika dia tiba. Wajahnya sedikit mengerut saat membuka pintu. Suara samar percakapan terdengar dari lantai atas. Itu suara Vera dan Cindy, ditambah suara Lenni yang sesekali terdengar. Karla naik ke lantai atas, mengikuti arah suara. "Benar-benar menyenangkan, ya, tarik sedikit saja, semua benangnya langsung terlepas!" terdengar suara Cindy tertawa geli. "Bibi Vera, ini pasti sudah nggak ada gunanya lagi, 'kan?" sahut Lenni dengan nada pura-pura polos. Langkah Karla terhenti di depan kamar tidurnya yang lama. Dia mendorong pintu, hanya untuk menemukan ketiga wanita itu sedang mengobrak-abrik kotak sulamannya! Cindy bahkan sedang menarik benang dari salah satu karyanya dengan santai, seperti mainan. Wajah Karla berubah drastis. Dia segera berlari ke arah mereka, merebut sulaman yang sudah setengah dirusak oleh Cindy. Karla mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah mereka. Dengan nada yang tegas dan dingin, dia bertanya, "Kenapa kalian menyentuh barang-barangku?" Pertanyaan sederhana itu membuat Vera langsung naik pitam. "Barang-barangmu? Semua yang ada di rumah ini, besar atau kecil, bukankah dibeli dengan uang anakku? Lagi pula, barang-barang itu kamu letakkan di dalam kotak kardus seperti sampah. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu sudah lama nggak kamu gunakan. Sampah seperti itu, mau dirusak, ya dirusak saja!" Karla merasakan darahnya mendidih. Sampah? Itu adalah karya yang sudah dia persiapkan dengan susah payah untuk mengikuti turnamen nasional tahun ini! Beberapa di antaranya adalah karya yang sangat dia banggakan. Terutama sulaman yang sekarang ada di tangan Cindy, yang sudah separuh hancur. Itu adalah karya utama yang rencananya akan dia serahkan kepada Grup Cevora untuk berkompetisi di Turnamen Seni Sulam September tahun ini! Dia telah mengerjakan sulaman itu selama empat bulan lebih! Empat bulan penuh dengan dedikasi dan kesabaran! Dan sekarang? Hancur begitu saja di tangan mereka. Begitu saja?

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.