Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Nindi mulai merasa kesabarannya hampir habis ketika Sania datang terlambat. Sania berlari terburu-buru sambil minta maaf, "Maaf banget, tadi aku ngobrol sama Kak Leo dan yang lain soal turnamen, nggak sadar waktu." Brando yang sudah lebih tenang berkata, "Nggak apa-apa, kamu kan juga bantu keluarga, lebih baik daripada beberapa orang yang cuma cari-cari alasan." Sopir yang sabar menambahkan, "Nggak apa-apa, nanti saya nyetir lebih cepat." Meskipun begitu, mereka tetap terlambat. Keduanya sampai di depan pintu kelas, dan berpapasan dengan wali kelas yang sedang menunggu di sana. Sania terlihat pucat, napasnya terengah-engah, "Maaf, Bu, semua salah aku yang nggak bisa atur waktu, jadi bikin Kak Nindi telat juga." Nindi hanya diam, wajahnya datar. Wali kelas menatap keduanya sejenak, lalu ia berkata kepada Sania dengan nada lembut, "Saya paham, nggak usah jelasin panjang lebar, kamu masuk aja dulu." "Terima kasih, Bu." Nindi mengikuti Sania masuk ke dalam kelas, tetapi terdengar suara wali kelas yang lebih tegas, "Nindi, lain kali jangan bikin Sania telat gara-gara kamu, jangan sampai terulang lagi!" Nindi menoleh, "Tapi Bu, tadi kan Sania yang bikin aku telat, dia sendiri yang bilang tadi." "Udah, kamu nggak usah cari-cari alasan. Saya tahu kok sifat kamu. Kalau kamu masih terus berargumen, kamu bisa keluar dan berdiri di luar kelas sampai pelajaran selesai." Nindi jelas tidak ingin ketinggalan pelajaran, apalagi dia sudah cukup tertinggal jauh. Dia pun memilih untuk diam dan berjalan masuk ke kelas dengan hati yang berat. Selama pelajaran, dia berharap ujian segera datang, agar bisa cepat-cepat bebas dari semua ini. Saat istirahat makan siang, Sania dikelilingi banyak orang yang mendengarkan ceritanya tentang tim E-Sport, membuat semua orang iri dan terpesona. Salah satu pengikut Sania terlihat mencibir ke arah Nindi, "Kayaknya sih ada orang yang iri sama Sania, makanya sengaja telat biar nyusahin dia." Sania tersenyum tipis, tetapi tidak lagi memberikan penjelasan lebih lanjut. Nindi hanya berbaring di meja, mencoba tidur dan tidak menghiraukan orang-orang itu. Setelah sekolah selesai, Sania dengan sengaja berjalan mendekat ke Nindi, sambil memamerkan kebanggaannya, "Hari ini aku mau ke pusat latihan tim kakak, loh." Nindi hanya diam, merapikan buku pelajaran dan menenteng tas sekolahnya. Sania melihat ke arah Nindi yang berjalan keluar dari kelas, dengan senyum puas di wajahnya. Sambil berbisik pada pengikutnya, dia berkata, "Tugas hari ini, kamu tetap bantu aku buat, ya. Jangan sampai guru ketahuan." "Tenang aja, kamu ikut latihan, kami bakal cover semua, kok." "Makasih ya, pasti aku nggak bakalan pelit sama kalian kok." Dengan senyum yang semakin lebar, Sania pergi dengan penuh semangat menuju pusat pelatihan. Dia bertekad untuk menunjukkan kalau dia adalah adik perempuan yang paling layak dan pantas di Keluarga Lesmana, bukan Nindi. … Nindi berjalan menuju ruang UKS dengan tas di punggung. Cakra yang sedang duduk di kursi memandangnya dengan wajah tampan dan sedikit lebih menggoda. "Ada apa?" "Hehe, aku mau ngerjain PR, boleh nggak numpang di sini lagi kak?" Nindi langsung masuk tanpa basa-basi, asalkan Cakra tidak