Bab 11 Dia yang Buta
Di sampingnya, mata Tristan agak berkilat saat mendengar kata "putus".
Kemudian, terdengar suara teriakan marah Bernard dari luar.
"Putus? Hah, sebenarnya aku sudah bosan denganmu sejak lama. Kalau bukan karena kamu terus menempel padaku, aku nggak akan melirikmu sama sekali!"
"Susan lembut dan baik hati, nggak seperti kamu yang berhati sempit dan jahat. Kamu bahkan nggak sebanding dengan seujung kukunya!"
"Wanita membosankan dan bodoh sepertimu, aku mau lihat siapa yang akan menyukaimu setelah kamu meninggalkanku, Bernard Gunawan!"
Setiap kata Bernard bagai duri yang menusuk hati Chyntia. Dia menggigit bibirnya erat-erat dan mengepalkan tangannya.
Ternyata di hati Bernard, dirinya begitu tidak berharga.
Bernard ternyata tidak pernah benar-benar menyukainya
"Bajingan!"
Suara dingin yang ekstrem terdengar di telinganya. Chyntia melihat Tristan hendak membuka pintu dengan ekspresi suram. Dia pun meraih tangan pria itu dengan panik.
"Jangan." Dia menggeleng pelan, matanya yang merah berair tampak memohon.
Dia tahu dirinya terlihat sangat menyedihkan sekarang. Dia tidak ingin melihat tatapan benci Bernard atau sikapnya yang membela Susan.
Apalagi, keberadaannya bersama Tristan di tempat ini memang sulit untuk dijelaskan.
Alis Tristan berkerut dalam, tampak sangat marah hingga dia bisa saja menghajar Bernard habis-habisan.
Bagaimana bisa Bernard memperlakukan Chyntia seperti ini?
Jika tahu begini sejak awal, seharusnya dia tidak ...
Bibir Tristan terkatup rapat. Melihat wajah pucat Chyntia, dia merasa sangat khawatir.
Hingga suara dari luar menghilang, tubuh Chyntia yang tegang baru agak rileks, meskipun dia masih merasa dingin seolah-olah berada di dalam ruang es tanpa sedikit pun kehangatan.
"Sudah, kamu boleh pergi sekarang."
Dia menunduk saat berbicara, melepaskan tangan Tristan. Namun, detik berikutnya, tangannya justru digenggam oleh Tristan.
Chyntia mendongak, menatap pria itu dengan ekspresi tidak senang.
"Apa yang kamu lakukan?"
Tristan menyeka air mata di sudut matanya dengan lembut. Suaranya rendah dan hangat. "Apa kamu ingin menghajar Bernard?"
Chyntia mengangkat kepala, memandangnya dengan bingung.
Dia adalah paman Bernard. Seharusnya dia memihak Bernard.
"Aku membela yang benar, bukan keluarga."
Seolah-olah melihat kebingungannya, Tristan menjelaskan dengan suara pelan.
Chyntia menggeleng. Dia sadar diri. Seburuk apa pun Bernard, dia tetap anggota Keluarga Gunawan. Perkataan Tristan cukup didengarkan saja.
"Terima kasih, Paman. Tapi, itu nggak perlu. Aku dan dia sudah nggak ada hubungan lagi."
Tristan melihat sikap Chyntia yang penuh kewaspadaan dan menjaga jarak, jelas menunjukkan ketidakpercayaan padanya. Dia mengatupkan bibirnya, lalu setelah beberapa saat dia berkata lagi, "Kamu itu baik. Bernard yang nggak tahu cara menghargainya."
Suaranya rendah, anggun, dan menawan, tetapi juga membuat hati berdebar.
Chyntia mengerjapkan matanya dengan lembut, ujung hidungnya tiba-tiba terasa agak perih.
Dia tidak berkata apa-apa.
"Kalau memang merasa terhina, kenapa nggak mengatakannya?"
Tristan kembali bertanya.
Chyntia tertegun sesaat. "Bagaimana kamu tahu aku merasa terhina? Bukannya kamu dengar, Bernard bilang aku selalu menyusahkan orang lain?"
"Aku cuma percaya mataku sendiri." Suaranya dingin dan mantap, sangat serius.
Chyntia tertawa pahit. "Bernard juga melihat dan mendengarnya sendiri. Tapi dia tetap memilih membela orang lain. Hatinya sudah berat sebelah. Bagaimanapun aku menjelaskan, itu percuma."
Tristan bertanya dengan perlahan setelah mendengar itu, "Kamu benar-benar sudah memutuskan untuk berpisah dengannya?"
"Ya." Chyntia mengangguk dengan tegas. "Jadi, Paman nggak perlu lagi menjaga aku cuma karena hubunganku dengan Bernard. Terima kasih atas bantuan Paman kemarin."
Baru saja dia selesai bicara, Tristan langsung mengerutkan alisnya. "Siapa bilang aku menjagamu karena dia?"