Bab 6
Dada Linda berdebar dan tubuhnya membeku, seolah-olah dia terkena sihir. Tubuhnya tetap dalam posisi membungkuk dan tidak berani bergerak.
'Akankah momen ini datang begitu cepat? Aku harus bagaimana?'
'Haruskah aku menolaknya? Atau lebih baik aku ragu-ragu menerimanya? Atau haruskah aku memarahinya dengan tegas?'
Seketika berbagai macam pikiran muncul di hati Linda.
Sementara itu, tangan Surya sudah mendarat di dadanya. Pemuda itu sedikit mengibaskan leher baju Linda, lalu dia berkata sambil tersenyum, "Ada rambut, jangan sampai rambutnya masuk ke mangkuk."
Linda diam-diam menghela napas, tubuhnya pun menjadi rileks.
Dia tergagap berkata, "Maafkan aku, Bos. Akhir-akhir ini ... rambutku sering rontok."
"Nggak apa-apa," jawab Surya dengan santai. Dia pun mulai menikmati semangkuk mi di hadapannya.
Kemudian Linda berdiri, jantungnya masih berdebar. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan selanjutnya.
Setelah dua suap, Surya tiba-tiba mendongak dan berkata, "Ini enak, apa kamu sudah coba?"
"Aku belum coba," jawab Linda.
"Cepat buat semangkuk lagi untukmu, kemampuan memasakmu sungguh hebat," puji Surya.
Linda terus mengangguk, lalu buru-buru pergi ke dapur. Surya menatap sosok Linda dan tersenyum samar.
Tak lama kemudian, Linda juga membuatkan dirinya semangkuk mi. Kedua orang itu pun makan dengan diam.
Selesai makan, Linda duduk di samping Surya. Area-area yang tidak dapat ditutupi baju tidurnya pun bercahaya dengan terang dan menarik perhatian.
Surya meminum teh dan bertanya, "Bagaimana dengan masalah Grup Sukajaya?"
"Sore tadi dokumennya sudah ditandatangani."
Linda seketika berubah saat membicarakan pekerjaan.
"Sepuluh triliun juga sudah dikirimkan ke Grup Sukajaya. Para direktur yang kami pilih sekarang telah menduduki sebagian besar kursi dewan direksi, saham kita pun lebih banyak mereka. Dalam beberapa hari ini, kita bisa mengambil alih Grup Sukajaya."
Surya menganggukkan kepalanya. "Kerja yang bagus."
"Aku sudah menginstruksikan para direktur yang memasuki dewan direksi Sukajaya. Mereka akan diam-diam menginvestigasi rekening perusahaan, catatan pajak dan informasi lainnya. Dengan dalih mengawasi keuangan, mereka akan mengumpulkan bukti. Dilihat dari situasi keuangan Grup Sukajaya, mereka pasti memiliki masalah dalam hal ini," ucap Linda.
Surya memandang Linda dengan terkejut.
Wanita ini tidak hanya menebak niat Surya yang sesungguhnya, tetapi juga sudah membuat rencana lebih dulu. Benar-benar talenta yang jarang ditemui.
Saat ini, Linda duduk di sofa dengan tenang dan percaya diri. Sikapnya sangat berbeda dengan beberapa saat yang lalu.
Setelah merenung sejenak, Surya bertanya, "Kalau tahu Grup Sukajaya memiliki masalah, kenapa masih mau berinvestasi dengannya?"
"Bos, masalah semacam ini kurang lebih ada di setiap perusahaan. Ini rahasia umum di dalam industri, semua orang mengetahuinya."
Linda menjelaskan dengan percaya diri.
"Tapi dengan kekuatan finansial Konsorsium Pelita, kita dapat dengan mudah membantu Grup Sukajaya melewati rintangan ini dan membantu mereka untuk terus berkembang. Selain itu, masalah yang tadi aku sebutkan dapat diselesaikan begitu kita ikut campur. Tapi sesuai dengan keinginanmu, aku sudah mengubah rencana awalnya."
Surya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Kerjamu benar-benar hebat."
"Terima kasih, Bos," balas Linda sambil menundukkan kepalanya.
"Besok pukul 8 pagi, carilah sebuah mobil untukku." Surya mengganti topik, Linda sudah bekerja dengan sempurna dan tidak ada lagi yang perlu dia tanyakan.
Mendengar ini, Linda segera bertanya, "Apa kamu punya permintaan spesifik untuk mobilnya?"
"Buat serahasia mungkin, aku nggak mau identitasku ketahuan. Lalu seterusnya tolong jangan panggil aku bos," ucap Surya.
Linda memandang Surya dengan ragu. "Kalau begitu, aku harus memanggilmu apa?"
"Dik, pak, apa saja asal bukan bos."
Linda seketika tak bisa berkata-kata. Dia tidak berani main-main dan memanggil Surya "dik".
Setelah berpikir sejenak, Linda menyarankan, "Begini saja, saat nggak ada orang lain, aku akan memanggilmu bos. Ketika ada orang lain, aku akan memanggilmu pak. Bagaimana?"