mengusirnya. Cakra memandangnya yang begitu santai, jelas terlihat kalau dia terkejut. Dia pikir Nindi bakal terlalu malu atau bahkan takut untuk datang. Namun, saat Nindi mulai bertanya, dia langsung dapat omelan. "Otakmu bisa nggak sih jangan kayak corong, segitu banyaknya bocor ke luar?" "Nanti kalau ada pertanyaan gampang, pikirin dulu, jangan langsung nanya!" Nindi sama sekali tidak membantah, dia cuma mencatat semuanya dengan patuh. UKS kembali sunyi, sampai akhirnya perut Nindi berbunyi keras. Nindi langsung menjadi malu, padahal tadi dia baru makan roti, tetapi tetap saja lapar. Cakra menoleh ke jam tangannya, lalu menekan tombol di ponselnya untuk memesan makanan, "Makan dulu aja." Nindi duduk di depannya, matanya teralih pada bekas luka yang terlihat jelas di pergelangan tangan Cakra. Tanpa bisa menahan rasa ingin tahu, ia bertanya, "Kak, kecelakaan itu kapan sih? Parah banget, ya?" Cakra membuka kotak makanan dan menaruhnya di meja. Dia menatap Nindi dengan tatapan kabur, lanjut berkata, "Udah lama." "Aku juga. Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan yang sama. Sejak itu, aku cuma tinggal sama kakak-kakakku." Nindi terdiam sejenak, mengenang masa-masa ketika ia masih bergantung pada kakak-kakaknya. Mata Nindi mulai terisi dengan rasa miris. Dulu, setelah orang tuanya meninggal, dia dan kakak-kakaknya hidup susah bersama-sama, hubungan mereka masih sangat dekat. Namun, semuanya berubah sejak Sania datang. Cakra memegang sendok dengan tangan yang agak tegang, "Lalu, sekarang kamu mau gimana?" "Aku mau ke Yunaria, meninggalkan kota ini, mulai hidup baru." "Wah, besar juga cita-citanya. Mengandalkan nilai kamu sekarang, rasanya agak susah deh." "Ada waktu tersisa, aku bakal berusaha keras." Cakra menatapnya sebentar, lalu akhirnya menunduk, ia berkata dengan nada datar, "Jangan tanya hal-hal yang gampang lagi." Nindi cuma bisa tersenyum tipis, jadi itu berarti dia masih boleh tanya hal-hal lain, kan? Beberapa hari berturut-turut, Nindi selalu mampir ke ruang UKS setiap selesai sekolah, untuk mengerjakan PR sampai selesai sebelum pulang. Sementara itu, Sania, yang biasanya jadi murid favorit guru, mulai menunjukkan perubahan. Selama jam pelajaran, dia sering kali terlihat melamun dan bahkan tertidur. Tentu saja, karena dia adalah murid kesayangan, guru pun cuma bilang kalau dia sedang tidak enak badan dan tidak mempermasalahkannya. Nindi sering melihat Sania memamerkan foto-foto dari pusat pelatihan di media sosial, dan juga video saat mereka bermain game bersama para kakak-kakaknya. Nama permainan mereka pun seragam, sama seperti di kehidupan sebelumnya. Hanya saja, kali ini, dia tidak ikut ambil bagian. "Jangan cuma main game, PR-nya dikerjain dulu!" Cakra muncul di sampingnya, melihat video game di ponsel Nindi. Nindi menggelengkan kepala, "Nggak, cuma lihat-lihat aja kok. Sekarang yang penting belajar dulu." "Besok minggu ujian bulanan. Kalau kamu bisa masuk seratus besar, baru boleh main game." Nindi mendongak dengan senyum ceria, "Berarti Kak Cakra bakal main bareng aku dong?" Dia tahu kalau Cakra juga pasti main game itu. Cakra menundukkan kepala sedikit, wajahnya tetap tampan meskipun matanya sedikit merunduk. "Udah lama nggak main, tunggu sampai kamu