Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Wajahnya makin bersemu dan tangannya terasa agak kaku saat sedang merapikan pakaian usai melihat Jamal. Dia pasti berpikir kalau Hania sangat memalukan. Yang mengejutkan, dia tidak memberi tatapan tidak ramah sama sekali. Pria itu hanya mengambil koper Hania dan memeriksa dengan cermat, lalu berkata, "Ritsletingnya longgar." Jamal pun berjongkok untuk membantu mengencangkan ritsleting, lalu memasukkan kembali pakaiannya ke koper. "Baiklah, mari masuk." "Terima kasih." Hania tersenyum kecil. Kecanggungan pun meluap entah ke mana. Ketika hendak masuk, petugas keamanan mengenali Jamal, lalu dirinya segera berlari ke depan Hania untuk minta maaf. "Ternyata memang benar dengan Nyonya Lestanto, mohon maaf atas sikap saya yang ceroboh. Saya nggak pandai mengenali orang dan bicara kata-kata yang tidak pantas. Mohon maafkan saya, ya. Jangan terlalu dipikirkan!" Sang penjaga keamanan tersenyum lebar, bahkan membungkuk kepada Hania. Sikapnya sangat berbeda dari sebelumnya. Hania selalu diperlakukan dingin oleh orang-orang. Perlakuan yang tiba-tiba seramah ini sungguh membingungkan untuknya. Dia menatap Jamal, menyadari bahwa dia juga sedang menatap Hania, seolah-olah sedang menunggu tanggapan wanita itu. "Sudahlah, nggak apa-apa. Bapak nggak perlu bersikap begini." Hania merasa reaksi sang penjaga keamanan saat ini berlebihan. Meskipun dia tahu bahwa dirinya adalah istri pemilik rumah, tidak perlu merendah sampai begitu, 'kan? Setelah mendapat maaf, penjaga keamanan itu kembali melirik ke arah Jamal dengan cemas. "Istri saya bilang nggak apa-apa, sudah selesai masalahnya," balas Jamal dengan tenang. Penjaga keamanan itu menghela napas lega seraya membungkuk penuh syukur kepada Hania. "Terima kasih, Nyonya Lestanto! Terima kasih banyak!" Hania tidak berbicara lagi dan mengikuti Jamal masuk ke kompleks perumahan. Penjaga keamanan mengawasi mereka pergi menjauh, mengusap peluh dingin di keningnya. Sejak hari pertama dia bekerja, pimpinannya sudah bilang bahwa Pak Jamal adalah orang penting, tidak boleh diusik sama sekali. ... Unit di hadapan mereka bertuliskan Enam Ratus Satu. Jamal pun membuka pintu rumahnya, menampilkan semua lampu di rumah yang menyala. Hania masuk dan melihat rumah itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ruang tamunya luas dan rapi. Desain interiornya sangat indah, dengan balkon besar dan jendela kaca dari lantai ke langit-langit, menyajikan pemandangan yang terlihat lebih luas. "Masih ada dua kamar kosong di sana. Kamu bebas memilih salah satu. Di sini, ada kamar dan ruang kerjaku. Jika ada apa-apa, kamu bisa memanggilku kapan saja." Jamal memberi pengenalan singkat tentang tata letak ruangan berisikan empat kamar tidur, dua ruang tamu, sekaligus dua balkon dan kamar mandi yang sangat besar. Setelah Hania memahami denah rumah dengan baik, dia masih diam di tempat sambil terus memegangi kopernya. "Pak Jamal, rumah di sini sangat mahal, 'kan?" Kalau bicara pusat kota, harga rumah paling murah pun berkisar puluhan ribu rupiah per meter persegi. Beberapa orang kaya saja akan tinggal di rumah mungil. Seseorang yang mampu membeli rumah sebesar ini ... kekayaannya jelas luar biasa. Hania langsung meragukan penilaiannya sendiri. Jamal tidak langsung menjawab, dia malah bertanya balik, "Ada apa sampai tiba-tiba bertanya begitu?" Hania pun berkata jujur, "Aku ingat, kamu pernah bilang bahwa gajimu hanya sekitar 20 juta rupiah. Dengan harga rumah daerah kota sekarang, meskipun kamu nggak makan dan minum setiap bulan, kamu harus menabung bertahun-tahun untuk beli rumah sebesar ini. Apakah kamu anak dari keluarga berada?" Jamal terdiam saat mendengar pertanyaan itu, lalu melirik ke arah rumah. Sebenarnya, ini adalah rumah terkecil yang sudah dia pilih dengan hati-hati. "Bukan, ini rumah sewaan," dalih Jamal setelahnya. "Oh ... begitu." Hania langsung merasa lega. Namun, setelah dipikir-pikir, Hania merasa pikirannya memang berlebihan. Bagaimana mungkin pria kaya dan tampan mencari istri di situs kencan, 'kan? Setelah itu, dia memilih sebuah kamar dengan hati yang tenang. Kamarnya punya segala sesuatu yang diperlukan, tampak sangat bersih dan rapi. Meja pun benar-benar bebas debu, seprai tanpa kerutan sedikit pun, termasuk kursi serta karpet yang tertata begitu rapi. Sepertinya, kamar ini belum pernah ditempati. Melihat kondisi ruang tamu, mudah ditebak bahwa Jamal jarang tinggal di sini. Sewa rumah dengan empat kamar tidur dan dua ruang tamu, tetapi jarang sekali ditempati ... Hania menghela napas berat dalam hati seraya membatin, 'Pria ini boros banget!' Hania menaruh kopernya dengan baik sebelum kembali ke ruang tamu. Melihat Jamal duduk di sofa, dia pun mendekatinya. "Pak Jamall, terima kasih banyak buat hari ini. