Bab 7
Kegilaan itu bisa menular. Jika tidak, Aldo tidak akan bisa mengerti mengapa dia benar-benar membawa rambut untuk diuji.
Seiring bertambahnya usia, Aldo perlahan-lahan menerima kenyataan bahwa ibunya tidak akan kembali di dalam hatinya, meski dia tidak pernah mengatakannya.
Kenangan yang dia kira sudah terlupakan, tiba-tiba terasa sangat jelas saat diingat kembali.
Berapa banyak ingatan yang dimiliki oleh seorang anak berusia enam tahun?
Terlalu banyak.
Dia ingat ibunya membuatkan kartu huruf untuknya, ingat ibunya membawanya ke kebun binatang, ingat setiap cerita yang diceritakan ibunya ....
Aldo duduk di sofa sambil melamun, seolah-olah dia tidak merasakan waktu berlalu. Kenangan masa lalu memenuhi pikirannya, perasaan seolah hidup di masa lalu membuat hatinya terasa hampa.
Wanita itu terlalu mirip dengan ibunya. Bahkan cara memanggilnya sayang sama persis.
Kenangan yang terbangkitkan makin lama makin banyak.
Pukul delapan pagi, Aldo menerima email bahwa laporan tes kilat sudah keluar.
Dia memberi tahu dirinya sendiri bahwa dia melakukan tes ini hanya untuk melihat trik apa yang dimainkan wanita itu! Namun, saat jarinya menyentuh layar dengan gemetaran, itu mengungkapkan ketidaktenangan di hatinya.
Ada harapan di hatinya. Itulah sebabnya dia merasa tegang. Mungkinkah di dunia ini benar-benar ada keajaiban?
Begitu membuka email, keajaiban itu terjadi, membuat Aldo terdiam.
Dia butuh waktu untuk memproses semuanya. Bahkan dia sendiri tidak bisa menggambarkan perasaannya saat itu. Laporan itu ada di depan matanya, emosi yang penuh rasa tidak percaya meluap dalam dirinya.
Aldo mengangkat teleponnya untuk menelepon rumah lamanya.
"Sayang, ini Ibu, kamu di mana? Ibu akan menemuimu, lalu kita bisa membicarakan ini secara langsung, oke?"
Mendengar suara yang familiar, bulu mata Aldo bergetar ringan. Dia berusaha keras agar suaranya tidak bergetar.
"Aku akan pulang siang ini."
Dia harus memastikan.
"Baiklah, Ibu akan menunggumu."
Aldo langsung menutup telepon, lalu dengan langkah yang canggung menuju kamar mandi.
Tubuhnya terjaga, tetapi pikirannya sudah melayang jauh.
Dia perlu memikirkan semuanya dengan baik, benar-benar memikirkan semuanya.
Selina sangat senang menerima telepon itu. Dia tahu anaknya pasti sudah melihat hasil tesnya.
Di sebelahnya, Kenzo memberikan komentar sinis, "Aldo itu tipe orang yang sangat berhati-hati. Meski ada banyak bukti di depannya, dia nggak akan memercayainya kalau dia merasa nggak masuk akal."
Senyum Selina langsung berubah kaku. Dengan tangan terlipat, dia mendengus kepada Kenzo, "Waktu kecil Aldo nggak serumit ini."
Bagaimanapun juga, dia adalah orang yang sesungguhnya. Dia bisa menghadapi ujian apa pun. Selina berdiri, memandang Kenzo dari atas, lalu berkata, "Aku akan berurusan denganmu nanti!"
"Aldo paling suka makan iga asam manis buatanku. Aku mau masak dulu."
Setelah berkata demikian, Selina berjalan ke dapur tanpa memedulikan Kenzo lagi.
Kenzo memasang wajah cemberut.
Dia juga suka iga asam manis.
Dulu Selina bilang dia orang yang paling disukainya di rumah ini. Ternyata semuanya bohong!
*
Seperti yang dikatakan Kenzo, ketika Aldo kembali ke rumah, dia tidak langsung mengakui Selina. Sikapnya tetap dingin dan jauh.
Selina tidak merasa kecewa. Saat sibuk di dapur, dia sudah mempersiapkan diri bahwa anaknya butuh waktu untuk menerima semuanya.
"Aldo, Ibu masak iga asam manis favoritmu!"
Selina mengabaikan wajah dingin anaknya, lalu dengan senyuman menyuruhnya duduk di meja makan.
Aldo berdiri di tempat, tidak bergerak. Dia berujar, "Aku ingin bicara sendiri denganmu."
Selina tertegun. Sambil melepas celemeknya, dia berjalan ke wastafel, lalu membalas, "Baiklah, kamu tunggu di ruang kerja dulu. Ibu akan segera ke sana."
Aldo mengangguk, lalu pergi ke ruang kerja.
Sepanjang jalan, dia tidak memandang Kenzo yang duduk di sofa ruang tamu, apa lagi menyapanya.
Kenzo sudah terbiasa dengan hal ini. Dia tidak merasa ada yang aneh.
Di ruang kerja.
Selina dan Aldo duduk berhadapan.
