Bab 3
Yohana perlahan berbalik, senyum samar masih tersisa di sudut bibirnya. "Kalau Pak Gilbert curiga, aku bisa berikan sehelai rambut Kirana. Kamu bisa memeriksanya untuk tes DNA."
Sikapnya yang begitu tenang membuat Gilbert diliputi rasa kehilangan dan ketidakpercayaan yang tak bisa dijelaskan.
"Kita sudah bercerai empat tahun, dia tiga tahun. Bagaimana mungkin kamu begitu cepat bersama pria lain? Ini bukan Yohana yang aku kenal."
Di pikirannya, Yohana adalah seseorang yang teguh dalam cinta.
Dia tahu betapa Yohana mencintainya dulu. Bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu cepat melahirkan anak dari pria lain?
Yohana mendengar itu dan tertawa kecil, nada dinginnya menusuk. "Kurang dari seminggu setelah aku pergi, kamu sudah bertunangan dengan Miranda. Jadi, kenapa aku nggak boleh bersama pria lain? Apa kamu pikir aku harus menjaga kesucian hanya untukmu? Gilbert, kenapa aku harus sebodoh itu?"
Alis Gilbert mengerut rapat. "Jadi, kamu melakukannya untuk membalas dendam padaku?" tanyanya.
Yohana tersenyum tipis, tetapi matanya penuh dengan ejekan. "Kamu bahkan nggak pantas untuk itu."
Kata-katanya membuat dada Gilbert terasa sesak. Ada emosi asing yang berputar-putar di dalam dirinya, tidak dia mengerti, tetapi menyakitkan.
Matanya yang dalam menunjukkan gelombang emosi yang sulit dikendalikan. "Kalau pria itu benar-benar mencintaimu, kenapa setelah kalian punya anak, dia nggak menikahimu? Itu nggak bertanggung jawab."
Yohana menatapnya tajam, dengan suara dingin membalas, "Dulu aku mengandung anakmu, dan kamu memberiku pernikahan. Tapi apa hasilnya? Kamu tetap mengkhianatiku. Lalu, apa hakmu untuk mempertanyakan orang lain?"
Setelah berkata begitu, Yohana berbalik dan membawa Kirana kembali ke meja mereka.
Gilbert tetap berdiri di tempatnya, memandangi Yohana, William, dan Kirana yang terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Tangannya mengepal erat.
Dia harus mengakui bahwa Yohana telah berubah. Dia tidak lagi merasakan secuil pun cinta di hati wanita itu untuknya.
Semua kelembutan dan kasih sayang Yohana kini diberikan kepada pria lain.
Memikirkan hal itu, perasaan tertekan dalam hati Gilbert semakin berat.
William yang memperhatikan ekspresi Yohana yang sedikit berubah segera memberikan segelas air kepadanya.
"Bagaimana kalau kita pindah ke restoran lain?" tanyanya dengan suara rendah.
Yohana menggeleng. "Nggak perlu. Kita tinggal di kota yang sama. Cepat atau lambat, aku harus menghadapinya."
"Tapi dia sudah curiga dengan identitas Kirana. Kalau dia benar-benar menyelidiki, aku khawatir dia akan mencoba merebut hak asuh. Kamu lupa bagaimana dia dulu merebut putramu?"
Kata-kata itu membuat hati Yohana bergetar.
Dulu, hubungannya dengan putranya sangat baik. Anak itu selalu patuh dan penuh kasih sayang kepadanya.
Namun, setelah anaknya masuk taman kanak-kanak, ibu mertuanya menawarkan diri untuk membantu mengasuh dengan alasan Yohana terlalu sibuk bekerja.
Saat itu, Yohana sedang mengerjakan proyek besar yang mengharuskannya bepergian selama dua bulan, jadi dia menyetujui tawaran itu.
Namun, ketika kembali, dia mendapati bahwa putranya sudah begitu dekat dengan Miranda, bahkan mulai menjauhinya.
Semua menjadi jelas ketika dia menerima dokumen perceraian dari Gilbert.
Alasan membantu mengasuh anak hanyalah tipuan. Tujuan sebenarnya adalah memutus hubungan Yohana dengan putranya.
Demi mengangkat posisi Miranda, keluarga Yonar bersatu untuk menipunya, membuat putranya berbalik melawan dirinya.
Hingga saat perceraian, Yohana bahkan tidak memiliki hak untuk memperjuangkan hak asuh putranya.
Karena putranya sendiri yang memilih untuk tinggal bersama ayahnya.
Mengingat semua itu, hati Yohana masih terasa nyeri.
Dulu, dia pikir luka itu telah sembuh seiring berjalannya waktu.
Namun kini, saat harus benar-benar menghadapinya, dia baru sadar, bukan sembuh. Luka itu hanya tertutup oleh debu tebal.
Dan ketika debu itu tersingkir, rasa sakitnya kembali terasa.
Yohana mengusap kepala Kirana dengan lembut, memberikan senyuman penuh keyakinan. "Tadi aku sangat tenang saat bicara dengannya. Dia nggak akan menyelidiki. Justru kalau aku terlihat panik dan berusaha menyembunyikan sesuatu, itu yang akan menarik perhatiannya."
William menyerahkan potongan daging yang telah dia potong kecil-kecil kepada Yohana. "Semoga saja begitu. Kalau penyakit Kirana sudah sembuh, kita pergi dari kota ini."
Tiga sosok itu duduk bersama di meja makan, memancarkan kehangatan yang begitu menyenangkan.
