Bab 1
"Hei, bisu, berani-beraninya kamu menggigit aku!"
Yohana baru saja keluar dari ruangannya ketika melihat putrinya menggigit lengan seorang anak laki-laki dengan gigih, tidak mau melepaskannya.
Dia terkejut dan langsung berlari mendekat. "Kirana, nggak boleh menggigit orang," tegurnya.
Kirana akhirnya melepaskan gigitannya, tetapi matanya penuh dengan rasa sedih.
Dia menunjuk mulut kecilnya sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan mata yang sudah berair, seolah ingin berkata, "Aku nggak bisu!"
Yohana merasa hatinya teriris. Dia mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Ibu tahu kamu sedih, sayang, tapi menggigit orang tetap nggak boleh. Yuk, kita lihat luka kakaknya, ya?"
Kirana cemberut dengan wajah penuh rasa kecewa, tetapi tetap mengangguk patuh.
Setelah menenangkan putrinya, Yohana akhirnya mengalihkan pandangannya pada anak laki-laki yang tadi digigit.
Baru saja hendak meminta maaf, tetapi napasnya tertahan saat melihat wajah anak laki-laki itu. Wajah itu ... adalah wajah Gilbert yang selama ini muncul dalam mimpi-mimpinya.
Anak laki-laki di hadapannya adalah putranya, Leonardi.
Warna wajah Yohana langsung memucat. Semua kata yang ingin dia ucapkan tersangkut di tenggorokan, tidak mampu keluar.
Pikiran Yohana kembali ke masa lalu, saat putranya menatapnya penuh rasa benci dan berkata, "Wanita jahat, pergi dari sini! Jangan pernah kembali lagi! Aku nggak mau mengakuimu sebagai ibu! Aku mau Bibi Miranda jadi ibuku!"
Kata-kata itu adalah pukulan terakhir bagi Yohana di tengah perceraiannya.
Dikhianati suaminya sudah cukup menghancurkan hati, tetapi kehilangan anak yang paling dia sayangi membuat luka itu semakin parah.
Yohana bahkan tidak ingat bagaimana dia meninggalkan keluarga Yonar saat itu.
Yang dia tahu hanyalah rasa dingin yang menusuk, lebih tajam daripada salju di luar, menekan hatinya hingga nyaris hancur.
Empat tahun berlalu. Ini adalah kali pertama dia bertemu kembali dengan putranya.
Mau bilang dia tidak terpengaruh? Itu bohong besar.
Namun apa daya, di wajah putranya tidak ada kerinduan, hanya kebencian.
Sama seperti ketika dia dulu diusir dari rumah.
Yohana menarik napas dalam, menekan perasaannya yang bergejolak.
"Aku ini ibunya. Dia memang salah karena menggigitmu, dan aku minta maaf atas perbuatannya. Tapi kamu juga salah! Memanggilnya bisu adalah penghinaan besar. Kamu harus meminta maaf padanya." ujarnya dengan tegas.
Mendengar itu, amarah di mata Leonardi semakin memuncak.
Dia menatap Yohana dengan mata penuh kebencian dan berseru, "Dia memang bisu! Apa aku salah? Dia sama sepertimu, orang jahat! Aku nggak akan minta maaf!"
Leonardi berdiri dengan tangan di pinggang, menegakkan lehernya seperti seorang anak kecil yang tidak mau mengaku salah.
Tiba-tiba, suara dingin dan tegas terdengar dari belakang mereka. "Leonardi! Siapa yang mengajarimu bicara seperti itu?"
Hanya dengan satu kalimat, tubuh Leonardi langsung membeku.
Beberapa detik kemudian, dia menunjukkan bekas gigitan di lengannya sambil mengadu, "Ayah, semua ini gara-gara wanita jahat ini! Lihat anak yang dia ajarkan, hampir saja dia membunuhku dengan gigitannya!"
"Leonardi," suara Gilbert dingin seperti es, menatap putranya dengan tajam. "Dia itu ibumu. Kamu kira pantas bicara begitu pada ibumu? Apa yang selama ini Ayah ajarkan padamu?"
Leonardi mendongak dengan kepala keras, tidak gentar sedikit pun. "Dia bukan Ibu! Dia wanita jahat! Dia meninggalkanku demi bisu itu! Aku nggak akan pernah memanggilnya ibu!" balasnya dengan marah.
"Leonardi, apa kamu ingin Ayah menghukummu sekarang? Minta maaf, sekarang juga!"
Nada dingin itu membuat Leonardi langsung menegang. Keberanian yang tadi dia tunjukkan lenyap begitu saja, dan dia tidak berani melawan lagi.
Leonardi menundukkan kepala dengan enggan, lalu dengan suara kecil berkata, "Maaf." Setelah itu, tanpa menunggu tanggapan, dia berbalik dan berlari masuk ke dalam kelas.
Gilbert berjalan pelan mendekati Yohana. Tatapannya dingin, penuh selidik, lalu dia bertanya, "Dia anakmu?"
Yohana sudah membayangkan bahwa cepat atau lambat, kembali ke kota ini akan mempertemukannya lagi dengan Gilbert.
Namun, dia tidak menyangka pertemuan itu akan terjadi di tempat seperti ini.
Melihat wajah pria itu dan mendengar suaranya, seketika Yohana merasa dirinya kembali ke hari ketika dia meninggalkan keluarga Yonar.
