Bab 9
Nindi duduk tegak, punggungnya terasa kaku, dia baru saja mengetahui bahwa ayah Sania telah menyelamatkan nyawanya.
Karena itu, Kak Darren memutuskan untuk menerima Sania kembali ke rumah, dan Nindi tidak menentangnya. Bahkan, ia memperlakukan Sania seperti adik kandung sendiri.
Namun, seiring berjalannya waktu, Nindi mulai menyadari sesuatu yang tak terduga, Sania diam-diam merebut perhatian kakaknya.
Itu sebabnya hubungan mereka semakin memburuk.
Nando berteriak, "Loh, Nindi! Coba deh, lihat kata-kata kamu itu! Apa kamu pikir kalau kami ngelakuin semua ini buat nyiksa kamu? Ini supaya kamu sama Sania bisa akur! Masa hal sederhana kayak gitu aja nggak bisa kamu lakuin? Kamu terus-terusan ngambek sampai kapan, sih?"
"Aku nggak marah."
Nindi mendengar omelan Kak Nando, dan semua yang tadi ingin dia katakan tiba-tiba terasa sia-sia. Semua kata-kata yang terpendam di hatinya lenyap begitu saja.
Semuanya terasa tidak penting.
Dulu, ia sudah sering berteriak dan menjelaskan apa yang terjadi, tetapi hasilnya tetap nihil.
Sekarang, Nindi tidak ingin lagi seperti di kehidupan sebelumnya, terlalu terpengaruh oleh perasaan demi menyenangkan kakak-kakaknya.
Dia tidak ingin lagi menjelaskan apa pun dan tidak peduli dengan pikiran mereka.
Nindi memunguti buku-buku yang ada di meja, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Setelah itu, ia menatap tasnya sebentar, lalu berkata pelan, "Kalau nggak ada apa-apa, aku ke kamar dulu, ya."
Nando hanya duduk di sofa, tampak gelisah dan bingung.
"Nindi, kalau sekarang kamu setuju buat masuk ke tim, semua hal yang sudah kami lakukan sama kamu sebelumnya, bisa kami lupakan!"
Mendengar itu, Nindi hanya merasa geli.
Semua yang sudah ia lakukan di kehidupan sebelumnya hanyalah sebuah lelucon.
Tanpa berkata apa-apa, Nindi langsung naik ke atas, langkahnya terasa mantap dan penuh tekad.
Nando merasa frustasi, lalu menyalakan sebatang rokok.
Pengurus rumah berjalan mendekat, "Tuan Nando, kalau Nona nggak mau, ya sudah lah. Untung masih ada Nona Sania."
Nando mengerutkan kening, "Ini beda."
"Begini, Tuan Nando. Ada satu hal yang mau saya bilang. Selama beberapa hari ini, kalian berdua tidak pulang. Tapi setelah Nona pulang, dia sama sekali tidak tanya-tanya tentang kalian. Kelihatannya sih, dia tidak peduli sama sekali. Saya merasa kasihan."
Nando langsung mematikan rokoknya dan segera pergi dengan mobil meninggalkan rumah.
Nindi mendengar suara mobil dari lantai atas, dia mengintip sejenak dan melihat Kak Nando pergi, sepertinya dia pergi ke pusat pelatihan tim.
Setelah mandi, Nindi kembali membuka buku latihan untuk mengulang soal-soal yang salah.
Dia sudah memutuskan untuk keluar dari sini.
Tanpa terasa, dia terjaga hingga pagi. Dengan panik, ia mengemas tasnya dan buru-buru turun ke bawah. Di ruang makan, ia mengambil sandwich dan bergegas pergi.
Nando adalah orang pertama yang turun.
Dia memandang punggung Nindi dengan alis berkerut, "Dia bangun sepagi itu?"
"Beberapa hari terakhir, Nindi memang lebih suka naik transportasi umum daripada naik mobil sopir. Gara-gara waktu itu, Senin kemarin, Sania telat karena harus diskusi dengan kalian, Nindi jadi kesal dan nggak mau lagi naik mobil."
Wajah Nando berubah sedikit bingung.
Brando yang baru datang menimpali, "Masa sih? Cuma telat sedikit kok, kenapa jadi berlebihan gitu? Ini buat siapa sih dia pamerin?"
Leo yang sedang menguap menambahkan, "Kak Nando, Nindi itu cuma pamer supaya kamu bisa kasihan sama dia. Kalau kali ini kamu kalah, dia pasti makin parah ke depannya!"
Nando akhirnya memilih diam.
Dia juga merasa kalau Nindi harus mendapatkan pelajaran. Dia sudah diberi kesempatan, tetapi dia sendiri yang tidak menghargainya.
Sania yang mendengar percakapan mereka, tersenyum licik, lalu melompat turun dari tangga, "Pagi, Kak Nando, Kak Brando, Kak Leo! Ayo, kita sarapan bareng."
Melihat Sania yang ceria, mood Nando pun sedikit membaik.
Untung saja adik ini tidak terlalu banyak drama.
…
Di sekolah, Nindi mulai merasa kantuk karena begadang semalaman.
Namun, meskipun matanya terasa berat, dia tetap berusaha fokus di kelas, takut ada materi yang terlewat.
Tiba-tiba, guru memanggil Sania, "Sania, coba jawab soal ini." Sania tampak bingung dan terbata-bata, tidak bisa menjawab dengan jelas.