William sibuk membantu Yohana mengambil makanan, sementara Kirana dengan tawa kecilnya menikmati perhatian dari kedua orang yang dia anggap keluarganya. Udara di sekitar mereka seolah dipenuhi oleh gelembung kebahagiaan.
Di sisi lain restoran, Gilbert, yang tak sengaja terus melirik mereka, merasakan hatinya semakin sesak. Jemarinya yang menggenggam pisau dan garpu tampak memutih karena terlalu erat.
Dia harus mengakui bahwa Yohana benar-benar telah melangkah keluar dari bayangan pernikahan mereka.
Dia bahkan sudah menemukan kebahagiaan yang nyata.
Semakin dia memikirkannya, rasa sesak di dadanya semakin sulit ditahan. Baru saja dia hendak berdiri untuk mencari udara segar, suara lembut yang familier terdengar dari belakang.
"Gilbert."
Gilbert berbalik, matanya langsung menangkap Miranda yang berdiri di sana dengan senyum manis.
Sebelum dia sempat berbicara, Leonardi yang duduk di meja mereka langsung melompat ke pelukan Miranda, menunjukkan kedekatan mereka. "Bibi Miranda, aku sudah memesankan udang dengan saus wasabi kesukaanmu!"
Miranda tersenyum hangat, lalu mencium pipi kecil Leonardi. "Sayang, kamu memang anak yang manis. Bagaimana aku bisa nggak menyayangimu? Oh, ini untukmu. Mainan terbaru. Apa kamu suka?"
Leonardi dengan antusias memeluk mainan itu. "Tentu saja suka! Apa pun yang Bibi Miranda berikan, aku pasti suka."
Namun, matanya melirik tajam ke arah Yohana yang duduk di meja lain, suaranya sengaja dibuat keras untuk menarik perhatian.
Namun, Yohana sekali pun tidak pernah melirik ke arah sini. Pandangannya selalu fokus pada putrinya.
Ini membuat Leonardi sangat kesal.
"Aku harap nanti, ketika Bibi Miranda menikah dengan Ayah, dia bisa menjadi Ibu yang paling aku cintai!"
Miranda tersentuh oleh ucapan itu. Dia mengusap wajah kecil Leonardi dengan penuh kasih. "Tentu, Sayang. Aku pasti akan jadi ibu terbaik di dunia."
Setelah itu, dia berjalan ke sisi Gilbert dan duduk.
Namun, pria di sampingnya terlihat aneh.
Bukan dingin seperti biasanya, tetapi aura yang sulit ditebak. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Dia tersenyum dan bertanya, "Gilbert, ada apa? Apa guru Leonardi mengeluh lagi tentang kenakalannya? Anak-anak itu memang nakal, jangan terlalu dipikirkan."
Gilbert melirik Miranda dengan dingin. "Jangan terlalu memanjakannya lagi. Lihat apa yang terjadi sekarang. Mengganggu guru di kelas, berkelahi dengan teman sekelas, dan dalam seminggu tiga kali aku dipanggil ke sekolah."
Miranda segera berusaha menenangkannya. "Baik, aku akan lebih perhatian mulai sekarang. Jangan marah, ayo makan saja."
Dia mencoba menarik lengan Gilbert, berniat menggenggam tangannya.
Namun, pria itu dengan gerakan ringan dan tanpa kesan disengaja menghindar darinya.
Dua meja itu tidak terlalu berjauhan, sehingga Yohana dapat mendengar setiap kata mereka.
Dia tahu, semua ini adalah permainan Miranda. Wanita itu sengaja menunjukkan betapa dekatnya dia dengan Leonardi, dan bagaimana Gilbert kini telah menjadi tunangannya.
Jika ini terjadi di masa lalu, Yohana pasti akan sangat marah.
Namun sekarang, dia hanya menganggap trik Miranda ini kekanak-kanakan.
Saat itu, Kirana tidak sengaja menumpahkan minuman ke baju Yohana.
Dia segera tersadar, berdiri untuk pergi ke toilet membersihkan diri.
Namun, saat berbalik, dia langsung melihat Miranda sudah berdiri di belakangnya, memasang senyum penuh kemenangan di wajahnya.
"Bu Yohana, apa kabar?" sapa Miranda dengan nada mengejek.
Yohana tetap tenang. "Berkat Bu Miranda, aku baik-baik saja."
Miranda tersenyum sinis. "Yohana, di saat seperti ini, untuk apa berpura-pura? Suamimu dan anakmu sekarang sangat dekat denganku. Aku nggak percaya kamu sama sekali nggak marah."
Yohana melemparkan tisu ke tempat sampah, suaranya tetap datar tanpa emosi. "Kenapa aku harus marah? Kamu membantu membersihkan sampah dalam hidupku, aku justru harus berterima kasih padamu."
Wajah Miranda menegang. Namun, tak mau kalah, dia menambahkan dengan nada tajam, "Tunggu saja, begitu aku menikah, putramu akan memanggilku 'Ibu.' Masihkah kamu bisa bersikap angkuh seperti ini?"
Yohana tersenyum mengejek. "Bu Miranda, daripada membuang waktu untuk mencoba memprovokasiku, sebaiknya kamu fokus untuk menikahi Gilbert. Aku sudah pergi selama empat tahun, tapi dia belum juga menikahimu. Sepertinya, kamu nggak terlalu menarik baginya, ya."
Ucapan itu membuat Miranda menggertakkan giginya, wajahnya berubah murka. "Kamu pikir kamu lebih menarik baginya? Kamu pikir anakmu benar-benar hasil dari ketidaksengajaan setelah minum-minum?"