"Kamu sebenarnya nggak takut pada serangga, tapi kenapa kamu masih berpura-pura sangat takut?"
Pertanyaan Aldo muncul begitu saja.
Selina tertawa, lalu menjelaskan, "Waktu kamu berumur lima tahun, kamu akan berteriak dan melompat sejauh tiga meter setiap kali melihat serangga. Saat itu, Ibu berpikir kalau nanti ada gadis yang takut serangga, kamu nggak bisa ikut-ikutan berteriak, 'kan? Anakku harus jadi pahlawan yang menyelamatkan gadis itu."
"Aku pura-pura sangat takut, hingga kamu berdiri di depanku sambil berkata akan melindungi Ibu. Lalu kamu memegang serangga itu dan membuangnya. Selama waktu itu, aku meminta Bibi Winda untuk mencari banyak serangga, lalu menaruhnya di jalan yang harus kita lewati. Dari rasa takutmu, kamu akhirnya menjadi berani menghadapi serangga."
Mendengar cerita Selina, sikap tegang Aldo perlahan melunak.
Pertanyaan itu muncul karena dia ingat sebuah kejadian.
Ketika dirinya masih kecil, dia menangis sambil berkata ingin membuat semua serangga di dunia ini menghilang. Ibunya menatapnya dengan wajah khawatir sambil berkata, "Anak konyol, kalau nanti pacaran, bagaimana jadinya ...."
Jelas, ini sesuai dengan ingatannya.
Aldo bertanya banyak hal tentang masa kecilnya. Selama bertahun-tahun ini, ingatan tentang ibunya hanya berupa potongan-potongan tanpa awal atau akhir.
Mendengarkan cerita Selina, banyak misteri dalam ingatannya yang terjawab.
Sosok ibunya juga menjadi lebih nyata.
Tentu saja, tidak semua hal diingat Selina dengan jelas. Ada beberapa kejadian yang diceritakan Aldo, tapi Selina tidak ingat.
"Aldo, apa kamu sudah percaya padaku?"
Tangan Selina tanpa sadar saling menggenggam. Di dalam hatinya, dia merasa tegang.
Aldo menggigit bibirnya, lalu menjawab, "Aku nggak tahu."
Jawaban itu justru membuat Selina merasa sedikit lebih tenang. Anak laki-lakinya mau mengekspresikan perasaan yang sebenarnya, itu artinya dia mulai menerimanya.
"Aku masih perlu memikirkannya. Aku ... akan pergi dulu."
Setelah mengatakan ini, Aldo seperti takut dikejar. Dia dengan cepat meninggalkan ruang kerja, keluar dari vila.
Aldo sudah mulai percaya pada identitas Selina, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus bersikap atau bagaimana perasaannya.
Apakah dia harus seperti anak kecil yang memeluk kaki ibunya sambil bermanja? Dia tidak bisa melakukannya.
Lima belas tahun telah berlalu, terlalu banyak yang terasa asing dan jauh.
Pikiran Aldo benar-benar kacau. Dia butuh waktu untuk merenung.
Selina memahami anaknya, tapi dia tidak bisa menahan rasa kecewanya.
"Gagal, ya?"
Kenzo yang baru saja menelepon di balkon, berjalan mendekati Selina setelah melihat anaknya pergi dengan mobil.
"Ibu yang hilang selama 15 tahun tiba-tiba muncul, membawa cerita aneh tentang perjalanan lintas waktu. Wajar kalau anaknya nggak bisa langsung menerimanya."
Bukan hanya soal menerima atau tidak, hubungan mereka sebagai ibu dan anak juga butuh cara baru untuk bisa saling terhubung.
Selina menghela napas. Anaknya sudah bukan berumur enam tahun lagi.
Kenzo memeluk Selina sambil menghiburnya, "Nggak apa-apa, ini hanya masalah waktu. Cepat atau lambat anak kita akan menerimanya."
Kenzo menarik kursi, mempersilakan Selina duduk. Ketika dia melihat ke arah meja, tiba-tiba dia terdiam.
"Mana iga asam manisnya?"
Pelayan yang berdiri di samping membawa hidangan terakhir ke meja. Ketika mendengar pertanyaan Kenzo, pelayan itu menjelaskan, "Sudah dibungkus untuk Pak Aldo, lalu diletakkan di mobilnya."
Ini adalah perintah Selina sebelum dia pergi ke ruang kerja. Firasatnya mengatakan bahwa anaknya tidak akan tinggal untuk makan, jadi dia meminta koki untuk mengemas iga asam manis, lalu meletakkannya di mobil Aldo.
Intuisinya ternyata benar.
Setelah mendengar penjelasan Selina, Kenzo hanya bergumam pelan, lalu tersenyum sambil menyajikan makanan untuk Selina. Dia tampak tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Padahal, di dalam hatinya dia sedang meratapi nasibnya.
Seandainya dia tahu, tadi dia akan menghentikan anaknya sebelum pergi!
Selina melihat perubahan suasana hati Kenzo sambil tersenyum simpul. Mau makan masakannya? Lihat dulu bagaimana sikapnya nanti!