Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 17 Jangan Bilang, Kamu Hamil

"Cukup!" Hesa berteriak dan memelototi Lila yang tersentak pucat. "Sedang makan enak-enak malah kamu buat begini! Kalau nggak bisa bicara baik-baik, tutup saja mulutmu. Makan yang benar!" "Sayang, tenanglah!" Melihat Hesa benar-benar marah, Lila buru-buru berdiri dan merangkulnya. "Karena Renata yang mulai, makanya aku bicara. Lagi pula, kamu sudah lama ingin punya cucu. Aku cuma berpikir, mungkin kalau Calvin menikah dengan Revina waktu itu, mereka sudah punya dua anak sekarang." Begitu dia selesai bicara, Bi Wulan datang membawa sepiring makanan. "Hidangan terakhir, iga babi asam manis kesukaan Tuan Stevan!" Dia berjalan masuk dan refleks melirik Renata. Di piring porselen putih itu adalah iga yang berkilau merah, dengan uap hangat yang mengeluarkan aroma menggoda. Mata Renata segera tertuju pada iga babi asam manis tersebut. Aliran dalam pembuluh darahnya seketika membeku. Seluruh tubuhnya kaku, tidak bisa menggerakkan satu jari pun. Tenggorokannya tercekat, sampai bernapas pun kesulitan. Wajahnya pucat pasi tanpa warna. "Renata, pulang sekolah nanti Ibu buatkan iga babi asam manis kesukaanmu, ya?" "Renata, pulang sekolah nanti Ibu buatkan iga babi asam manis kesukaanmu, ya?" "Renata, pulang sekolah nanti Ibu buatkan iga babi asam manis kesukaanmu, ya?" Suara lembut Riana terngiang-ngiang di telinganya ... Dalam benaknya, wajah dengan senyum tenang itu melintas dalam gerak lambat ... dan warna merah yang menyilaukan seperti darah menggantikan semuanya, menyedot udara yang tersisa di dada Renata. Seluruh tubuhnya mulai mati rasa. Matanya menatap lurus pada iga di piring itu. Napasnya menderu terengah-engah. Calvin mengerutkan kening, lalu memeluk pinggang Renata setelah menyadari kejanggalan dalam reaksinya. "Kamu kenapa?" Renata tidak menjawab. Dia menepis tangan Calvin dan bangkit berdiri sambil berpegangan di meja makan dengan wajah pucat, lalu terhuyung-huyung ke kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Calvin beranjak mengikutinya dan mendengar suara muntah dari kamar mandi. ... Di ruang makan. Revina dan Lila saling bertatapan, lalu tersenyum. Seketika itu juga, Lila memasang wajah cemas. "Renata kenapa? Kenapa tiba-tiba sakit?" Hesa menghela napas panjang dan tidak berkata apa-apa. Rudy masuk untuk menyampaikan sesuatu, tetapi langkahnya terhenti saat melihat iga di atas meja. Dia pun panik mendapati Renata tidak di sana dan buru-buru menoleh pada Hesa untuk berkata, "Tuan, Nona Renata nggak suka iga babi asam manis. Kamu lupa? Kenapa ada yang masak iga?" Hati Hesa tiba-tiba terasa berat, teringat Renata tidak makan menu ini lagi sejak kepergian Riana. Anak itu akan langsung muntah meski hanya melihat saja. Saat Bi Jelita masih di sini, dia mengatur makanan dan kebutuhan sehari-hari dengan baik. Hesa sudah memberi tahu pelayan baru soal ini. Namun, Renata makin jarang pulang beberapa tahun belakangan, sehingga dia tidak pernah membahas masalah ini lagi. Dia menoleh kepada Lila dan menatapnya marah. "Kamu nggak bilang ke petugas di dapur?" Lila memekik kaget dan menepuk keningnya dengan ekspresi meminta maaf. "Aduh, aku lupa. Hari ini, ulang tahun Stevan, makanya aku minta disiapkan makanan kesukaannya. Aku lupa kalau Renata nggak suka." Setelah anak laki-lakinya disebut, Hesa tidak bisa menyalahkan. Stevan mengangkat kepala, lalu melirik Lila saat mendengar pernyataan ini. Bibirnya terkatup rapat, lanjut bermain lego dalam diam. ... Di