Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta yang TerujiCinta yang Teruji
Oleh: Webfic

Bab 6

Yohana segera melihat ke arah Leonardi dan bertanya, "Leonardi, di mana Samuel?" Leonardi menjawab dengan acuh tak acuh, "Mungkin dia masih istirahat di ruang peralatan." Yohana merasa ada yang tidak beres dan segera berkata, "Kamu mengunci dia di dalam?" "Itu demi kebaikannya. Kakinya luka, jadi dia nggak bisa ikut pelajaran olahraga, makanya aku suruh dia istirahat di sana," jawab Leonardi dengan nada santai. Dia sama sekali tidak merasa canggung ketika tertangkap karena telah melakukan kesalahan. Bahkan wajahnya masih tersenyum nakal. Yohana menatapnya dengan ekspresi serius dan berkata, "Leonardi, Samuel punya fobia ruang sempit. Ruang peralatan itu tertutup rapat. Kamu tahu, nggak, kalau itu bisa membahayakan nyawanya?" Tanpa menunggu jawaban, Yohana segera berlari keluar dari kelas. Dia melewati gedung sekolah, menyeberangi lapangan, dan menuju ruang peralatan. Tempat itu sangat terpencil dan hanya sedikit orang yang melewatinya kecuali untuk mengambil barang. Yohana merasa sedikit lega karena pelajaran olahraga adalah pelajaran terakhir hari ini. Seandainya saja pelajaran itu lebih awal, akibatnya bisa sangat buruk. Sambil berlari, Yohana mencoba menghubungi guru olahraga agar segera membawa kunci. Namun, saat ini sudah waktu pulang kerja dan ponsel guru olahraga tidak bisa dihubungi sama sekali. Dalam keadaan panik, Yohana mengambil batu bata dan memecahkan jendela ruang peralatan, kemudian memanjat melalui jeruji dan masuk. Saat melompat dari jendela, lengannya terluka terkena pecahan kaca. Dia sama sekali tidak memperhatikan luka itu dan langsung berteriak ke dalam, "Samuel!" Dia memanggilnya beberapa kali sebelum mendengar suara yang lemah. "Bu, aku di sini." Yohana segera melihat ke arah suara itu. Tampak seorang anak laki-laki berjongkok di lantai sambil memeluk kepalanya. Tubuh anak itu gemetaran. Wajah pucat Samuel menunjukkan rasa takut yang tak terbendung. Yohana berlari ke arahnya, membungkuk, dan memeluknya dengan lembut lalu berkata, "Jangan takut, bu guru ada di sini, aku akan membawamu keluar." Saat itu, kepala sekolah dan beberapa orang masuk dengan tergesa-gesa lalu bertanya, "Bu Yohana, bagaimana keadaan Samuel?" Yohana menjawab dengan panik, "Samuel punya fobia ruangan sempit, detak jantungnya agak cepat." Wajah kepala sekolah langsung pucat. Jika terjadi apa-apa, bukan hanya Yohana yang akan dihukum, bahkan dia juga akan ikut terlibat. Dia segera memberi perintah kepada satpam di belakangnya, "Bawa anak itu keluar, segera periksakan ke dokter." Satpam langsung menggendong anak itu menuju ruang kesehatan. Sementara itu, Yohana mengikuti di belakangnya. Darah Yohana yang menetes dari lengannya membasahi lantai. Pada saat itu, kepala sekolah baru menyadari luka di lengan Yohana. Dia segera berkata, "Bu Yohana, kenapa darahnya banyak sekali? Ayo, biarkan dokter membalut lukamu." Yohana menggeleng, lalu berkata, "Nggak apa-apa. Anak itu lebih penting, segera periksakan dia." Begitu dia selesai berbicara, lengannya tiba-tiba digenggam erat oleh seseorang dan suara Gilbert terdengar di telinganya. "Kamu berdarah sebanyak itu dan kamu masih bilang nggak apa-apa? Bu Yohana ingin menunjukkan betapa mulianya kamu yang rela mengorbankan diri demi orang lain, ya?" ujar Gilbert. Tanpa menunggu jawaban, Gilbert menarik Yohana ke arah dokter dengan tegas, lalu berkata, "Perban dulu luka ini." Setelah empat tahun, berhadapan dengannya lagi, hati Yohana sama sekali tidak tergerak. Dia bahkan makin teringat bagaimana Gilbert memanfaatkan dirinya. Dia merasa sangat jijik dan ingin