Bab 1
"Bibi, aku setuju untuk pergi ke luar negeri melanjutkan pendidikan."
Mendengar Orlin menyetujuinya, Kyla terlihat sangat lega dan juga senang. Dia berkata, "Bagus sekali, Orlin. Akhirnya kamu sudah berpikir jelas."
"Bibi akan segera mengurus dokumen pendaftaran dan visamu. Kamu masih punya waktu sebulan, jadi kamu bisa gunakan waktu ini untuk berpamitan dengan teman-temanmu. Setelah sampai di Negara Igris, kalian mungkin akan sulit untuk bertemu lagi."
Kyla tampak ragu sejenak sebelum menambahkan, "Apa aku perlu memberi tahu kakakmu soal ini?"
Orlin mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya menekan telapak tangannya, lalu menggeleng sembari membalas, "Bibi, biar aku saja yang memberi tahu Kakak."
"Baiklah, terserah kamu saja." Kyla tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk kecil sebelum bangkit, lalu meninggalkan ruang tamu.
Orlin melepaskan kepalan tangannya. Di telapak tangannya kini tampak bekas-bekas merah. Dalam keheningan, dia berdiri, lalu melangkah naik ke lantai atas.
Saat pintu kamar terbuka, lampu pun menyala menerangi seluruh dinding yang penuh dengan foto.
Orlin melangkah mendekat, sementara pandangannya tertuju pada foto yang ada di tengah.
Hari yang cerah, di bawah pohon bunga gardenia yang rimbun, seorang pemuda dengan alis tajam serta senyum nakal tampak menatap gadis berseragam putih di sisinya. Rok gadis itu terlihat melambai terkena angin.
Di foto itu ada Aaron yang berusia 20 tahun dan Orlin yang berusia 15 tahun.
Orlin mengulurkan tangan untuk membelai foto itu. Dia tanpa sadar tersenyum kecil, tetapi air matanya jatuh tanpa suara, membasahi matanya.
Pandangan matanya kabur, tetapi kenangan di kepalanya justru tampak makin jelas, seakan membakar hatinya.
Segala sesuatunya telah berubah. Dia dan Aaron tidak akan mungkin kembali lagi seperti dulu.
Aaron, yang dipanggil Kakak oleh Orlin, sebenarnya tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Aaron adalah anak tiri dari bibinya, Kyla Hudson. Setelah ibu kandung Aaron meninggal, Kyla yang merawatnya.
Sejak kecil, Orlin sangat suka mengikuti di belakang kakak angkatnya yang tampan itu.
Ketika berusia tujuh tahun, orang tua Orlin meninggal dalam kecelakaan mobil. Dia adalah satu-satunya orang yang selamat dari tragedi itu.
Namun, sejak saat itu Orlin dianggap sebagai pembawa sial di Keluarga Sander. Dia dianggap sebagai penyebab kematian orang tuanya.
Pada musim hujan yang sangat dingin, neneknya mengusir Orlin dari rumah, membuatnya berlutut di tengah hujan sampai hampir mati kedinginan.
Saat itulah Aaron datang tepat waktu untuk menyelamatkannya.
Sampai sekarang, Orlin masih mengingat apa yang dikatakan Aaron dengan penuh amarah yang ditahan kepada Keluarga Sander pada hari itu.
"Kalau Keluarga Sander nggak mau merawatnya, aku yang akan merawatnya! Mulai sekarang, Orlin adalah bagian dari Keluarga Jerome, nggak ada hubungannya lagi dengan kalian!"
Aaron menggenggam tangan Orlin dengan lembut sambil berkata dengan nada tegas yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya, "Ayo, ikut Kakak pulang."
Aaron benar-benar memenuhi janjinya.
Bisa dikatakan bahwa Orlin dibesarkan sendirian oleh Aaron.
Kasih sayang dan perlindungan Aaron yang terang-terangan perlahan membawa Orlin keluar dari rasa sakit serta ketidakamanan karena kehilangan kedua orang tuanya.
