Bab 18 Walinya
Jawaban Mark Tremont hanya sebuah cemoohan dingin, responnya hanya membuat sang dekan bergidik dan bungkam.
Setelah beberapa saat, beberapa pengawal berjas hitam dan kacamata hitam bergegas mendekat.
“Tuan, kami telah memeriksanya. Penyerang itu adalah seorang tuna grahita. Berusia dua puluh satu tahun, anak dari ibu kantin di Universitas Southline. Dia biasanya menjadi tukang di kantin. Perilakunya hari ini benar-benar tidak beralasan dan dia tidak mampu menjawab pertanyaan apapun yang kami lontarkan. Karena kondisinya, sangat tidak mungkin mengirimnya ke penjara.”
“Ya kirimkan dia ke rumah sakit jiwa! apakah orang gila yang agresif seharusnya tetap berada di kampus untuk terus membahayakan orang lain?” jawaban Mark Tremont terdengar seperti geraman kecil, nada suaranya yang dingin bergaung di koridor.
“Baik, tuan!” Para pengawal segera bergegas pergi sekali lagi.
Dekan itu terlihat ragu-ragu untuk bicara, tampak ekspresi takut di wajahnya. Mark Tremont menangkap tatapan dirinya padanya dan mencibir. “Apa? kau tidak senang dengan keputusanku?”
“Tidak, tidak… hanya saja… orang bodoh itu cukup bodoh, ya, tapi dia tidak sakit jiwa sama sekali… Dia biasanya sangat sopan dan santun. Aku tidak paham apa yang salah hari ini. Orang yang waras akan menjadi gila di rumah sakit jiwa, apalagi seorang tuna grahita…” ucap dekan itu dengan cepat.
Mark Tremont mendengus, “Kau silahkan pergi!”
Dahi sang dekan menampakan bulir-bulir keringat dingin. “Tidak, tidak, tidak, kau benar. Kita akan mengikuti saranmu…”
Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa Mark Tremont, yang selalu ramah dan lemah lembut, sebenarnya memiliki sisi yang menggetarkan juga. Jika perlu saling tunjuk, kesalahan memang hanya bisa dilimpahkan pada kesialan si anak bodoh -- apa yang membuatnya berperilaku segila itu tiba-tiba?
Tidak ada yang tahu seberapa lama percakapan itu terjadi sampai pintu ruang UGD akhirnya terbuka. Dokter yang keluar terlihat sama dengan dokter yang merawat Arianne Wynn saat ia pingsan tempo hari. Dia berjalan menghampiri Mark Tremont dan berkata, “Aku telah menyampaikan tingkat kesehatan yang buruk dari pasien sebelumnya. Kondisi anemianya semakin buruk, sekarang dia sedang sedang kekurangan banyak darah. Pastikan dia mendapat asupan gizi yang baik setelah ini. Luka dari pasien cukup dalam. Penutupan luka sekarang telah selesai namun bekasnya pasti akan terlihat. Pasien sudah tidak dalam kondisi kritis sekarang dan dapat dipindahkan ke ruang perawatan normal. Dia bisa pulang setelah beberapa hari perawatan.”
Ketegangan Mark Tremont berkurang, meskipun hampir tak terlihat. Dia menghela nafas panjang. “Terima kasih.”
Dekan itu merasakan hal yang aneh. Bahkan jika Arianne Wynn terluka saat mencoba menyelamatkan Mark Tremont, tidak perlulah ia merasa prihatin padanya. Mencoba menghubungkan hal-hal yang terjadi sampai insiden terakhir, dia menyimpulkan bahwa mereka pasti memiliki hubungan yang tidak biasa.
Dia memancing. “Tuan Tremont, aku bisa mencoba menghubungi orang tua nona Wynn lagi? Tidak pantas bagi kami untuk merepotkanmu. Ini adalah kewajiban sekolah.”
Mark Tremont terdiam, ia hanya mengikuti Arianne Wynn dan perawat ke ruang rawat inap saat ia dikeluarkan.
“Carikan informasi kontak dari orang tua Arianne Wynn. Mahasiswa baru, jurusan seni… Ya… Apa? Tidak ada? Baiklah, itu saja,” dekan itu menelpon pihak sekolah di koridor.
“Oh, Tuan Tremont, nona Wynn sepertinya tidak melaporkan nomor kontak walinya ke sekolah. Telah disampaikan bahwa dia adalah seorang yatim piatu, jadi dia kemungkinan tidak lagi memiliki keluarga lain. Pihak sekolah akan bertanggung jawab untuk biaya perawatannya. Tuan Tremont, kami menghargai bantuan anda,” dekan itu berkata dengan hati-hati saat berdiri di pintu ruang rawat inap.
Keheningan terasa beberapa detik sebelum Mark Tremont berkata, “Taruh namaku.”
“Apa?” dekan itu terbelalak.
“kontak wali baginya. taruh namaku.”
Saat Arianne bangun, matahari telah terbenam. Lampu neon dan salju berjatuhan di luar dapat terlihat dari jendela ruang rawat inap VIP; kehangatan di dalam ruang rawat inap dibandingkan dengan dinginnya di luar adalah dua dunia berbeda.
Mendengar suara ribut dari dalam ruangan yang terdengar tiba-tiba, Arianne membalikan tubuhnya perlahan untuk melihat Mark Tremont bekerja di laptopnya sambil duduk di sofa. Tangannya dengan otot-otot yang kuat menekan papan tuts perlahan, ekspresi wajahnya yang sedang berkonsentrasi menghilangkan tatapan tajam menusuknya yang biasa terlihat, sementara bibirnya yang tertutup rapat terlihat tidak main-main.