masuk seratus besar dulu, baru ngomongin." "Janji ya?" Nindi melihat Cakra yang sudah berbalik dan meninggalkan ruangan. Dia pasti akan berusaha masuk seratus besar, karena Cakra kelihatan kalau dia merasa sangat kuat dalam game. Di kehidupan sebelumnya, Nindi juga sangat hebat dalam bermain game. Mungkin nanti dia bisa memukau Cakra saat bermain game, dan mengembalikan sedikit harga dirinya. Tiba-tiba, Nindi merasa sedikit bersemangat. Setelah menyelesaikan tugas sekolah, dia pulang ke rumah. Ketika dia melangkah masuk ke ruang tamu, ia melihat Kak Nando sedang duduk di sofa. Nindi terkejut. Kenapa Kak Nando sudah pulang lebih cepat? Selama beberapa hari terakhir, kakak-kakaknya berada di pusat pelatihan, biasanya pulang larut malam. Nando mengangkat kepala dan menatap Nindi dengan tatapan serius, "Kamu kemana aja? Kok baru pulang sekarang?" Jantung Nindi langsung berdegup kencang. Dia harus hati-hati jangan sampai ketahuan kalau dia pergi ke ruang UKS untuk mengerjakan tugas. Di jelas tidak ingin tempat yang dia anggap sebagai satu-satunya ruang tenang jadi terbongkar. Nindi menunduk dan berkata pelan, "Aku ke ruang belajar, soalnya di sana ramai, lebih terasa suasana belajar." "Lihat coba tas kamu." Nindi menyerahkan tasnya, dan Kak Nando membuka buku tugasnya. Matanya meneliti dengan cermat tulisan yang padat dengan catatan dan soal-soal latihan. Setelah membaca, wajah Nando dipenuhi keraguan. Pengurus rumah melapor kalau Nindi belakangan ini tidak pulang tepat waktu dan selalu pergi entah kemana. Ternyata dia masih benar-benar belajar. Kak Nando menurunkan tas itu, "Nindi, kita perlu bicara." "Kak Nando mau bicarain apa?" Nando melihat Nindi yang duduk diam, seolah ada yang berbeda dari dirinya. Entah kenapa, ia merasa Nindi telah berubah banyak, terapi dia tidak bisa menyebutkan dengan jelas apa yang salah. Jika ini terjadi dahulu, Nindi pasti sudah menangis, mengaduh kesal, atau bahkan melapor ke Kakaknya. Namun, sekarang, Nindi tidak berkata apa-apa. Nando merasa Nindi semakin sulit dikendalikan. "Aku lihat, belakangan ini Sania semakin cepat berkembang. Kalau kamu ikut latihan juga, pasti kamu bisa ikut berkembang. Kamu punya bakat. Kamu bisa lebih menyisihkan waktu untuk ikut pelatihan tanpa mengganggu belajarmu. Kenapa sih nggak bisa kita semua jadi satu, utuh? Kak Darren pasti akan senang kalau lihat kita hidup rukun kayak gini." Nindi menunduk, matanya menyiratkan ejekan. Dengan tegas, dia menjawab, "Aku nggak mau ikut tim." Nando terkejut mendengarnya, "Nindi, Sania adalah bagian dari keluarga kita, sama seperti kamu. Kita harus maju bareng, bukan malah mengucilkannya. Lagian, dia kan pernah nyelamatin nyawamu!" Nando tidak mengerti, dia sudah memberi banyak kesempatan ke Nindi, tetapi kenapa dia nggak bisa memanfaatkannya dengan baik? Mereka sudah baik sekali ke Sania dan itu semua untuk membalas budi. Suasana di ruang tamu terasa sangat sunyi, udara begitu berat, seolah ingin menekan Nindi sampai susah bernapas. Dia meremas tangan dengan erat, hampir tidak tahan lagi. Sial! Dengan nada yang penuh penghinaan, Nindi akhirnya melontarkan, "Kak, apa kamu baru puas kalau aku harus ngorbanin nyawaku buat Sania?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.