Bab 7
Surya tertawa. "Aku sudah bilang jangan gunakan kekerasan, kalau nggak, kamu yang rugi."
"Adhi, abaikan saja dia. Berurusan dengannya hanya akan merendahkan statusmu. Ayo kita pergi." Maya melirik Surya dengan sinis, lalu menarik Adhi pergi.
Saat mereka berjalan pergi, Adhi menambahkan, "Bocah, kamu tunggu saja. Aku belum selesai berurusan denganmu. Saat aku punya waktu, aku akan mengurusmu."
"Aku akan menunggu," balas Surya sambil tersenyum.
Mereka berdua, ditemani dengan pengawal, pergi dengan kepala terangkat tinggi.
Surya menggelengkan kepalanya dan bergumam, "Aku juga menanti pernikahan kalian."
Setelah itu, dia berkendara kembali ke Perumahan Lily dan memarkir mobilnya di gerbang rumah. Melihat area perumahan yang begitu luas, Surya memutuskan untuk berjalan-jalan dan mengenal area di sekelilingnya.
Area perumahan ini sangat luas. Di tengahnya, terdapat sebuah taman dengan luas lebih dari 3 hektare.
Saat berjalan di taman, Surya mulai mengenang kehidupannya.
Dia telah kehilangan orang tuanya secara misterius, sehingga dia dibesarkan oleh kakeknya. Pada umur 16 tahun, jiwa naganya terbangun dan dia mendapat semacam kekuatan kuno.
Kemudian, dia bepergian ke luar negeri, mendirikan Korps Tentara Maut dan mengumpulkan kekayaan yang cukup banyak.
Setelah membubarkan korps tentara tersebut, dia mendirikan Konsorsium Pelita. Dia pun kembali ke tanah kelahirannya, Kota Juwana, lalu menikah.
Siapa sangka, kebahagiaan tidak kunjung mendatanginya. Dia malah ditinggalkan dan dipermalukan.
Hidup memang tidak dapat diprediksi dan selalu berubah-ubah.
Tenggelam dalam pikiran, Surya tiba-tiba mendengar seseorang berbicara, "Berhenti, jangan mendekat."
Surya mendongak dan melihat seorang pria kekar berjas hitam menghalangi jalannya.
Di depan pria itu, ada seorang gadis cantik berusia 20 tahunan yang sedang berjalan bersama seorang kakek berbadan bungkuk.
Surya mengerutkan keningnya. "Kenapa? Apakah ini propertimu?"
"Bukan, tetapi kamu nggak boleh mendekat," ucap pria kekar itu tanpa ekspresi.
Lalu, Surya berkata, "Kalau bukan, siapa pun boleh melewatinya. Menyingkirlah."
"Kalau kamu mendekat, aku nggak akan lagi bersikap sopan padamu." Pria kekar itu tetap tidak bergerak.
Amarah muncul di wajah Surya. "Kalian masyarakat istimewa, ya?"
Wajah pria kekar itu menjadi dingin. Tiba-tiba, kakek tua itu berbicara dengan suara bagaikan embusan angin, "Menyingkirlah, sungguh menyebalkan! Ini jalan umum, bukan milikku sendiri."
Mendengar ini, pria kekar itu pun melangkah mundur.
Surya melanjutkan perjalanannya. Lalu orang tua itu mengangguk kepadanya untuk memberi salam.
Surya pun mengangguk kembali untuk membalas salamnya dan terus berjalan.
Saat itu, tiba-tiba sang gadis berkata, "Nggak sopan."
"Apa katamu?" Surya berbalik dan menatap gadis itu.
Gadis itu menggosok matanya dan berkata, "Aku bilang kamu nggak sopan."
"Gadis Kecil." Surya berkata dengan tak acuh, "Siapa pun nggak harus tunduk pada orang lain, merendahkan diri mereka di hadapan yang kuat dan berkuasa. Aku rasa aku sudah sangat sopan."
Raut wajah gadis itu menjadi dingin. "Kamu sarkastik. Apa maksudmu?"
Melihat kedua anak muda itu hendak berkelahi, sang kakek tertawa dan berkata pada Surya, "Nak, tolonglah orang tua ini dan jangan rendahkan dirimu hingga setara dengannya. Bagaimana?"
Surya memandang kakek itu dari atas ke bawah, lalu perlahan berkata, "Kakek sakit parah, ya?"
Mendengar perkataan Surya, gadis itu seketika marah dan menunjuk hidung Surya. "Coba kamu katakan lagi?"
"Apa aku salah bicara?" Surya masih tampak tenang.
Ketika gadis itu hendak membalasnya, sang kakek menghentikannya dan tersenyum. "Nak, sepertinya kamu bukan orang biasa."
Surya berkata dengan santai, "Aku sangat biasa."
"Menurutku nggak begitu. Nak, menurutmu berapa lama aku bisa hidup?" tanya sang kakek dengan tak acuh.
Surya menjawab, "Satu minggu."
Gadis itu bergetar dengan amarah ketika mendengar perkataan Surya, tatapannya pun bergeser ke arah pengawal di belakangnya. Sang pengawal dengan cepat mendekat.
Mata kakek itu berbinar. Dia melambaikan tangannya dan berkata, "Begitu, ya? Nak, apa kamu punya solusinya?"
