Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 12

Tanpa terasa, enam tahun berlalu begitu saja. "Mulai hari ini, semuanya berakhir!" Gea memandangi sebuah kotak di tengah tempat tidur dan kemudian menyimpannya di sudut lemari. Setelah itu, dia langsung mandi, memilih gaun malam ungu, lalu duduk di depan cermin untuk merias wajahnya dengan riasan ringan. Wanita itu duduk di depan cermin, rambut panjangnya tergerai, memperindah wajah cantiknya yang tampak anggun. Setelah berpikir sejenak, Gea menata rambutnya, menggunakan alat pengeriting untuk poni, yang membuatnya terlihat lebih elegan dan berwibawa. Gaun berwarna ungu muda yang dipilihnya sangat cocok. Ditambah dengan perhiasan sederhana yang dia kenakan. Para orang tua pasti akan terpesona saat melihat penampilannya. Awalnya, dia berniat menyemprotkan parfum, namun teringat bahwa Steven tidak suka wewangian, dia pun mengurungkan niatnya. Mengenakan sepatu hak tinggi, Gea menatap pantulannya di cermin sambil tersenyum getir Dulu, dia hanya berdandan untuk Sony. Namun kali ini, untuk pertama kalinya, dia berdandan untuk menarik perhatian pria lain. Gea mengubur rasa sedihnya, menyimpan data kelahirannya di tas dan bergegas meninggalkan rumah keluarga Sutedja. Acara ulang tahun anak yang dia hadiri berlangsung lebih awal, bahkan langit belum gelap saat para tamu mulai tiba di kediaman keluarga Lazuardi. Kediaman Keluarga Lazuardi yang biasanya sepi, saat ini ramai dengan tamu undangan. Di dalam mobil, Gea duduk tenang, menunggu keramaian mereda. Setelah terlihat sepi dia segera memberikan hadiah dan mengisi daftar tamu undangan. Kediaman Keluarga Lazuardi terlihat sanga mewah dan megah. Di ruang tamu yang terlihat elegan, seorang sosialita memainkan piano dengan merdu. Sementara, tamu lainnya mengobrol di luar ruang tamu. Gea menghindari keramaian dan memilih duduk di pojok ruangan. Dia menunggu pesta yang sesungguhnya. Di dalam rumah utama Keluarga Lazuardi, wajah Steven tampak dingin dengan tubuhnya yang memancarkan aura kegelapan. Sementara itu, Tristan mengurung diri di kamar, menolak keluar meski para pelayan dengan hati-hati mencoba membujuknya, "Tuan muda, tolong keluar sekarang ..." Namun, pintu itu tetap tertutup. "Ini kunci kamar Tuan Tristan." Akhirnya, Lukman datang membawa kunci dengan terburu-buru. Steven dengan suara dingin berkata, "Buka pintunya." Lukman menganggukkan kepala, segera mendekati pintu untuk membuka kuncinya. Ketika kunci baru saja dimasukkan, terdengar suara gaduh dari dalam rumah yang membuat banyak orang terkejut. Lukman membalikkan kepalanya dan melihat ke Steven. Suara Steven semakin dingin, "Buka!" Lukman memutar kunci, pintu terbuka dalam hitungan detik. "Aduh ..." Selain suara pecahan, terdengar juga teriakan histeris dari anak laki-laki kecil. Steven langsung masuk ke dalam dan melihat lampu meja hampir mengenai kepalanya. Di belakangnya, para pembantu menahan napas ketika Steven menutup pintu kamar, tamat sudah riwayat Tuan Muda Tristan. Pada saat yang bersamaan, semua orang menatap Lukman. Lukman juga mengerutkan kening dan terlihat sangat khawatir. Di dalam kamar biru laut itu, Steven dan Tristan saling menatap dengan pandangan tajam, satu dengan ekspresi dingin, satunya lagi seperti iblis kecil yang siap mengamuk. "Kemari!" Steven mendekati anak kecil itu. "Akh!" Tristan mundur beberapa