Bab 2
Ada sebuah kalimat yang sangat populer. Selina merasa itu sangat masuk akal.
Mata tertutup sekali, sehari sudah berlalu ketika terbuka lagi. Mata tertutup tak terbuka lagi, seumur hidup berlalu.
Namun, jika ada yang mengatakan satu kedipan mata bisa membuat 15 tahun berlalu, Selina pikir itu sangat tidak masuk akal! Siapa pun yang mendengar hal semacam ini pasti merasa ini sangat konyol.
Selina berujar, "Kamu pasti sedang berkolaborasi dengan Aldo, si bocah nakal itu, untuk merekam dengan kamera tersembunyi, 'kan? Kamu bahkan berpura-pura menangis. Tapi dandananmu cukup berhasil ...."
Selina menyadari makin banyak dia bicara, makin erat Kenzo memeluknya.
"Aku ... pinggangku ... mau patah!"
Selina yang marah, mencoba mencubit Kenzo. Ini adalah gerakan kecil yang biasa dia lakukan ketika mereka pacaran. Dia masih melakukannya bahkan setelah mereka menikah.
"Maafkan aku, Selina."
Setelah mendengar itu, Kenzo segera mengurangi kekuatan pelukannya. Selina mendengus, menarik tangannya, lalu melihat ke bawah. Ekspresinya tiba-tiba berubah saat dia berkata, "Bagaimana bisa kamu terluka?"
Buku-buku jari tangan kanan Kenzo tampak berlumuran darah, dengan beberapa bagian kulit yang terbuka, tampak memerah dan bengkak.
Selina menarik Kenzo untuk mencari kotak P3K. Biasanya, hotel menyediakan kotak seperti itu di dalam lemari.
Kenzo mengikuti di belakangnya tanpa mengatakan apa-apa, pandangannya terus tertuju pada Selina.
"Apa yang terjadi? Saat tadi kamu mencekikku, kamu baik-baik saja. Kamu ...."
Tangan Selina yang sedang mengoleskan obat tiba-tiba berhenti. Tidak, jika ini hanya rekaman dengan kamera tersembunyi, Kenzo tidak mungkin menggunakan kekuatan sebesar itu!
Selina menyalakan ponsel di atas meja. Di sana dengan jelas tertulis tanggal 15 tahun kemudian!
"Selina, selama ini ... kamu, kamu ke mana saja?"
Lima belas tahun lalu, pesawat mengalami kecelakaan. Sebanyak 123 penumpang dinyatakan hilang. Kotak hitam ditemukan di sebuah pulau kecil, serta mayat penumpang yang hilang ditemukan secara bertahap di tepi laut selama bertahun-tahun.
Kenzo ingin menemukan Selina, tetapi dia juga takut menemukannya.
Melihat orang hidup di depannya adalah pemandangan yang selalu Kenzo dambakan dalam mimpinya selama bertahun-tahun ini.
Namun, Selina seakan tidak mendengar pertanyaan Kenzo. Dia masih tenggelam dalam keterkejutannya sendiri.
"Lima belas tahun? Bagaimana bisa .... Kalau begitu, Aldo seharusnya berusia 21 tahun sekarang. Selain itu, Nita dan Jamie juga ...."
Selina tiba-tiba mengangkat kepalanya, matanya penuh dengan sikap keras kepala. Dia berkata, "Kamu harus menelepon Aldo sekarang, aku ingin melihat bagaimana rupanya sekarang. Kenzo, cepat telepon dia!"
Jika semua ini benar, kekosongan selama 15 tahun itu bukan apa-apa! Dia harus melihat Aldo yang sudah dewasa agar bisa percaya.
Melihat Selina yang mulai panik, Kenzo segera menenangkannya, "Baiklah. Selina, aku akan meneleponnya sekarang."
Kenzo menelepon Aldo lewat panggilan video, tetapi panggilan itu tidak segera diangkat. Baru pada panggilan ketiga akhirnya telepon terhubung.
"Ada apa?"
Dua kata dingin disertai dengan layar yang gelap gulita, membuat Selina yang tadi gelisah mendadak tenang.
Ini jelas bukan Aldo, putra kesayangannya. Bocah kecil itu selalu memanggil ayah dan ibunya dengan manis setiap hari. Jika sudah besar, seharusnya dia menjadi seorang remaja yang ceria. Bagaimana mungkin dia terlihat begitu muram?
"Aldo, apakah itu kamu?"
Selina sambil mengambil ponsel untuk memperlihatkan dirinya.
Di seberang sana, ada jeda sejenak. Kemudian, terdengar suara saklar dinyalakan, lalu layar ponsel langsung berubah terang.
Saat melihat wajah yang ada di layar, Selina tertegun.
Sebagai seorang Ibu, dia tidak mungkin tidak mengetahui rupa putranya. Ini jelas adalah versi dewasa dari Aldo. Dia tidak banyak berubah dari ketika masih kecil!
"Huh, kalau kamu ingin mencari wanita nggak jelas, jangan menari-nari di depanku. Dasar peniru!"
Tut, tut, tut .... Panggilan video pun diputus.
Selina terdiam.
Dia ... baru saja dimaki oleh putranya sendiri?
Sebagai seorang Ibu, kebingungan dalam hati Selina langsung menghilang. Dia meletakkan ponsel dengan keras, mengambil gelas di meja, lalu menegak lebih dari setengah isinya. Kemudian, dia berkata, "Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi!"
