Bab 12
Mendengar suara itu, Yohana langsung terkejut.
Dia mengira dirinya sedang berhalusinasi.
Matanya segera beralih ke William dan suaranya bergetar, "William, barusan itu suara Kirana, 'kan?"
William juga tak kalah terkejut. Dia berjalan mendekati Kirana, mengangkatnya, lalu mencium pipi bulatnya yang menggemaskan. Pria itu berkata, "Sayang, coba panggil Ayah sekali lagi."
Mata Kirana yang besar dan hitam bersinar saat dia menatap layar televisi. Sambil melihat Gilbert di sana, dia kembali membuka mulut, "Ayah."
Kali ini suaranya lebih jelas, jernih, dan terdengar sangat manis.
Air mata langsung mengalir di wajah Yohana.
Dia akhirnya mendengar suara putrinya untuk pertama kalinya.
Dia memeluk Kirana sambil menangis terisak, "Sayang, panggil Ibu."
Namun, Kirana hanya merapatkan bibir kecilnya, menatapnya tanpa berkata apa-apa lagi.
Meski tidak mendengar putrinya memanggil "ibu", Yohana tetap tersenyum bahagia.
"William, sepertinya suasana keluarga kita sangat membantu untuk kesembuhannya. Dia akhirnya mau berbicara," ujar Yohana.
William tersenyum tipis, meskipun ada rasa pahit di dalamnya. Dia berkata, "Yohana, kamu sadar, 'kan? Dia bukan memanggilku."
Yohana baru tersadar.
Barusan, Kirana memanggil "ayah" sambil menatap Gilbert di televisi.
Dia mulai panik, "Apa mungkin dia tahu sesuatu?"
William mengusap lembut kepala Kirana sambil tersenyum, lalu berkata, "Dia sudah tiga tahun, Yohana. Dia mungkin nggak bisa bicara sebelumnya, tapi dia pasti bisa mengerti apa yang kita bicarakan. Jadi, bisa jadi dia sudah tahu siapa ayahnya, atau lebih tepatnya, dia merasakan hubungan darah di antara mereka."
Mendengar itu, Yohana merasakan punggungnya meremang.
Kirana memang cerdas sejak kecil. Apa pun yang diajarkan padanya hanya sekali langsung bisa dia ingat.
Di usianya yang baru tiga tahun, dia sudah mengenal lebih dari tiga ribu kata.
Seorang anak secerdas itu, bagaimana mungkin dia tidak tahu siapa ayahnya?
Yohana merasa takut. Beruntung Kirana sebelumnya tidak bisa berbicara. Kalau tidak, dia pasti sudah mengungkapkan segalanya di hadapan Gilbert.
Namun, bagaimanapun juga, fakta bahwa putrinya kini mulai berbicara adalah sebuah langkah besar.
Hatinya dipenuhi harapan untuk masa depan.
Gilbert turun dari lantai atas sambil membawa dua roti lucu berbentuk boneka beruang di tangannya.
Dia mengeluarkan ponselnya, memotret roti itu, lalu mengirim pesan kepada Leonardi: "Mau coba?"
Leonardi melihat pesan itu. Ekspresinya langsung berubah menjadi sedikit rumit.
Dia ingat betul roti ini. Waktu kecil, dia sering memakannya.
Rasanya manis dengan aroma susu yang lembut
Isinya adalah pasta kacang merah kesukaannya.
Sejak wanita itu meninggalkannya, dia tidak pernah mencicipi roti seperti itu lagi.
Meskipun para pembantu di rumah pernah mencoba membuatnya, rasanya tidak pernah sama.
Leonardi tak perlu berpikir lama untuk tahu dari mana Gilbert mendapatkan roti itu.
Dia mendengus pelan, lalu membalas pesan itu: "Nggak mau!"
Gilbert membaca dua kata yang terlihat penuh amarah itu, lalu tersenyum kecil.
"Memang bukan untukmu. Ini dari Kirana untuk Ayah. Ayah hanya berpikir kalau kamu sudah selesai menulis laporanmu, Ayah bisa memberimu roti ini. Tapi sepertinya nggak perlu."
Melihat balasan itu, Leonardi menggembungkan pipinya. Napasnya terasa berat saat dia mengetik dengan cepat: "Aku sudah selesai dari tadi."
Gilbert menjawab: "Jadi, mau Ayah beri satu?"
Leonardi membalas lagi: "Nggak butuh."
Melihat pesan itu, Gilbert tertawa kecil. Tidak butuh, tapi repot-repot bilang kalau sudah selesai menulis?
Bukankah ini bertentangan dengan ucapannya?
Ketika Gilbert pulang ke rumah, dia melihat Leonardi duduk di sofa dengan sikap seolah tidak peduli.
Namun, matanya diam-diam melirik ke arah roti di tangan Gilbert.
Gilbert mendekatinya, mengayunkan roti di depan wajah Leonardi lalu berkata, "Nggak mau makan?"
Leonardi mendengus sambil cemberut lalu berkata, "Bentuknya jelek, pasti rasanya juga nggak enak."
Meski begitu, matanya tetap terpaku pada roti itu.
Saat Gilbert hendak memasukkan roti ke mulutnya, Leonardi melompat dari sofa, merebutnya dan segera menyuapkannya ke mulutnya sendiri.
Sambil mengunyah, dia berkata dengan penuh alasan, "Aku ini anakmu. Aku harus memastikan semuanya aman. Siapa tahu wanita itu meracuni roti ini."
Begitu gigitan pertama masuk, rasa yang sudah lama dirindukannya memenuhi lidahnya. Mata hitamnya yang besar tiba-tiba memerah.