langkah sambil berteriak keras. Dia enggan berkomunikasi dengan Ayahnya. Setiap kali Steven mendekat, Tristan mundur, berteriak, dan melemparkan barang-barang sebagai peringatan untuk tidak mendekatinya. Suara gaduh apa ini? Di ruangan ini, Gea hanya sendirian, jadi dia bisa mendengar suara dari lantai atas dengan jelas. Rasa penasarannya semakin besar ketika terdengar suara pecahan piring dan teriakan. Setelah suara teriakan berhenti, Gea melihat sosok kecil yang sedang memanjat pagar balkon dengan sangat cepat. Sepertinya anak kecil? Mata mereka saling bertemu, Tristan terdiam di tempat. Gea terdiam sejenak, dia tidak menduga akan ada di situasi seperti ini, dia segera berlari ke bawah balkon untuk berjaga-jaga. Gea ingin membawa Tristan kembali ke rumah, karena situasi ini sangat berbahaya. Namun, sebelum Gea berbicara, terdengar suara yang memerintahkan Tristan untuk turun. "Turun! Kamu pikir kalau kamu bertindak kayak gini akan berhasil??" Meskipun pria itu berteriak dengan tegas, namun matanya menunjukkan kekhawatiran sambil berusaha mendekat ke sosok kecil itu. Anak kecil itu tetap memegang pagar dan siap melompat kapan saja. Gea yang ada di bawah itu melihat dengan ketakutan, "Jangan bergerak lagi, cepat ..." "Turun! Jangan sampai aku meminta untuk ketiga kalinya!" Suara berat yang terdengar dari dalam rumah, memotong perkataan Gea. Mendengar suara itu membuat Gea makin kesal, 'Dia pikir dia sedang menyuruh bawahannya?' batinnya. Memangnya dia tidak sadar betapa berbahayanya situasi ini? Di saat seperti ini, tidak bisakah dia menenangkan anak itu dulu? Anak itu menatap Gea dengan mata berkaca-kaca dengan mulut yang terbungkam, menahan tangis. Dia tampak rapuh dan menyedihkan. Kondisi anak kecil itu membuatnya iba. Namun Gea sadar, dia hanyalah orang luar yang tidak berhak mencampuri hubungan ayah-anak tersebut. Tiba-tiba, sebuah tangan besar menjulur ke arah anak itu, meraih tubuh kecilnya dengan cepat dan menariknya kembali ke dalam. Baru saja Gea bernapas lega, namun dia kembali mendengar suara teriakan histeris dari lantai atas. Anak itu dipukul? Mengingat reputasi Steven, Gea terbayang sosok kecil yang ketakutan, berlari ke balkon seolah siap melompat. Jeritan anak itu masih terngiang di telinganya, dan Gea tidak sanggup membayangkan apa yang mungkin terjadi padanya sekarang. Dia tidak punya waktu untuk berpikir, dengan panik dia berteriak, "Steven! Dia masih anak-anak! Bicaralah dengan lembut, jangan memukulnya!" Anehnya, setelah dia berbicara, suara tangisan anak itu berhenti. Gea kemudian melihat wajah yang bisa membuat banyak wanita tergila-gila. Dalam jarak hanya beberapa meter, Gea dengan jelas dapat merasakan aura dingin yang terpancar dari Steven. Matanya setajam pisau, memancarkan aura dingin yang membuat Gea merasakan ketakutan yang samar. Di hadapannya, berdiri sang Raja Tanpa Mahkota dari Kota Hatari. Untungnya, pria itu hanya menatapnya dalam beberapa detik. Sampai akhirnya, dia tidak lagi mendengar suara tangisan anak kecil itu. Namun, terdengar tawa mengejek dari pria itu, meremehkan sikap ikut campurnya. Gea merasa menyesal, mungkin dia salah menilai pria yang terlihat dingin dan kejam itu. Saat ini, Gea tidak tahu apa-apa. Dia merasa bahwa penyebab utama perselisihan antara Tristan dan Steven adalah dirinya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.