menolaknya. Dia melepaskan genggamannya dan berkata, "Bagaimana aku menyelamatkan orang itu urusan aku, Pak Gilbert nggak perlu khawatir." Gilbert menatap luka Yohana yang terus mengalirkan darah. Hatinya sedikit terasa nyeri. Suaranya menjadi lebih lembut, "Bu Yohana, jangan gegabah. Lukamu sangat dalam, itu harus ditangani dulu." Dia kembali memegang pergelangan tangan Yohana, memberi isyarat pada dokter untuk segera menangani luka itu. Melihat Yohana yang berjuang menahan, dokter buru-buru berkata, "Bu Yohana, anak ini hanya terkejut, nggak ada masalah serius. Biarkan dia beristirahat sebentar, aku akan menangani lukamu dulu." Dokter itu mulai membersihkan luka dengan antiseptik. Namun, makin dia membersihkan, makin tegang hatinya. Keringatnya juga telah membasahi dahinya. Melihat dokter yang tertekan, Gilbert tidak tahan lagi dan bertanya, "Kenapa masih berdarah? Apa luka itu dalam?" "Pak Gilbert, luka Bu Yohana nggak dalam," balas dokter. "Kalau lukanya nggak dalam, kenapa darahnya masih keluar? Apa kamu tahu bagaimana cara mengobati luka?" ujar Gilbert dengan tegas. Di bawah tekanan Gilbert yang dingin, dokter akhirnya menjawab dengan jujur, "Pak Gilbert, Bu Yohana mungkin memiliki gangguan pembekuan darah, luka kecil saja bisa menyebabkan pendarahan hebat." Satu kalimat itu membuat suara Gilbert makin dingin saat berkata, "Aku rasa kamu nggak ingin jadi dokter lagi, ya? Keluar dari sini!" Dia mendorong dokter itu dan langsung membalut luka Yohana dengan kain kasa. Gilbert tidak percaya Yohana memiliki penyakit seperti itu. Dia bahkan tidak percaya setelah bersama selama empat tahun, dia tidak bisa menyadari adanya hal seperti ini. Namun, meskipun Gilbert membalut dengan cepat, darah tetap saja tidak berhenti mengalir. Darah merah segar segera membasahi kain kasa putih. Meskipun terlihat seperti luka kecil yang sangat biasa, dia tidak bisa mengatasinya dengan baik. Gilbert merasa panik untuk pertama kalinya. Sambil membalut luka itu, dia berusaha menghiburnya dengan berkata, "Yohana, jangan dengarkan omong kosong itu. Kamu nggak ada penyakit itu, kamu pasti hanya terluka pada pembuluh darah, makanya darahnya keluar banyak. Aku akan membalut ini dulu, lalu bawa kamu ke rumah sakit. Kalau perlu transfusi darah, aku akan berikan darahku padamu. Golongan darah kita sama." Di tengah kepanikannya, Yohana berkata dengan suara dingin, "Dokter itu benar." Gerakan Gilbert berhenti sejenak. Dia menatap wajah pucat Yohana dengan tidak percaya, lalu bertanya, "Apa maksudmu?" Yohana menjawab datar, "Aku menderita gangguan pembekuan darah sejak kecil. Kalau terluka, darahku nggak bisa berhenti." Warna darah di wajah Gilbert menghilang dengan kecepatan yang terlihat oleh mata telanjang. "Nggak mungkin! Orang yang punya penyakit seperti itu nggak bisa punya anak. Kalau sampai hamil, bisa mati pendarahan! Kenapa kamu rela mengabaikan keselamatanmu hanya demi punya anak laki-laki?" tanya Gilbert. Dia tidak akan pernah lupa betapa Yohana sangat menginginkan anak laki-laki mereka. Selama masa kehamilan, dia selalu mengatakan, "Gilbert, anak kita pasti lahir dengan selamat, kita bertiga akan selalu bahagia bersama." Saat itu, dia duduk di pelukannya dengan mata penuh harapan dan cinta. Penuh harapan akan kehidupan dan cinta yang besar untuknya. Namun, tidak ada sedikit pun rasa takut akan melahirkan anak. Jika memang dia punya penyakit itu, bagaimana bisa dia begitu tenang? Belum sempat Yohana menjawab, suara William terdengar di belakang mereka, "Karena dia buta, dia anggap pemanfaatan itu sebagai cinta sejati, makanya dia rela mengorbankan dirinya demi anak."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.