"Boleh." Surya langsung setuju. "Di mana aku akan tinggal?"
Mendengar pertanyaan Surya, Linda menggigit bibirnya dan berkata dengan lembut, "Di lantai bawah ada kamar tamu, tapi kamar di lantai atas lebih baik. Aku juga tinggal di kamar atas."
Surya tersenyum. "Aku tinggal di kamar tamu saja. Lagi pula, kita ini pria dan wanita lajang."
Wajah Linda memerah, dia berkata, "Aku akan mengantarmu."
Surya berdiri dan mengikuti Linda ke sebuah kamar tamu.
Setelah melihat kamarnya, Surya berkata pada Linda, "Baik, kamu bisa pergi beristirahat. Selanjutnya kamu nggak perlu memedulikanku, fokus saja pada pekerjaanmu."
"Baik, Bos. Selamat malam." Linda membungkuk dan pergi.
Surya mengelilingi kamar yang memiliki luas lebih dari 100 meter persegi itu. Kemudian, dia pun mulai bermeditasi.
...
Tepat pukul 7 pagi, Surya membuka matanya. Dia telah bermeditasi sepanjang malam dan merasa segar.
Setelah membersihkan dirinya sebentar, dia pergi ke ruang tengah dan melihat Linda yang sedang menunggu dirinya.
"Selamat pagi, Bos." Linda membungkuk dan memberinya salam.
Surya melambaikan tangannya. "Selanjutnya nggak perlu sesopan ini, rasanya aneh."
Namun Linda tidak memedulikannya dan mengeluarkan sebuah kunci mobil. "Bos, mobilmu ada di gerbang."
"Volkswagen, bagus juga." Surya mengambil kunci tersebut dan mengangguk.
Linda berbisik, "Itu Volkswagen Phideon."
"Phideon?" Surya berseru, "Bukankah harganya lebih dari 2 miliar?"
"Ini Phideon dengan spesifikasi terhebat, harganya 5,12 miliar," kata Linda.
Surya mengerutkan keningnya. "Bukankah aku memintamu membeli mobil yang nggak mencolok?"
Linda terdiam. Tampaknya bosnya ini tidak mengetahui statusnya sendiri dan kekuatan finansial Konsorsium Pelita.
Tentu saja Linda tidak berani mengatakannya. Dia hanya berbisik, "Bos, ini mobil milik perusahaan yang paling nggak mencolok."
"Baiklah." Surya menarik napas dan berkata, "Kamu bisa pergi dan lakukan pekerjaanmu, nggak perlu pedulikan aku."
Linda mengangguk. "Baik, Bos. Sampai jumpa."
Setelah itu, Linda mengambil tasnya dan melangkah pergi.
Dari belakang, tampak tubuhnya yang mengenakan pakaian profesional berwarna biru gelap yang ketat, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang montok. Sepatu haknya menonjolkan tubuhnya yang tinggi dan pinggangnya yang berayun memancarkan pesona wanita dewasa. Fisiknya, sikapnya, segalanya tentang wanita itu begitu sempurna.
Surya tersenyum dan mengikutinya keluar. Kemudian, Surya menaiki Phideon itu dan pergi ke pusat kota.
Pada pukul 8 pagi, begitu sampai di kantor catatan sipil, Surya menerima telepon dari Maya.
"Kamu sudah sampai? Kuberi tahu kamu, jangan jadi pengecut." Di telepon, terdengar suara Maya yang amat kasar.
Surya mengunci mobilnya dan menjawab, "Aku sudah di pintu masuk."
Setelah menutup telepon dan sampai di pintu, Surya melihat Maya dan Adhi sedang berdiri menunggunya.
Melihat Surya yang datang sesuai janji, mereka berdua menghela napas lega.
Surya tersenyum. "Ayo."
Maya mendengus dingin dan berjalan masuk ke dalam kantor.
Tidak ada anak, tidak ada sengketa properti, prosedur perceraian pun dengan cepat terselesaikan.
Setengah jam kemudian, mereka berdua keluar dari kantor catatan sipil sambil membawa akta cerai mereka.
Di pintu, Maya memamerkan akta cerainya pada Adhi dan berkata, "Adhi, sekarang aku bebas."
Adhi memeluk Maya, kedua orang itu pun berciuman dengan penuh gairah.
Surya merasa mual melihat mereka, tetapi dia masih tersenyum dan berkata, "Kamu sudah bebas, sekarang kalian berdua bisa menikah."
"Pikirkan urusanmu sendiri." Maya menatap Surya dengan penuh kebencian. "Aku dan Adhi akan mengadakan pesta pernikahan yang mewah, juga mengundang semua selebriti di Juwana untuk menyaksikannya. Kemudian, kami akan mendapatkan akta nikah. Dasar sampah, enyah saja kamu."
"Begitukah? Saat waktunya tiba, jangan sampai kamu mempermalukan dirimu." Surya pun tertawa.
Adhi tiba-tiba marah dan bergegas menghampiri Surya. Dia berteriak, "Bocah, kamu cari ribut?"
Di saat yang sama, dua pengawal Adhi datang dan mengepung Surya.