kamar mandi hanya disinari lampu kecil yang redup. Calvin membuka pintu, melihat Renata membungkuk di depan wastafel, membelakanginya. Muntah-muntah dengan keras. Lengannya gemetaran menopang tubuh. Tangannya memegang erat sisi samping wastafel yang terbuat dari marmer itu. Wajahnya seputih kertas. Kelihatannya sangat menyakitkan, seolah-olah ingin memuntahkan seluruh organ dalamnya. Calvin bersandar ke dinding dengan tangan terlipat, menatap punggung ramping wanita itu dan bertanya, "Kamu kenapa?" Renata tetap diam. Setelah menenangkan diri, dia menyalakan keran dan membasuh wajahnya. Sentuhan air dingin membuat pikirannya lebih tersadar. Dia tidak menjawab pertanyaan Calvin dan pria itu hanya menunggu dengan tenang sampai Renata bicara. Suara gemercik air memenuhi ruangan yang hening. Melalui cermin besar, Calvin dapat melihat wajah mungil yang pucat. Bibir yang tadinya merah merona pun kehilangan warna. Renata menundukkan kepalanya. Setelah beberapa waktu berlalu, tenaganya yang telah terkuras perlahan-lahan kembali ke tubuhnya. Dia mengambil selembar tisu dan menyeka air dari wajahnya. Begitu dia berbalik, Calvin membungkuk dan mendekatinya selangkah demi selangkah. Hingga dia terimpit di antara tubuh Calvin dan wastafel. "Perutmu mual?" tanya pria itu. Suaranya rendah dan jernih. Matanya berkilau di bawah cahaya redup. Renata sudah lelah. Jiwa dan raganya sama-sama lelah. Dia menggeleng lemah sebagai jawaban. Masih ada sisa percikan air di wajahnya. Beberapa helai rambut menempel di dahinya. Calvin mengangkat tangannya dan dengan lembut menyisir itu dengan ujung jarinya. Mata Renata sejenak melebar, merasakan kehangatan jari itu. Calvin mengkhawatirkannya? Calvin melangkah lebih dekat lagi. Ujung hidungnya menyentuh hidung Renata dan suara dalamnya terdengar berucap, "Jangan bilang, kamu hamil." Suaranya terdengar tidak senang. Hati Renata seketika terasa seperti tertindih batu besar. Dia mendengus dalam hati, mengangkat matanya, dan menatap mata suaminya yang dalam. "Setakut itu kamu kalau aku hamil?" Nada bicaranya merendahkan, bahkan terkesan memprovokasi. Calvin diam, menatapnya dalam-dalam selama beberapa saat, lalu menundukkan kepala dan mencium bibirnya dengan ganas. Renata refleks memalingkan wajahnya, tetapi tangan besar pria itu menekan kepalanya dari belakang, membuatnya tidak bisa bergerak. Dia ingin mendorongnya, tetapi tenaganya tidak berpengaruh sedikit pun melawan bahu lebar Calvin. Calvin menciumnya makin dalam, dengan kebrutalan dan keinginan untuk menguasai. Tuk, tuk, tuk! Suara pintu diketuk. Renata tersentak dan berhenti meronta. Calvin sangat puas melihatnya patuh dan bersembunyi dalam pelukannya bak anak kucing yang ketakutan. "Tuan, Nona, kalian baik-baik saja?" Itu suara Rudy. Calvin menjauh dari bibir Renata dan menjawab "ya" pelan. Rudy pun pergi dengan lega. Lalu, Calvin mengarahkan tatapan dingin pada wajah cantik Renata. "Renata, aku sudah bilang." Suaranya rendah sambil menekankan kata demi kata. "Aku nggak akan punya anak denganmu." Renata menatapnya balik untuk waktu yang lama. Pria ini memiliki wajah yang mampu menyihir semua orang, tetapi kata-kata yang dia ucapkan selalu dingin dan tidak berperasaan. Benar saja, makin tampan seorang pria, makin keji perasaannya! "Kalau begitu, terima kasih banyak." Dia memandang Calvin dan tersenyum. "Kamu pikir aku ingin melahirkan anakmu?" Lantas, dia mendorong Calvin dan membuka pintu, berjalan keluar.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.