Bab 2
Di luar, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.
Tangan Orlin gemetaran. Dia buru-buru menenangkan diri, lalu bangkit berdiri untuk membuka pintu.
Saat pintu terbuka, pandangan Orlin bertemu dengan mata gelap Aaron. Dia tanpa sadar mengepalkan tangan. "Kak, kamu sudah pulang ...."
Aaron tidak melihat ke arahnya. Tatapannya menyapu ruangan yang masih dipenuhi asap tipis, lalu dia mengerutkan kening. "Apa yang kamu bakar di dalam sini?"
Orlin baru hendak menjawab ketika Julia melangkah maju, lalu dengan mesra menggandeng lengan Aaron. Wanita itu tampak tersenyum penuh kemenangan ke arah Orlin.
Pada detik itu, Orlin tiba-tiba memahami sebuah ungkapan.
Ada orang-orang yang mampu merampas seluruh duniamu hanya dengan berdiri diam di sana.
Kata-kata yang ingin dia ucapkan seolah tersangkut di tenggorokan. Orlin hanya bisa menjawab dengan suara lemah, "Hanya beberapa sketsa yang nggak berguna."
Dia berbohong.
Sementara itu, Aaron benar-benar memercayai alasannya, tidak bertanya lebih lanjut.
Sambil membawa Julia, pria itu berbalik hendak menuju kamarnya.
"Tunggu sebentar." Orlin secara refleks memanggilnya, "Kak, aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Orlin ingin mengucapkan selamat tinggal pada Aaron dengan baik.
Begitu Orlin selesai berbicara, di melihat Aaron mengerutkan keningnya.
Sebelum Aaron sempat menjawab, Julia sudah lebih dulu menegurnya, "Orlin, Aaron hanya menganggapmu sebagai adiknya. Kamu nggak mungkin masih belum menyerah, ingin terus mengejar dia, 'kan?"
"Bukan begitu ...."
"Cukup! Ke depannya, kalau bukan hal penting, jangan ganggu aku lagi," potong Aaron tanpa memberi kesempatan pada Orlin untuk menjelaskan.
Orlin tidak mampu menahan rasa pedih di dadanya. Matanya juga terasa sangat perih.
Sebelumnya, Aaron tidak pernah mengatakan hal seperti ini padanya.
Dia tahu Orlin kekurangan rasa aman. Selama ini, Aaron selalu menenangkannya, menempatkannya sebagai prioritas utama.
Aaron dulu pernah berkata bahwa segala sesuatu tentang Orlin adalah yang paling penting.
Namun, kini seluruh perhatian Aaron tertuju kepada Julia.
Pria yang dulu akan langsung panik melihat setetes air matanya, kini tak lagi peduli meski melihatnya menangis.
Orlin tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia berbalik dengan tergesa-gesa, menutup pintu seperti melarikan diri.
...
Malam itu, Orlin tidak bisa tidur nyenyak. Dia bermimpi sepanjang malam.
Dalam mimpi itu, hanya ada kenangan tentang dirinya dan Aaron.
Setelah orang tuanya meninggal, perusahaan dikelola oleh bibinya, Kyla Hudson, yang sering sibuk bekerja hingga larut malam.
Kemudian, Aaron belajar merawat Orlin. Meski sebelumnya dia tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah, Aaron belajar mencuci pakaian dan memasak demi Orlin.
Ketika Orlin sakit perut karena datang bulan, Aaron belajar membuat teh jahe dengan gula merah untuknya.
Ketika Orlin takut pada suara petir, Aaron tetap berada di sisinya. Dia tidak bergerak sedikit pun, menemani sampai Orlin tertidur.
Ketika teman-teman sekolah mengejek Orlin sebagai anak yatim piatu, Aaron untuk pertama kalinya bertengkar dan memberi tahu semua orang bahwa Orlin adalah satu-satunya putri kecil Keluarga Jerome.
Wajah lembut dalam kenangan itu terus membuat Orlin tenggelam berulang kali.
