Bab 9
Mimpi yang selalu Yohana inginkan sudah ada di depan matanya, tetapi dia memilih untuk mundur di belakang layar. Ini bukanlah sifat Yohana.
Sejak kecil, tujuan hidupnya selalu jelas yaitu menjadi perancang gaun pengantin terbaik di dunia.
Dia terus berusaha keras menuju tujuan itu.
Bahkan saat bekerja sebagai sekretaris, dia tetap tidak menyerah untuk mengikuti berbagai kompetisi.
Seseorang dengan tujuan yang begitu jelas, tidak akan begitu saja melepaskan mimpinya.
Kecuali jika ada suatu alasan yang membuatnya tidak bisa lagi meraihnya.
Pikirannya melayang ke kemungkinan tersebut, membuat jantung Gilbert terasa sakit.
Dia ingat tangan Yohana pernah terluka.
Saat itu, dia sedang bertugas di luar negeri dan ketika kembali luka tersebut sudah sembuh.
Namun, Yohana hanya mengatakan bahwa itu akibat tergores kaca.
Apakah luka itu begitu parah?
Makin Gilbert berpikir, makin dia merasa tidak tenang. Tanpa pikir panjang, dia menghubungi telepon Reyhan.
Begitu sambungan terhubung, terdengar suara pria yang santai dari seberang sana.
"Gilbert, kamu rindu aku, ya? Baru saja berpisah sudah telepon. Aku sampai curiga jangan-jangan kamu enggan menikahi Miranda karena hatimu sebenarnya lebih suka padaku," ujar Reyhan dengan nada genit.
Gilbert yang sudah dalam suasana hati buruk makin kesal mendengarnya.
"Aku suka kakekmu?!"
"Ah, benar begitu? Kalau memang suka, apa kita coba jodohkan saja? Biar aku panggilkan kakekku di surga, kita bisa langsung nikah di sana," jawab Reyhan dengan usil.
"Dasar! Aku ada urusan serius yang ingin aku tanyakan padamu!" ujar Gilbert.
Mendengar keseriusan suara Gilbert, Reyhan tidak lagi mengusilinya. Dia hanya bertanya, "Ada apa? Kok kelihatan serius sekali?"
Gilbert bertanya, "Apa kamu sudah tahu Yohana punya masalah gangguan pembekuan darah?"
"Ya, tahu. Kenapa?" balas Reyhan.
"Kenapa kamu nggak beri tahu aku?" tanya Gilbert.
"Dia yang nggak ingin aku memberitahumu. Katanya dia takut kalau kamu tahu, kamu akan khawatir dan nggak ingin mempertahankan anak itu, bahkan selalu waspada terhadapnya. Tunggu dulu, Gilbert, kamu baru tahu soal ini sekarang?"
"Dia pernah pendarahan hebat saat melahirkan, kamu nggak curiga sama sekali?"
"Gilbert, itu nggak seperti dirimu. Dulu, saat Miranda punya masalah gula darah rendah, kamu bawa dia ke sana kemari untuk mencari dokter, tapi istrimu yang tidur di sampingmu punya gangguan pembekuan darah dan kamu nggak tahu apa-apa? Ya, cinta sejati memang berbeda, ya. Kasihan Yohana. Demi memberikan anak untukmu, dia hampir kehilangan nyawanya."
Mendengar kata-kata Reyhan, hati Gilbert terasa seperti dicabik-cabik dan sangat menyakitkan.
Reyhan adalah dokter keluarga di rumah Gilbert.
Beberapa luka yang diderita Yohana sebelumnya juga ditangani olehnya, termasuk saat melahirkan, dia juga membantu dalam proses persalinan.
Gilbert tidak punya alasan untuk meragukan kata-katanya.
Ternyata Yohana bukan tidak mencintainya, melainkan karena takut dia khawatir sehingga dia menyembunyikan kebenaran.
Ternyata dia tahu bahwa melahirkan sangat berbahaya, tetapi demi menjaga anak mereka, dia tidak berani memberitahunya tentang kondisinya.
Gilbert tidak tahu harus bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu.
Dia merasa telah mengkhianati kasih sayang Yohana dan meragukan ketulusan hatinya.
Tidak heran jika Yohana memutuskan untuk memutuskan semua hubungan dengannya.
Mengingat hal ini, Gilbert hampir ingin memarahi dirinya sendiri beberapa kali.
Tanpa pikir panjang, dia segera mengambil ponsel dan menelepon Yohana.
Namun, setelah beberapa lama, telepon tersebut tidak ada yang mengangkat.
Dia menelpon beberapa kali lagi, tetapi tetap saja tidak ada yang menjawab.
Dengan perasaan cemas, Gilbert langsung mengarahkan mobilnya untuk mengantar Leonardi ke rumah tua keluarga Yonar, lalu seorang diri melaju ke rumah Yohana.
Di sisi lain.
Ponsel Yohana berdering beberapa kali. Begitu melihat tampilan nama yang muncul, dia langsung menekan tombol diam.
William yang sedang duduk di samping melihat tampilan layar ponsel dan berkata, "Coba diangkat saja, siapa tahu ada yang penting."
Namun, Yohana dengan tegas menjawab, "Siapa bilang kalau seorang guru harus selalu siap menerima telepon orang tua di luar jam kerja? Ayo, kita pergi ke dapur. Aku bantu kamu pilih sayuran. Kirana pasti sudah lapar."