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku harus bermalam di jalanan malam ini." Lampu di ruang tamu tampak menyinari wajah Jamal. Namun, saat Hania mendongak, wajah kiri pria itu terlihat sedikit bengkak dan matanya agak menggelap. "Kenapa dengan wajahmu?" Jamal refleks menyentuh pipinya, masih terasa sakit sedikit. Jadi, dia memberikan alasan acak, "Aku terjatuh saat kemari." Dia tidak ingin membahas topik itu lebih jauh, berusaha untuk mengembalikan pokok pembicaraan. "Pak Jamal, aku akan cari rumah setelah pulang kerja hari besok. Aku nggak akan mengganggu kamu terlalu lama." Melihat Hania yang kesulitan, Jamal menawarkan, "Kalau nggak punya tempat tinggal, kamu bisa tinggal di sini saja." Karena takut salah paham, dia pun menambahkan, "Memang kosong juga kamarnya, sayang saja kalau nggak dipakai." Setelah masalah tempat tinggalnya teratasi, Hania jelas senang. Lingkungan di sini bagus, dia juga tak perlu menghabiskan waktu mencari tempat tinggal lagi. "Jadi, kita bayar setengah-setengah saja untuk sewanya? Butuh uang berapa untuk bayar sewa? Biar aku transfer setelah gajian." Hania tidak suka mengambil keuntungan dari orang lain, apalagi berutang budi. Dia pikir, Jamal membiarkan dirinya tinggal di sini memang untuk berbagi biaya sewa saja. "Aku masih bisa bayar sewa, kamu nggak perlu keluar uang." "Lho? Kalau begini, aku malah memanfaatkanmu nggak, sih?" "Nggak. Status kita suami istri, nggak perlu perhitungan." Wajah Hania langsung bersemu merah. Hania hampir lupa bahwa mereka sudah menikah. "Oke. Kamu bayar sewa, aku yang akan bertanggung jawab untuk kebutuhan rumah tangga." Mendengar itu, Jamal merasa tidak nyaman, seakan-akan tengah dipaksa menjadi lelaki yang ketergantungan pada istri. "Aku sudah menikahimu dan mampu menafkahi. Berapa pun biaya rumah tangga yang diperlukan, biar aku transfer setiap bulan." Hania sontak tertegun. Ternyata, situasi menikah memang seperti ini, ya? Hania mencoba menghitung semua biaya akomodasi serta biaya hidup untuk dua orang akan butuh biaya sekitar ... Hania pun mulai berhitung dengan jarinya. Memasang wajah tanpa ekspresi, Jamal bicara, "60 juta rupiah?" Seketika, suasana menjadi hening. Hania bingung. Dia sempat curiga bahwa Jamal tidak menyukai dirinya karena meminta terlalu banyak dan sengaja mengejeknya. "Jumlah 6 juta rupiah buat transportasi dan makanan porsi dua orang per bulan memang nggak banyak, aku memang kolot soal biaya hidup. Lupakan saja kalau dirasa kurang pas buatmu, aku usahakan untuk menanggung semuanya." "Hah? Enam ... juta rupiah?" Volume suara Jamal terdengar agak keras. Lantas, dia berdeham sambil merenung sejenak. 'Hanya 6 juta rupiah ... dia mengais makan di tempat sampah?' "Kalau melihat harga barang-barang di sini, 6 juta rupiah terhitung hemat sekali. Setelah dapat gaji, aku akan transfer 20 juta rupiah per bulan." Mendadak kaya, Hania serasa tengah bermimpi. Jamal mengeluarkan dompetnya, mencari salah satu kartu debit di tengah banyak kartu miliknya, lalu diserahkan pada Hania. "Kalau nggak cukup, bilang lagi saja padaku." "Cukup, ini sudah cukup." Hania menerima kartu debit tersebut sambil bertanya lagi, "Kamu kasih semua uangmu padaku, memangnya kamu nggak punya pengeluran pribadi?" "Aku selalu hemat dan nggak senang menghamburkan uang." Wajahnya tetap tenang tanpa ekspresi. Diam-diam, mata Hania lanjut menjelajahi rumah ini. Menyewa rumah dengan empat kamar tidur dan dua ruang tamu hanya untuk pajangan, tetapi masih bisa bilang dirinya hemat ... "Ini sudah larut. Kalau nggak ada masalah lain, aku mau mandi dan istirahat." "Oh, baiklah," balas Hania. Setelah Jamal kembali ke kamar, Hania juga kembali ke kamarnya sendiri. Hania pun berbaring di tempat tidur, mengamati kartu debit itu. Sebelumnya, dia selalu memberikan uang kepada orang lain. Tak disangka, kali ini, justru ada yang memberinya uang. Namun, dia tetap sadar diri. Uang ini hanya akan digunakan untuk keperluan rumah tangga dan tidak akan digunakan untuk hal lain. Mencegah adanya perselisihan di kemudian hari, apalagi kalau Jamal sampai menggunakan ini sebagai alasan merendahkan Hania. Meskipun Hania belum pernah mengalami hal semacam ini, dia sudah terlalu sering membaca berita seperti itu. Saat hubungannya membaik, sang pria akan berkata, "Aku yang menafkahimu." Namun, situasi yang memburuk akan memancing sang pria bicara, "Aku sudah menanggung hidupmu selama ini."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.