Bagaimana bisa putra kecilnya yang dulu imut dan lucu berubah menjadi landak kecil seperti itu!
Kenzo menundukkan kepalanya, bahunya terkulai. Ekspresinya penuh dengan kesedihan serta rasa bersalah yang mendalam.
"Setelah kamu menghilang, aku mencarimu ke seluruh dunia. Aku jadi mengabaikan anak-anak. Mereka juga salah paham padaku. Maafkan aku, Selina," jelas Kenzo.
Selina menggigit bibirnya. Si bajingan ini memang tahu kalau dirinya selalu lemah dengan trik semacam ini! Sejak mengejarnya, Kenzo selalu pandai berpura-pura menyedihkan!
Namun, ketika Selina memikirkannya lagi, jika dia benar-benar hilang selama 15 tahun, itu berarti anak-anaknya sudah kehilangan Ibu mereka, sementara Kenzo kehilangan istrinya. Itu artinya keluarga mereka hancur.
Selina merasa sangat sedih, seolah-olah takdir mempermainkannya dengan cara yang sangat kejam.
"Aku nggak tahu. Kenzo, aku benar-benar nggak tahu apa yang terjadi. Pesawat mengalami kecelakaan, jatuh ke laut, lalu aku berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari kabin. Tapi ada terlalu banyak orang, jadi aku nggak bisa keluar. Air mulai masuk ke mulutku ...."
Selina benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Bahkan saat ini, kepalanya masih terasa pusing.
"Lalu ketika aku membuka mata lagi, aku menemukan diriku di dalam bak mandi. Kemudian, kamu mencekik leherku. Itu sangat sakit."
Selina terisak dua kali, sementara Kenzo segera memeluknya erat-erat. Selina pun melingkarkan tangannya di leher Kenzo, menempelkan dahinya ke leher suaminya, merasakan denyut nadinya di sana. Ini membuat hatinya perlahan merasa tenang.
Serangkaian gerakan ini sangat alami. Karena bersikap manja dan bergantung pada Kenzo sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam tulang Selina.
"Jangan takut, Selina. Aku ada di sini. Aku akan melindungimu."
Sambil menenangkan Selina, Kenzo secara diam-diam menyalakan dupa di samping tempat tidur. Asap tipis melayang, memudarkan sosok mereka berdua.
"Bagaimana mungkin hanya dengan membuka mata, tiba-tiba sudah berada di 15 tahun kemudian? Sekarang kepalaku benar-benar kacau. Aldo juga jadi sangat galak. Dia pasti sangat nggak bahagia selama ini. Selain itu, Nita dan Jamie, mereka masih sangat kecil ...."
Aroma kayu cendana memenuhi udara. Kesadaran Selina perlahan memudar, sementara suaranya terdengar makin pelan hingga akhirnya dia tertidur.
Setelah memastikan orang di pelukannya telah tertidur, Kenzo segera menelepon seseorang.
"Panggil Dokter Adit ke sini segera."
Setelah menutup telepon, Kenzo membuka laptop di meja samping tempat tidur. Dia mengetik beberapa kali dengan cepat. Rekaman kamera pengawas di koridor hotel muncul di layar, tepat pada waktu dia keluar dari kamar.
Selama dia melakukan semua ini, tangannya yang terluka memegang pergelangan tangan Selina, tidak terlepas sedikit pun.
Di saat yang sama, di kamar Aldo yang berantakan.
Dia tidak terlihat acuh tak acuh seperti di panggilan video tadi. Saat melihat wajah yang begitu mirip dengan ibunya, pikirannya seketika kosong.
Begitu sadar, Aldo merasa sangat kesal. Bagaimana bisa ada orang yang begitu bodoh sampai terlibat dalam drama yang dimainkan seorang pengganti?
Aldo yang penuh amarah, langsung melampiaskannya dengan menghancurkan semua barang yang ada di kamar.
Semua orang yang mengenal Aldo tahu bahwa tidak ada yang boleh membahas topik tentang ibunya, bahkan dalam lelucon sekali pun. Tidak peduli disengaja atau tidak, tidak peduli sekecil apa pun, tak ada yang diizinkan membahas hal ini.
Begitu ada hal yang menyangkut ibunya, Aldo akan langsung berubah menjadi singa yang marah.
Akhirnya, lampu gantung yang tergantung di langit-langit tidak bisa bertahan, terlepas hingga jatuh ke lantai. Ruangan langsung menjadi gelap gulita.
Aldo tergeletak di sofa, tubuhnya meringkuk, seluruh badannya menggigil. Dia memeluk erat kalung yang diukir sendiri oleh ibunya sebagai hadiah ulang tahunnya ketika dia berusia enam tahun.
Dia memegangnya erat di tangannya. Ini adalah satu-satunya kehangatan yang bisa dia dapatkan sekarang.
Rintihan pelan bisa terdengar. Suara dalam kesunyian itu bagai suara seekor binatang yang terluka, begitu tak berdaya.
"Ibu, Aldo sangat merindukanmu," batin Aldo.
Setelah beberapa saat, Aldo tiba-tiba membuka matanya. Dia tidak akan membiarkan orang palsu itu memanfaatkan pengaruh ibunya!