Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Jane sampai di perusahaan tepat waktu. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan diserahkan sebelum pengunduran diri. Begitu duduk, Jane sibuk sampai jam makan siang. Jane turun ke kedai kopi untuk membeli roti. Saat mengantre untuk membayar, Jane melamun ke ubin lantai. Akan tetapi, telinga Jane menangkap kata "Pak Kevin". Dua gadis di depan sedang bergosip. Jane pernah melihat mereka. Mereka adalah sekretaris di kantor CEO. "Apakah itu pacar Pak Kevin?" "Jangan sembarangan omong. Katanya itu artis yang baru dikontrak, 'kan?" "Aku nggak sembarangan omong. Kamu nggak lihat, saat aku bawakan kopi ke kantor, Pak Kevin pegang tangannya sambil berbicara lembut. Sudah sekian lama kamu kerja di sini, kapan kamu lihat Pak Kevin berbicara lembut dengan orang lain?" "Ah! Jangan-jangan Pak Kevin sudah mencintainya bertahun-tahun dan cinta pertamanya akhirnya kembali? Astaga, manis sekali!" "Katanya dulu Pak Kevin bahkan meninggalkan usaha keluarga dan mau kabur bersama Nona Lily!" Asam lambung Jane tiba-tiba naik hingga membuatnya mual. Roti yang Jane pegang pun terasa menjijikkan. Jane menaruh kembali roti itu dan segera meninggalkan kedai kopi. Kehidupan konyol itu seharusnya sudah diakhiri. Begitu kembali ke kantor, Jane langsung mencetak surat pengunduran diri dan menandatanganinya. Saat Jane baru saja memasukkan surat pengunduran diri ke dalam amplop, pintunya diketuk. "Masuk." Asisten Jane masuk. "Bu Jane, Pak Kevin memintamu ke sana." "Oke." Jane menaruh amplop di dalam laci. Lalu, Jane berdiri dan meninggalkan kantor. Kantor CEO terletak di lantai 38, sedangkan departemen hubungan masyarakat di lantai 12. Jane masuk ke dalam lift. Lift berhenti di lantai 20, yaitu kantin. Ada yang masuk. Jane sedang menundukkan kepala dan sibuk dengan ponselnya. Jane tidak memperhatikan siapa yang masuk. Lalu, seseorang memanggil, "Jenny." Jane mendongakkan kepala karena mengira orang itu memanggilnya. Ternyata, Lily dan manajernya berdiri memunggungi Jane. Manajer Lily-lah yang memanggil "Jenny". Orang yang dipanggil adalah Lily. Mengapa Lily dipanggil "Jenny"? Jane membeku di tempat, tercengang dan bimbang. Jane bahkan lupa dia tidak seharusnya bersuara saat ini. Jane mendengar dirinya bertanya, "Kamu ... kenapa dipanggil Jenny?" Lily seperti baru menyadari keberadaan Jane. Lily berbalik badan dan terkejut melihatnya. Lily menerangkan, "Saat sekolah, aku ikut lomba nyanyi dan dengan lugu memilih satu lagu itu. Dalam lagu itu, ada lirik dengan nama Jenny. Suaraku pecah saat aku menyanyikan kata itu. Lalu, teman-teman selalu meledekku. Lama-kelamaan, Jenny menjadi nama julukanku." Jane bertanya dengan bengong, "Saat sekolah? Kapan?" "SMA kelas 1, pamanmu juga tahu." Lily tersenyum dengan lebih girang, seperti mengingat sesuatu yang menggembirakan. "Dia paling nakal. Dia yang mulai meledekku saat itu." Ternyata seperti itu. Selama bertahun-tahun, Jane begitu menghargai kasih sayang yang hanya menjadi miliknya. Ternyata semua itu hasil curian. Semua itu dia curi karena tidak tahu malu dan berangan-angan! Dari awal hingga akhir, pujaan hati Kevin bukan dia! Semua itu, semua itu palsu! Wajah Jane pucat pasi. Jane nyaris tidak kuat untuk berdiri. Lily buru-buru memegangi Jane dan bertanya dengan khawatir, "Jane, apa kamu baik-baik saja?" Jane menggelengkan kepala dengan linglung. Jane sama sekali tidak memperhatikan senyum kemenangan yang tersungging di bibir Lily. Dasar gadis belia. Jane sama sekali bukan tandingannya. Jane sudah terpukul mundur hanya dengan beberapa kata-kata, tidak perlu ditakutkan. Awalnya, Lily mengira Jane adalah lawan yang tangguh. Rumornya, Kevin sangat menyayangi dan memanjakan Jane. Sekarang, tampaknya