"Bukannya nggak punya, tetapi kenapa aku harus memberitahumu?" ucap Surya.
Kakek itu tertawa dan mengangguk. "Kamu benar, memangnya kenapa. Sampai jumpa, Nak."
Surya pun berbalik dan pergi.
Gadis itu berkata, "Kakek, orang itu terlalu arogan."
"Jangan bicara begitu. Di mata orang lain, bukankah kita juga arogan? Seperti kata pemuda itu, hak apa yang kita punya?" Kakek itu lalu kembali berjalan.
Air mata menggenang di mata gadis itu. "Ini semua karena luka yang Kakek dapatkan demi negara."
"Kamu bicara apa? Demi negara, bukankah kita harus melakukannya? Haruskah kita menjadi arogan hanya karena itu?" Entah kenapa sang kakek terdengar agak marah.
Surya tiba-tiba berhenti melangkah dan berbalik menatap orang tua itu.
"Boleh aku tahu namamu?" tanya Surya.
Kakek itu tersenyum. "Namaku Hendra Wijaya."
"Pahlawan nasional itu?" Surya terkejut.
Hendra melambaikan tangannya dan berkata, "Aku hanya orang tua."
Surya pun termenung.
Hendra Wijaya, seorang pahlawan nasional Aerovia. Dia terkenal atas pencapaian militernya. Selain itu, dia memegang jabatan tertinggi dalam militer. Dia dihormati baik di dunia militer maupun dunia politik. Muridnya pun tersebar di seluruh dunia. Dia adalah seseorang yang sangat dihormati.
Setelah beberapa saat, Surya perlahan membuka mulutnya, "Aku sudah bersikap nggak sopan. Mengenai penyakitmu, aku sebenarnya punya solusi. Kalau kamu memercayaiku, bagaimana kalau kita mencari tempat untuk berbicara?"
Kakek itu tertawa. "Sejak awal, aku sudah menyadari kalau kamu bukan orang biasa. Bagaimana kalau pergi ke rumahku?"
"Baik." Surya menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba gadis itu berkata, "Kakek, jangan percayai dia. Ini penipuan, dia sengaja mau mendekatimu."
"Aku hanya orang tua, apa lagi yang mau ditipu? Kamu terlalu curiga."
Hendra mengisyaratkan Surya untuk mengikutinya. Kedua orang itu pun berjalan menuju arah mereka datang.
Gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Kakeknya telah mendapatkan perawatan terbaik di negara, bahkan tim medis terhebat di Kota Senara tidak bisa menolongnya. Orang arogan itu tidak mungkin punya solusinya, dia hanya berpura-pura untuk mendekati Keluarga Wijaya.
Namun dia tidak berani untuk melawan keinginan kakeknya. Dia hanya bisa membantu kakeknya pulang dan sesekali memelototi Surya.
Surya pura-pura tidak melihatnya. Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Hendra dan duduk di ruang tengah.
Hendra berkata, "Nak, apa kamu bisa mengetahui kondisiku?"
"Luka lama yang berujung menjadi luka dalam, ditambah dengan lemahnya tubuh orang tua. Saat ini, kamu menderita gagal napas dan nekrosis. Kalau bukan karena bantuan pengobatan terbaik, kamu nggak akan bertahan hingga sekarang," ucap Surya dengan terus terang.
Mata sang kakek pun berbinar. "Nak, bagaimana kamu bisa tahu?"
"Dari warna kulitmu," jawab Surya.
Kakek itu tercengang dan berkata, "Sungguh pengamatan yang tajam. Tetapi, apa kamu punya solusinya?"
"Lepaskanlah pakaian atasmu. Aku akan membantu menyalurkan energi ke tubuhmu. Kemudian, aku akan mengajarimu beberapa teknik. Kalau kamu terus mempraktikkan teknik tersebut, kamu bisa hidup hingga lebih dari 100 tahun," ucap Surya.
Sang kakek mengerutkan keningnya. Setelah beberapa saat, dia perlahan berkata, "Tampaknya hidupku belum ditakdirkan untuk berakhir. Tolong tunjukkan padaku, Anak Muda."
Melihat kakeknya hendak membuka baju, sang gadis pun menjadi gelisah dan buru-buru maju untuk menghalangi mereka. "Kakek, bagaimana kamu bisa memercayainya? Dia jelas-jelas penipu. Dia mencoba untuk mendekati Keluarga Wijaya demi kepentingan liciknya. Kakek nggak boleh tertipu!"
"Aku sudah sekarat, apa salahnya aku mencoba?" balas Hendra dengan tenang.
Gadis itu meninggikan suaranya dan berkata, "Kakek nggak boleh tertipu. Kalau dia melakukan hal jahat dengan menggunakan reputasimu, reputasi kakek akan hancur."
"Reputasi apa yang aku punya?" Sang kakek berkata dengan tegas, "Kalian menganggap diriku dan Keluarga Wijaya terlalu hebat. Lagi pula, kalau dia memang penipu, apa kalian nggak bisa menghukumnya?"
Gadis itu tidak bisa berkata-kata dan tidak berani untuk berdebat dengan kakeknya. Dia pun menumpahkan amarahnya pada Surya, berteriak, "Kamu cepat pergi! Cepat, sekarang juga!"