Hari itu, dia baru saja pulang dari rumah sakit, membawa kabar gembira ingin memberi tahu Gilbert bahwa dia sedang mengandung. Namun, sebelum sempat dia membuka mulut, pria itu lebih dulu menyerahkan dokumen perceraian kepadanya.
Yohana tertegun, mengira pria itu sedang bercanda.
Namun, suara berat Gilbert yang mengikuti kemudian memadamkan segala harapannya. "Yohana, Miranda pernah menyelamatkan hidupku. Kakinya terluka parah, dia nggak bisa lagi berdiri di atas panggung. Akibatnya, dia mengalami depresi berat. Jika aku nggak menikahinya, dia akan bunuh diri. Jadi, aku harus mengorbankanmu dan bercerai denganmu."
Pada saat itu, seluruh dunia Yohana runtuh.
Gilbert, demi menebus rasa bersalahnya kepada cinta sejatinya, ingin bercerai dengannya.
Yang tidak dia tahu, Yohana juga telah mengorbankan mimpinya demi pria itu.
Yohana awalnya percaya, mungkin ini adalah keputusan yang terpaksa diambil oleh Gilbert.
Hingga suatu hari, dia mendengar percakapan antara Gilbert dan Miranda.
"Gilbert, dulu aku meminta Yohana di sisimu hanya untuk melindungiku dari bahaya. Sekarang posisimu sudah stabil, dia juga nggak perlu ada di sini lagi. Jangan bilang kamu mulai jatuh cinta padanya?" ujar Miranda.
Hati Yohana seperti diremas-remas.
Betapa dia berharap jawaban Gilbert adalah "iya."
Namun, yang dia dengar adalah suara dingin penuh ketegasan, "Tidak."
Hanya satu kata, tetapi tajamnya seperti pisau yang menusuk langsung ke jantung Yohana.
Ternyata, segala kebaikan Gilbert selama ini hanyalah untuk menciptakan ilusi. Tujuannya hanya satu, yaitu membuat musuh-musuhnya berpikir bahwa Yohana adalah kelemahannya, sehingga Miranda bisa tetap aman.
Namun, Yohana yang bodoh justru mengira cinta mereka tulus.
Mengingat semua itu, Yohana merasakan perih yang tidak bisa dilukiskan.
Namun, kali ini dia tidak merasa sedih karena pria itu. Yang dia sesali adalah betapa naif dirinya dulu.
Yohana menarik napas, kemudian tersenyum tipis. Tanpa ragu, dia menjawab, "Ya, dia anakku."
Mendengar jawaban itu, tatapan Gilbert menjadi semakin dingin.
Tangannya yang terkulai di samping tubuhnya mengepal erat tanpa dia sadari.
"Yohana, kamu tahu kondisi tubuhmu nggak memungkinkan untuk hamil lagi? Apa pria itu begitu luar biasa hingga kamu rela mempertaruhkan nyawamu demi anak ini?" balas Gilbert dengan suara sedikit tegas.
Yohana tersenyum sinis mendengar ucapannya.
Pria itu luar biasa?
Ironis, karena dia dulu melakukan semua itu justru demi Gilbert.
Dulu seorang peramal mengatakan bahwa Gilbert akan bernasib baik jika memiliki seorang anak perempuan.
Yohana yang mencintainya dengan sepenuh hati mencari cara untuk memastikan mereka memiliki anak perempuan.
Dia bahkan diam-diam meminum ramuan herbal selama berbulan-bulan dan mengabaikan peringatan dokter bahwa kehamilan kedua bisa membahayakan hidupnya.
Namun, semua itu tidak ada artinya, karena pria itu tetap membuangnya.
Senyuman Yohana menipis. "Itu bukan urusanmu."
Ekspresi Gilbert menjadi lebih suram. "Yohana, aku hanya khawatir padamu. Bagaimanapun, kamu adalah ibu kandung Leonardi. Aku nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Yohana tertawa kecil, nadanya penuh ejekan saat dia berkata, "Terima kasih atas perhatiannya, Pak Gilbert. Aku baik-baik saja. Kalau anak ini perlu perawatan, aku bisa membawanya ke dokter sekolah. Kalau nggak, aku akan pergi sekarang."
"Yohana," panggil Gilbert, matanya tajam memandang wajah Yohana yang masih seindah dulu. "Jangan lupa, Leonardi adalah anak yang kamu lahirkan dengan pertaruhkan nyawamu. Tapi sekarang, kamu lebih peduli pada anak perempuanmu. Bagaimana kamu bisa begitu tega?"
Yohana menoleh kembali, tatapannya tenang tanpa gelombang emosi. "Untuk orang-orang yang nggak mencintaiku, kenapa aku harus memaksakan diri? Bukankah lebih baik menikmati kebahagiaan yang ada sekarang?"
Dia membungkuk, menggendong Kirana dengan penuh kelembutan, suaranya berubah lembut. "Sayang, Ayah sudah datang menjemput kita. Ayo, kita makan enak untuk merayakan Ibu mendapatkan pekerjaan baru."
Yohana berbalik dan berjalan menuju William, yang sudah berdiri menunggu di lorong.
Dengan tenang, William mengambil Kirana dari gendongannya, kemudian menggandeng tangan Yohana. Bersama, mereka bertiga pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat pemandangan "keluarga kecil" yang terlihat begitu bahagia itu, Gilbert berdiri mematung. Urat-urat di punggung tangannya menonjol, mencerminkan gejolak di dalam hatinya.
Di kepalanya, suara yang mengganggu terus berulang, "Yohana punya anak dari pria lain."