tidak seperti itu. Lily memegangi Jane dengan penuh perhatian, padahal menyeringai sinis dalam hati. Lift sampai di lantai 38. Pintu lift dibuka, ternyata Kevin menunggu di depan pintu. Begitu melihat Lily, Kevin segera maju dan memegang tangan Lily. "Kenapa lama sekali?" "Aku khawatir kamu sibuk sampai lupa makan siang, jadi aku pergi beli makanan di kantin." Lily berjalan ke luar lift sambil bergandengan tangan dengan Kevin. Lily juga menarik Jane keluar dan berkata, "Kebetulan ketemu Jane di lift. Kalian mau bicara? Apakah mengganggu kalau aku di sini?" Jane berdiri dalam diam. Wajahnya sangat masam. Kevin seakan-akan tidak menyadari hal itu. Kevin melirik Jane dengan cuek dan berkata, "Nggak apa-apa. Aku suruh dia ke atas untuk membahas masalahmu." "Oh? Ada masalah apa?" tanya Lily. Jane juga menoleh pada Kevin dengan heran. "Kamu sudah kerja sama dengan anak perusahaan untuk syuting film. Untuk promosi nanti, butuh kerja sama dari departemen hubungan masyarakat," kata Kevin dengan suara lembut sambil menatap Lily. Lalu, Kevin menoleh pada Jane dan berujar secara profesional, "Kamu urus, harus kerjakan dengan baik. Aku nggak mau ada berita negatif tentang Lily." "Maaf." Jane menggertakkan gigi. Dia menarik napas dalam-dalam dan berujar, "Promosi film seenggaknya masih tiga bulan lagi. Sepertinya bukan aku yang urus lagi nanti." "Apa yang kamu katakan?" Kevin menatap Jane dengan jengkel. Ketika Kevin ingin berbicara lagi, asisten datang sambil membawa ponsel. Ada urusan mendesak yang perlu ditangani. Sambil menjawab telepon, Kevin melambaikan tangan dengan jengkel dan menyuruh Jane masuk ke kantor. Kevin berjalan ke ruang dalam untuk bertelepon. Sementara itu, Jane dan Lily nunggu di ruangan luar. Jane duduk di sofa dalam diam, tidak bermaksud untuk berkomunikasi dengan Lily. Lily memulai pembicaraan sambil membuka makanan yang dibeli dari kantin. "Jane, bisakah kamu membantuku?" Lily memegang semangkuk kuah seraya berkata, "Aku nggak bisa buka." Jane terpaksa berdiri dan pergi membantunya. Begitu Jane mengulurkan tangan, mangkuk yang belum sempat Jane sentuh lepas dari tangan Lily. Sebagian besar kuah panas langsung tumpah ke pergelangan kaki Lily. "Ah! Panas!" teriak Lily. Jane terbengong dengan posisi mengulurkan tangan. "Ada apa?" Kevin bergegas keluar dari ruang dalam. Melihat Lily memegang pergelangan kaki dengan mata memerah, Kevin buru-buru pergi mengecek. "Kenapa bisa begini?" Lily kesakitan hingga menggigit bibirnya. Dia berujar, "Jangan salahkan Jane, dia bukan sengaja. Ini hanya kecelakaan. Jane juga nggak bermaksud melakukannya." Jane langsung menoleh pada Lily dengan kaget dan ingin membantah, tetapi Jane terdiam di tempat karena diteriaki oleh Kevin. "Jane!" Kevin membentak dengan tatapan mata dingin dan suara tegas, "Minta maaf!" Jane menatap Kevin dengan cengang. "Aku ...." Lily tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. Lily menyeletuk, "Jangan galak. Kamu menakuti Jane. Jane pasti bukan sengaja. Nggak perlu minta maaf, nggak apa-apa. Jane, jangan takut." "Bagaimana aku mengajarimu sejak kecil? Kamu harus minta maaf atas kesalahanmu. Kamu nggak ingat?" tukas Kevin. Jane berdiri dalam diam. Tenggorokannya seakan-akan dicekoki jus lemon yang asam. Kevin langsung memercayai omongan Lily tanpa menanyakan apa yang terjadi. "Kamu membesarkanku sejak aku kecil, tapi kamu nggak percaya padaku?" tanya Jane dengan suara serak. Matanya memerah. Kevin memalingkan muka dengan cuek. "Anak kecil yang patuh itu sudah nggak tahu ke mana. Sekarang kamu berteman dengan Andy, bahkan sudah nggak tahu aturan!" "Kamu sudah membuangnya," kata Jane dengan nada tenang seraya menatap Kevin.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.