Dengan santainya, dia meletakkan ponselnya di sofa dan mengikuti William menuju dapur.
Kirana keluar dari kamar untuk menonton televisi. Dia mencari-cari remot di meja kopi, tetapi tidak menemukannya.
Dengan wajah kesal, dia memanjat ke sofa untuk mencari remot tersebut.
Tapi, alih-alih menemukannya, dia justru menemukan ponsel Yohana di sudut sofa.
Nama yang tertera di layar ponsel membuat matanya terbuka lebar. Di sana, tertulis "Ayah Leonardi".
Dengan penasaran, kedua bola matanya yang hitam seperti anggur memperhatikan layar ponsel.
Nama Leonardi terdengar sangat familiar, dia ingat itu adalah kakak yang tampan tapi tidak begitu menyukainya.
Tanpa ragu, dengan tangan kecil yang gemuk, dia menggeser layar ponsel dan mengangkat telepon.
Dari ponsel terdengar suara seorang pria dengan nada rendah, "Yohana, aku di bawah rumahmu, turun sekarang, aku ada yang ingin dibicarakan."
Kirana merasa suara itu sangat akrab. Begitu mendengar pria itu mengatakan dirinya berada di bawah, hatinya terasa berdebar.
Dia pun segera turun dari sofa, berlari menuju kamarnya.
Dia mengisi kantongnya dengan berbagai barang, lalu keluar menuju pintu.
Saat dia berdiri di ambang pintu dan melihat Gilbert, matanya yang hitam berkilau langsung dipenuhi dengan keceriaan, seolah dipenuhi bintang-bintang.
Dengan ceria, dia berlari menghampiri Gilbert, mengulurkan tangan kecilnya dan menatapnya dengan ekspresi menggemaskan seakan-akan meminta pelukan orang dewasa.
Gilbert yang awalnya sedang merasa tidak enak, tidak bisa menahan diri melihat Kirana yang lucu dan polos.
Dia pun membungkuk, mengangkatnya dari lantai dan mencubit pipinya yang gemuk sambil berkata, "Kamu turun sendiri? Ibumu mana?"
Kirana menunjuk ke atas, lalu dengan imut menggigit bibirnya.
Gilbert langsung memahami maksudnya dan dengan suara lembut berkata, "Ibumu sedang memasak, ya?"
Kirana mengangguk dengan ceria, lalu memberi Gilbert jempol, seakan memuji dirinya karena Gilbert bisa memahami apa yang dia katakan.
Kirana yang sangat menggemaskan seketika membuat kegelisahan dalam hati Gilbert hilang begitu saja.
Bahkan, dia merasa cemburu pada William, mengapa dia dan Yohana bisa memiliki anak perempuan yang cantik dan menghibur seperti Kirana, sementara anak laki-lakinya justru selalu membuat kepalanya pusing.
Gilbert mengusap-usap kepala Kirana beberapa kali dan berkata, "Seandainya aku punya putri yang penurut seperti kamu, pasti menyenangkan."
Dulu, dia pernah membayangkan Leonardi sebagai seorang anak perempuan, bahkan ketika mempersiapkan barang-barang, dia lebih sering membeli yang berhubungan dengan perempuan.
Pelindung layar ponsel pun bergambar gadis dengan mata besar.
Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa yang lahir justru anak laki-laki yang nakal dan suka membuat masalah.
Dia sempat berpikir untuk punya anak perempuan lagi, tetapi ketika teringat kondisi tubuh Yohana, keinginan itu pun langsung dia lupakan.
Kirana sangat senang mendengar pujian itu.
Dengan tangan kecil yang gemuk, dia memasukkan sesuatu dari kantong kecil di dadanya dan mengeluarkan stiker lucu, memilih stiker putri terbaik dan menempelkannya di kerah Gilbert.
Lalu, dengan ceria dia memeluk leher Gilbert dan memberi kecupan.
Bibirnya yang lembut itu masih membawa aroma susu bayi.
Sekejap, hati Gilbert meluluh.
Melihat stiker yang sangat tidak sesuai dengan dirinya, dia sama sekali tidak berniat untuk melepasnya.
Begitulah, setiap kali dia memuji Kirana, dia akan mendapatkan stiker cantik sebagai balasan.
Tidak lama kemudian, seluruh jas mewah yang dipakainya dipenuhi dengan stiker kartun.
Gilbert tidak merasa terganggu sedikit pun, malah asyik dan lupa dengan tujuan awal kedatangannya.
Sementara itu, Yohana membawa makanan dan meletakkannya di meja makan, lalu membuka pintu kamar anak dan berniat memanggil Kirana untuk makan.
Namun, dia baru menyadari bahwa Kirana sudah tidak ada.
Dia mencari ke setiap sudut ruangan, tetapi tak menemukan jejaknya.
Instingnya langsung mengatakan bahwa ada yang tidak beres dan suara Yohana sedikit lebih tinggi dari biasanya.
"William, Kirana hilang!"
William segera menenangkan, "Jangan panik, dia nggak akan pergi jauh sendirian. Kita cari di lantai bawah."
Keduanya tidak sempat melepas apron dan langsung berlari keluar dari rumah.
Begitu pintu dibuka, mereka melihat Gilbert yang sedang menggendong Kirana berdiri di depan pintu.