Kenangan masa kecilnya muncul di benaknya.
Melihat tingkah Leonardi yang begitu keras kepala, Gilbert tertawa kecil sambil mengetuk kepalanya lalu berkata, "Kalau mau makan, bilang saja. Dia itu ibumu. Nggak perlu malu. Lain kali, jangan bersikap kasar padanya. Dia akan menerimamu perlahan."
Leonardi pura-pura tidak peduli dan berkata, "Siapa juga yang butuh dia menerimaku?"
Gilbert balas menggoda, "Kalau kamu sebegitu nggak suka dengannya, kembalikan rotinya."
Leonardi terkejut, lalu dengan cepat menghabiskan roti yang tersisa. Sambil menggembungkan pipinya, dia berkata, "Sudah habis!"
Saat mereka masih bercanda, Bu Elvina turun dari lantai atas.
Dia menatap ke arah tubuh Gilbert dan bertanya dengan heran, "Apa yang kamu tempelkan di badanmu itu? Lepas sekarang juga!"
Dia hendak membantu Gilbert melepaskan stiker-stiker aneh itu, tetapi Gilbert menghalangi. Dia berkata, "Nggak perlu. Nanti aku urus sendiri di rumah. Sekarang aku bawa Leonardi pulang dulu."
Gilbert mengangkat tas sekolah Leonardi, bersiap untuk pergi. Namun, Bu Elvina memanggilnya dari belakang.
"Gilbert, hari ini keluarga Pratama kembali menanyakan tentang pernikahanmu dengan Miranda. Kalian sudah bertunangan selama empat tahun. Cepat nikahi dia! Bagaimanapun juga, keluarga Pratama adalah keluarga terpandang. Dengan menjalin hubungan pernikahan, posisimu akan makin kokoh," ujar Bu Elvina.
Mata Gilbert menjadi dingin. Dia segera berkata, "Menurut Ibu, apa aku masih butuh orang lain untuk mengokohkan posisiku sekarang?"
Bu Elvina memelototinya dengan kesal dan berkata, "Mungkin sekarang kamu nggak butuh, tapi jangan lupa, Miranda sudah menyelamatkan nyawamu dua kali! Tanpa dia, kamu mungkin sudah tiada. Selain itu, kamu dan Leonardi sama-sama memiliki golongan darah langka. Miranda adalah satu-satunya yang bisa mendonorkan darah kapan pun kalian butuh. Meski dia nggak bisa punya anak lagi, kamu tetap nggak boleh meninggalkannya!"
Mendengar kata-kata itu, sorot mata Gilbert sedikit berubah.
Dulu, dia dan ayahnya pernah dijebak hingga terpojok. Ayahnya tewas di tempat, sementara dia sendiri hanya berhasil diselamatkan setelah kehilangan banyak darah dan pingsan.
Dengan golongan darah Rh-negatif yang langka, stok darah di bank darah tidak mencukupi untuknya.
Keluarga Gilbert akhirnya terpaksa mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk mencari donor darah.
Saat dia sadar, dia diberi tahu bahwa ada seorang gadis yang mendonorkan 800 cc darah hingga pingsan.
Gilbert tahu betul batas aman maksimal untuk donor darah seorang manusia.
800 cc adalah batas yang berbahaya, apalagi untuk seorang gadis muda.
Sejak saat itu, dia merasa sangat berterima kasih kepada gadis itu.
Ibunya kemudian mengangkat Miranda menjadi anak angkat keluarga Yonar dan melindunginya dengan penuh perhatian. Namun, Gilbert tahu apa alasan sebenarnya di balik tindakan ibunya.
Ibunya ingin menjadikan Miranda sebagai cadangan darah bagi keluarganya.
Untuk menghindari situasi itu, Gilbert secara berkala mendonorkan 400 cc darahnya sendiri untuk disimpan di bank darah, agar bisa digunakan kapan saja.
Namun, Gilbert tidak pernah menyangka bahwa Miranda yang saat itu menumpang di mobilnya, mengalami kecelakaan. Miranda melindunginya dari bahaya, tetapi kecelakaan itu merenggut kemampuan kedua kakinya untuk berjalan. Impiannya untuk kembali ke panggung sebagai seorang seniman hancur selamanya.
Semua darah cadangan yang telah disimpan Gilbert juga habis digunakan untuk menyelamatkan Miranda.
Dua kali nyawanya terselamatkan oleh Miranda, utang budi yang begitu besar tak dapat dia balas dengan cara apa pun.
Satu-satunya hal yang bisa dia berikan adalah pernikahan yang diinginkan Miranda.
Namun, pilihan itu membuatnya melukai hati Yohana.
Waktu itu, Gilbert berpikir Miranda telah kehilangan mimpinya dan kesempatan menjadi seorang ibu demi menyelamatkannya. Sedangkan Yohana hanya kehilangan sebuah hubungan, yang menurutnya bisa segera dilupakan seiring waktu.
Tapi kini, dia sadar Yohana benar-benar sudah melanjutkan hidupnya.
Meski begitu, setiap kali mengingat semua ini, dada Gilbert terasa sesak dan sakit tak tertahankan.
Dengan nada datar, Gilbert berkata, "Aku akan mengurus masalahku sendiri."
Bu Elvina langsung menyambarnya, "Urus bagaimana? Miranda bilang kalau Yohana sudah kembali. Jangan-jangan kamu benar-benar jatuh cinta padanya? Itu sebabnya kamu terus menunda pernikahanmu dengan Miranda."