Setiap kali Aaron membelanya, Orlin tak dapat menahan gejolak di hatinya.
Dia tanpa bisa dihindari telah jatuh cinta pada pria yang membesarkan serta melindunginya selama ini.
Oleh karena itu, pada ulang tahunnya yang ke-18, ketika Aaron berkata, "Hari ini adalah ulang tahunmu, Orlin. Apa pun yang kamu harapkan, Kakak akan mewujudkannya untukmu."
Orlin tak mampu lagi menahan perasaannya. Dia berjinjit untuk mencium kakaknya itu.
Namun, Aaron malah mendorongnya dengan kasar.
"Orlin! Apa kamu tahu apa yang kamu lakukan? Aku ini kakakmu!"
Orlin membalas dengan suara lantang, "Kita nggak punya hubungan darah! Kamu bukan kakak kandungku, kenapa kita nggak bisa bersama?"
Wajah Aaron tampak sangat muram, lebih muram dari yang pernah Orlin lihat sebelumnya. Dia belum pernah melihat kakaknya itu marah sebesar ini.
"Aku tahu kamu bergantung padaku, tapi ketergantungan itu bukan cinta. Jangan pernah mengucapkan hal seperti ini lagi!"
"Kenapa nggak boleh mengatakannya?" Orlin menatap Aaron dengan penuh tekad, lalu melanjutkan, "Aku mencintaimu. Aku tahu dengan baik bagaimana perasaanku padamu. Kak, apa kamu benar-benar nggak menyukaiku?"
Tatapan Aaron menjadi makin dingin dan nada bicaranya lebih dingin lagi ketika berujar, "Orlin, kamu benar-benar sudah gila. Tenangkan dirimu dan pikirkan baik-baik! Kalau kamu berani mengatakan omong kosong seperti ini lagi, keluar saja dari rumah ini!"
Aaron membanting pintu sebelum melangkah pergi.
Hari itu, mereka berpisah dengan ketegangan di antara keduanya.
Sejak saat itu, seakan ada penghalang tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Aaron bahkan jarang pulang, membuat Orlin sulit bertemu dengan pria itu, bahkan hanya bisa melihat pria itu seminggu sekali.
Orlin mulai merasa takut. Dia tidak menyukai Aaron yang seperti ini. Dia ingin mengalah, mencoba memperbaiki hubungan mereka.
Orlin memesan sepasang cincin khusus, berharap bisa memberikannya pada Aaron saat pesta ulang tahun pria itu nanti.
Namun, saat dia berdiri penuh harapan di depan pintu ruang pesta, dia mendengar seseorang bertanya.
"Kak Aaron, kenapa hari ini adik angkatmu yang selalu menempel padamu itu nggak datang?"
"Jangan sebut-sebut dia lagi, merusak suasana saja," balas Aaron.
Tubuh Orlin membeku. Melalui celah pintu, dia bisa melihat wajah Aaron yang penuh raut tidak sabar serta kesal. Senyum di wajah Orlin berubah pahit, tetapi dia tetap menguatkan hati dan membawa hadiah itu masuk ke dalam.
"Kak, selamat ulang ta ...."
Begitu Aaron melihat kemunculan Orlin, wajahnya langsung menjadi muram. Dia bertanya, "Kenapa kamu ada di sini?"
Orlin menahan rasa sakit di hatinya, lalu dengan hati-hati menyodorkan hadiahnya sambil berkata, "Kak, ini aku desain sendiri untukmu. Aku punya sesuatu yang ingin aku ...."
Namun, Aaron bahkan tidak melirik hadiah itu. Sebaliknya, dia meraih tangan seorang gadis yang ada di sampingnya, bangkit berdiri, lalu mengumumkan dengan senyum lebar, "Bulan depan, aku dan Julia akan bertunangan. Kalian semua diundang untuk menghadiri pesta pertunangan kami."
Julia Dastan adalah gadis yang dibawa pulang oleh Carlo, ayah Aaron. Bagaimana mungkin dia dan Aaron ....