Namun, kelembutan itu tiba-tiba menghilang. Yang tersisa hanyalah rasa muak serta keterkejutan saat Aaron berkata, "Orlin, kamu benar-benar membuatku muak."
Orlin terbangun dengan kaget. Wajahnya masih basah oleh air mata, sementara bantalnya sudah basah kuyup.
Matanya sangat merah dan bengkak. Setelah mencuci wajah dan berdandan, Orlin akhirnya bisa menyembunyikan wajahnya yang penuh kelelahan.
Setelah mengganti pakaian, dia melangkah turun ke lantai bawah, berniat pergi ke sekolah untuk mengurus beberapa hal. Namun, dia melihat Julia yang sedang sibuk di dapur.
"Orlin, kamu sudah bangun." Julia yang membawa semangkuk bubur panas, tampak tersenyum sambil melambai padanya. "Aku membuatkan bubur ketan hitam kesukaanmu. Cobalah."
Ketika melihat Julia yang tampak santai, Orlin tidak ingin berurusan dengannya. "Nggak perlu, aku ...."
"Orlin, apa kamu masih marah padaku karena mengambil barangmu di pesta ulang tahun? Aku benar-benar nggak sengaja. Jangan marah pada Kakak, ya?" Julia menatap Orlin dengan mata yang tampak memerah sambil menggigit bibirnya dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
Panggilan Kakak itu membuat Orlin sulit menerima kenyataan. Dia menekan emosinya, mencoba berjalan melewati Julia untuk pergi. Namun, Julia tiba-tiba melangkah maju. Tubuh mereka saling bertabrakan, membuat bubur panas yang dipegang Julia tumpah membasahi tubuhnya, sementara mangkuknya jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
"Orlin, apa yang kamu lakukan?" Suara Aaron yang penuh amarah terdengar. Dia melangkah maju dengan cepat, menarik Orlin ke samping, lalu dengan cemas memeriksa tangan Julia yang terkena tumpahan bubur.
"Orlin, kalau kamu marah, marah saja padaku! Jangan lampiaskan pada Julia. Minta maaf padanya sekarang juga!"
Orlin tertegun melihat Aaron yang langsung menyalahkannya tanpa bertanya apa-apa terlebih dulu.
Rasa panas dari luka bakar di punggung tangannya sangat menyakitkan, tetapi ini tidak sebanding dengan sakit di hatinya.
Dulu, setiap kali dia terluka, meskipun hanya luka kecil, Aaron akan langsung menyadari, merasa sangat khawatir.
Namun, sekarang perhatian Aaron sepenuhnya tertuju pada Julia.
"Aaron, Orlin mungkin masih marah padaku. Dia pasti nggak sengaja melukaiku, jangan marah padanya," ujar Julia dengan suara lembut.
"Orlin, apa ini yang aku ajarkan padamu? Kamu sudah melakukan kesalahan, tapi nggak meminta maaf? Kamu benar-benar mengecewakanku. Segera minta maaf pada Julia, apa kamu dengar?" kata Aaron sambil menatapnya dengan tatapan dingin.
Orlin mendongak, menatap Aaron dengan tatapan tidak percaya.
Dia masih ingat saat di SMA, ada yang menyebarkan kabar bahwa dirinya adalah anak yatim piatu, membuat semua orang mengetahui tentang hal ini.
Kemudian, suatu hari uang kas kelas hilang saat jam pelajaran olahraga. Kebetulan Orlin kembali ke kelas karena sedang datang bulan, sehingga dia menjadi tersangka utama.
Semua orang menganggapnya sebagai seorang pencuri, yakin bahwa anak yatim seperti dirinya pasti punya kebiasaan buruk.
Waktu itu, Aaron sudah bekerja sebagai pegawai magang di sebuah perusahaan. Dia sedang menangani proyek bernilai miliaran. Ketika mendengar kabar itu, dia langsung pulang di malam yang sama, berdiri di pihak Orlin. Pria itu dengan tegas menuntut pihak sekolah menyelidiki hingga tuntas, membersihkan nama baiknya.