Guru menghela napas, "Sania, belakangan ini kamu sering nggak fokus. Kamu nggak siap dengan materi yang akan diujikan, nanti bakal kesulitan loh."
Sania merona malu, "Maaf, Bu, saya janji nggak akan seperti ini lagi."
Melihat itu, si pengikut langsung mengangkat tangan, "Guru, Nindi akhir-akhir ini sangat rajin belajar, pasti dia tahu jawabannya."
Semua mata langsung tertuju pada Nindi, kebanyakan melihatnya dengan sinis.
Lagi pula, nilai Nindi biasanya lebih rendah dari Sania, jadi mereka tidak yakin jika Nindi bisa menjawab dengan benar.
Nindi berdiri dan dengan jelas memberikan jawaban yang benar.
Guru pun terkeju, "Benar sekali, Nindi! Kamu belakangan ini sangat serius belajar. Semua harus mencontoh semangat belajarnya, jangan sampai merasa puas begitu saja."
Sania melirik Nindi dengan rasa kesal yang mendalam. Kalau bukan karena dia terlalu fokus main game, pasti dia bisa menjawab soal ini.
Namun, malah Nindi yang berhasil mencuri perhatian! Benar-benar menjengkelkan!
Lain kali pasti dia bisa mengembalikan situasi ini!
Setelah dipuji, hati Nindi sedikit merasa lega.
Saat pulang sekolah, Nindi tidak pergi ke ruang UKS, dia langsung pulang ke rumah.
Dia harus hati-hati, supaya tidak ketahuan oleh Kak Nando.
Setibanya di rumah, pengurus rumah langsung mengawasinya dengan penuh perhatian, membuat Nindi merasa tidak nyaman.
Setelah makan, Nindi langsung pergi ke kamarnya, mengunci pintu, dan merasa sedikit lebih tenang.
Sambil mengerjakan soal, dia mengeluarkan ponselnya.
Nindi bingung apakah harus memberitahukan Kak Cakra atau tidak, apalagi karena dia tidak datang hari ini.
Namun, sepertinya Kak Cakra juga tidak menunggunya, karena setiap kali dia yang datang duluan, rasanya sangat malu.
Apa aku harus kirim pesan sekarang?
Nindi menatap layar ponselnya, merasa ragu.
'Atau, nanti aja deh,' gumamnya, lalu meletakkan ponsel dan mulai mengerjakan tugas. Tak lama kemudian, matanya mulai berat, mungkin karena begadang semalam.
Dia menundukkan kepala di meja, berencana tidur sebentar, tetapi tanpa sengaja tertidur terlalu lama.
Keesokan paginya, Nindi terbangun oleh suara alarm.
Dia melihat jam dan terkejut karena ternyata sudah pagi.
Segera dia membereskan tugasnya dan turun ke lantai bawah, siap-siap pergi ke sekolah.
Saat makan siang, Nindi merasa bimbang sejenak, lalu memutuskan untuk pergi ke ruang UKS.
Namun, sesampainya di sana, dia tidak menemukan Cakra. Dia memberanikan diri bertanya pada dokter yang ada di dalam, "Dokter Cakra kemana ya?"
"Dokter Cakra sedang makan siang," jawab dokter itu.
Nindi mengangguk pelan, "Kalau gitu, aku datang lagi setelah pulang sekolah."
Setelah sekolah selesai, Nindi kembali pergi ke ruang UKS, lagi-lagi dia tidak melihat Cakra, hanya ada dokter yang sama seperti siang hari tadi.
Dokter itu melihatnya dan berkata, "Nindi, hari ini giliran saya yang bertugas. Fokus aja sama pelajaranmu, jangan mikirin hal-hal seperti ini. Untuk kalian yang masih muda, semuanya masih terlalu awal."
Nindi merasa wajahnya memerah. Namun, dia tidak berusaha menjelaskan apa-apa.
Hari-hari berikutnya, Nindi sering pergi ke ruang UKS, tetapi tidak pernah menemukan Dokter Cakra.
Lama-lama, dia merasa sedikit kecewa, mungkin karena sudah terbiasa dia menunggunya di sana.
Dia sadar, ternyata dirinya mulai bergantung pada Dokter Cakra.
Dengan cepat, Nindi mencoba mengatur emosinya. Dia tidak boleh bergantung pada orang lain, hidupnya harus bisa mandiri.
Dia menenangkan diri dan mulai mempersiapkan ujian bulanannya dengan sepenuh hati.
Dia tidak boleh kalah!
Setelah ujian selesai, Nindi merasa hasilnya cukup baik.
Seharusnya dia bisa masuk dalam seratus besar.
Banyak teman-temannya yang mengeluh, mengatakan soal ujian kali ini cukup sulit.
Nindi membuka ponselnya dan melihat ruang pesan dengan Dokter Cakra. Dia bingung apa yang harus dikirimkan.
Sepertinya mereka juga belum terlalu akrab.
Nindi merasa kesulitan dalam menjaga hubungan sosial dan akhirnya merasa frustrasi. Akhirnya dia menutup ponsel dan meletakkannya di meja.
Dengan perasaan yang lebih baik, Nindi mulai merapikan tas sekolah dan pulang ke rumah. Setibanya di rumah, dia melihat suasana ruang tamu yang ramai, kakak-kakaknya sudah pulang, mereka tidak pergi ke pusat pelatihan tim?
Begitu dia masuk, suasana ruang tamu jadi lebih sunyi.
Seperti dia yang menjadi gangguan untuk kebahagiaan kakak-kakaknya bersama Sania.