Air mata yang sudah ditahan Orlin akhirnya tak bisa dibendung lagi, semuanya mengalir keluar dengan deras.
Orlin menatap punggung Aaron, masih tidak memercayai apa yang dia dengar. "Kak, kamu pasti bercanda, 'kan? Kamu hanya ingin membuatku menyerah, makanya kamu mencari seseorang untuk pura-pura bertunangan denganmu, 'kan?"
Aaron menoleh, menatap Orlin dengan tatapan dingin, lalu berujar dengan nada mengejek, "Orlin, kamu sudah berpikir terlalu banyak. Aku dan Julia sudah lama menjalin hubungan. Sekarang, kamu seharusnya menganggapnya kakak iparmu dan memanggilnya Kak Julia."
Orlin membeku di tempat. Dikelilingi oleh suara riuh ucapan selamat dari orang-orang, Orlin merasa tubuhnya seperti tenggelam ke dalam air es dan kepalanya terasa pusing. Bahkan ketika kotak hadiah di tangannya direbut oleh Julia, dia juga tidak menyadarinya.
Julia membuka kotak itu di depan semua orang, memperlihatkan cincin di dalamnya, lalu dengan sengaja berseru dengan nada mengejek, "Ternyata ini cincin! Aaron, apakah dia ingin melamarmu?"
Orlin baru tersadar. Dia melihat semua orang menatapnya dengan pandangan aneh sambil berbisik-bisik.
Dia ingin membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi tatapannya bertemu dengan pandangan merendahkan dari Aaron.
"Aku sudah bilang kalau aku ini kakakmu. Bagaimana bisa kamu masih memiliki pikiran memuakkan seperti itu?"
Aaron merampas kotak cincin itu, lalu melemparkannya ke tempat sampah.
Aaron membuangnya selayaknya sampah seperti membuang perasaan Orlin.
Seluruh tubuh Orlin terasa membeku, rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya hingga menusuk ke jantung. Dia tak pernah menyangka bahwa cintanya selama ini dianggap begitu memuakkan oleh Aaron.
Dia tidak ingat bagaimana caranya dia meninggalkan ruangan pesta itu. Aaron juga tidak mengejarnya.
Kenangan masa lalu mereka terus berputar di kepalanya. Orlin kembali ke rumah dengan langkah gontai. Begitu melihat Kyla, dia tidak bisa menahan diri lagi dan langsung menangis tersedu-sedu di pelukan bibinya itu.
Setelah Orlin kembali tenang, Kyla berkata dengan suara pelan, "Orlin, Bibi harap kamu mau mempertimbangkan lagi masalah melanjutkan pendidikan ke luar negeri."
"Aku tahu kalau selama ini Bibi sibuk dengan perusahaan sehingga nggak bisa merawatmu dengan baik. Kakakmu yang membesarkanmu, hingga membuatmu sulit melepaskannya. Tapi cepat atau lambat, perasaan ini harus kamu relakan. Bibi nggak mau melihatmu terluka," lanjut Kyla.
Setengah bulan yang lalu, Kyla sudah membahas tentang hal ini. Namun, pada saat itu Orlin belum bisa melepaskan Aaron dan ingin mencoba memperjuangkannya sekali lagi.
Sekarang, semuanya sudah jelas. Pada saat ini, hatinya benar-benar hancur.
Orlin tahu bahwa sudah waktunya bagi dia untuk menyerah.
Kenangan itu berakhir. Orlin menghapus sisa air mata di wajahnya, lalu mulai melepaskan bingkai foto di dinding satu per satu dalam keheningan.
Kini, Keluarga Jerome akan memiliki menantu baru, jadi dia harus pergi. Foto-foto yang menyimpan kenangan dirinya dan Aaron sudah tidak pantas untuk ada di sana.
Orlin membereskan semua foto itu, lalu membakarnya. Bersamaan dengan cinta dan perasaannya pada Aaron, semuanya berubah menjadi abu.