Pada saat itu Aaron berkata bahwa dia akan selalu memercayai Orlin tanpa syarat.
Namun, hanya dalam beberapa tahun, kepercayaan Aaron kini telah beralih pada orang lain.
Orlin memaksakan senyum pahit. Dia menatap Aaron dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, "Kalau aku bilang itu bukan salahku, apakah kamu akan percaya?"
Aaron mengerucutkan bibirnya, menatap Orlin dengan sorot mata tajam tanpa berkata apa-apa.
Hati Orlin perlahan-lahan terasa makin dingin.
Dari belakang terdengar suara langkah kaki. Ayah Aaron, Carlo Jerome, tampak turun dari tangga. Wajahnya penuh ketidaksenangan melihat keributan itu. "Dari tadi aku mendengar suara ribut dari atas. Apa yang terjadi di sini?"
Julia langsung menceritakan apa yang terjadi, lalu memandang Orlin dengan ekspresi tak berdaya. Dia berkata, "Orlin, aku tahu kalau kamu nggak bisa menerimaku sebagai pacar kakakmu. Tapi cepat atau lambat, dia akan menikah. Kamu nggak bisa terus bersikap kekanak-kanakan seperti ini, 'kan?"
Tatapan serius Carlo langsung tertuju pada Orlin. "Orlin, kamu benar-benar nggak tahu diri. Cepat minta maaf pada Julia."
"Itu benar-benar bukan salahku," ujar Orlin.
Namun, tidak ada seorang pun yang memercayai pembelaannya yang lemah. Semua orang menatapnya dengan pandangan menghakimi.
Pada saat itu, Kyla dan Ibu Julia, Paula Taylor, turun dari lantai atas.
Ketika melihat tangan putrinya yang terluka, Paula segera mendorong Kyla ke samping, menghampiri Julia, lalu dengan cemas memegang tangannya.
"Julia ada lomba piano bulan depan. Lomba itu sangat penting baginya, tangannya nggak boleh sampai terluka! Orlin, kamu benar-benar keterlaluan!"
"Aku nggak ...." Pada saat itu, Orlin merasa tidak ada lagi cara untuk membela diri.
Kyla yang merasa iba pada Orlin, melangkah maju untuk melindunginya. Namun, tatapan tidak puas Carlo segera tertuju padanya.
"Kamu selalu sibuk dengan urusan bisnismu yang nggak seberapa itu. Lihat apa yang terjadi dengan keponakanmu ini! Dia punya sikap iri hati, menyakiti orang lain, serta nggak mau mengakui kesalahannya! Kalau dia nggak mau minta maaf, kamu yang harus melakukannya. Segera minta maaf pada Paula dan Julia!" ujar Carlo.
"Paman! Masalah ini nggak ada hubungannya dengan bibiku!" Orlin merasa terkejut. Dia tahu betapa banyak perlakuan tidak adil yang diterima bibinya karena Paula selama ini.
Paula adalah cinta pertama Carlo. Beberapa tahun lalu, Carlo langsung membawa Paula dan Julia ke rumahnya setelah perceraian Paula. Dia memberi mereka hak tinggal yang sah di rumah Keluarga Jerome.
Karena Carlo selalu membela mereka, Paula lebih terlihat sebagai menantu di Keluarga Jerome daripada Kyla.
Orlin selama ini selalu menghindari berurusan dengan pasangan ibu dan anak itu. Siapa sangka Julia pada akhirnya justru menjalin hubungan dengan Aaron ....
Orlin tidak ingin bibinya harus menanggung penghinaan karena dirinya. Dia menekan rasa sakit serta ketidakrelaannya, lalu menundukkan kepala.
"Aku salah. Maafkan aku ... Kak Julia."
Kata-kata itu terasa berat saat keluar dari mulutnya.
Hatinya yang penuh dengan rasa sakit serta kecewa kini dipenuhi oleh rasa putus asa.