Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 13

Dua jam kemudian, mobil memasuki Desa Yanara dan berhenti di depan sebuah rumah tua. Hania langsung melihat keluar. Tampaknya, itu adalah jenis rumah tua. Atapnya saja masih terbuat dari genting. Secara keseluruhan, rumah itu terlihat cukup luas dan sudah direnovasi, tetapi masih mempertahankan tata letak gaya lama. "Nanti, kalau sudah bertemu Kakek dan Nenek, jangan panggil aku Pak Jamal." Setelah memarkirkan mobil, Jamal tidak lupa mengingatkannya. Hania mengangguk paham. "Kalau begitu, aku bisa panggil kamu ... Jamal?" "Hmm," gumam Jamal mengiakan. Jamal turun lebih dulu dari mobil, menatap ke arah rumah tua di hadapannya. Rumah ini merupakan tempat sang nenek tinggal semasa muda. Banyaknya kenangan yang tersimpan di sana membuat rumah ini tak pernah dibongkar, tetapi ada orang yang melakukan perbaikan beberapa tahun sekali, sehingga kondisi rumah pun selalu terjaga untuk tetap sama. Setiap tahun, Kakek dan Nenek juga datang ke sini untuk tinggal beberapa waktu. Kedua orang tua itu sudah mendengar deru mobil dari rumah, membuat mereka keluar satu per satu dan bertanya penuh rasa tidak sabar, "Di mana cucu menantuku?" Melihat pakaian kedua orang tua itu, Jamal tertegun sejenak. Nenek mengenakan kebaya berwarna cokelat muda dengan motif bunga yang sudah pudar. Jika diperhatikan lebih dekat, ada lubang kecil di bagian pinggangnya. Kakek mengenakan kemeja kasar yang terlihat sudah cukup usang meskipun tampak bersih dan rapi. Keduanya berdiri di pintu masuk rumah, terlihat begitu serasi. Dalam perjalanan ke sini, Jamal khawatir mereka akan membuat kesalahan. Namun, setelah melihat keduanya sekarang, kekhawatirannya terasa berlebihan. Kedua orang tua itu begitu saling mendukung. Tentu saja, dirinya harus menunjukkan rasa hormat sebagai cucu. "Kakek, Nenek, aku membawa sesuatu untuk kalian ..." Belum selesai bicara, kedua orang tua itu sudah melewatinya dan berjalan ke samping kursi penumpang untuk menyambut Hania. Hania menurunkan barang-barang dari mobil, tampak tersenyum sambil menyapa mereka. "Ini Kakek Leno dan Nenek Laksmita, ya? Senang bertemu kalian. Aku Hania." "Hania, nama yang bagus sekali. Nanti, Kakek dan Nenek akan memanggilmu Hania." Ekspresi Nenek Laksmita terlihat begitu ramah. Sudut bibirnya selalu terangkat ketika melihat ke arah Hania. Meskipun berpakaian sederhana, kulit seputih susu yang tampak halus, sekaligus wajah yang cantik, Hania dan rambut yang diikat tinggi pun tampak berpenampilan bersih hingga membuat orang merasa begitu nyaman. Kedua orang tua itu sudah terbiasa melihat banyak gadis dengan riasan tebal. Begitu melihat Hania, mereka langsung tertarik. Hania pun mengangguk setuju, lalu menyerahkan bingkisan untuk mereka. "Kakek Leno, Nenek Laksmita, ini kali pertamaku bertemu kalian. Aku nggak tahu apa yang kalian suka. Jadi, aku hanya membeli sedikit." "Dasar gadis, kenapa harus mengeluarkan uang buat ini? Selama kamu datang, Kakek dan Nenek sudah senang, lho." Meskipun berkata begitu, tangan Nenek Laksmita telah menerima hadiah itu. Hadiah dari cucu menantu, tentu harus diambil! "Hania, pasti naik mobil melelahkan, ya? Ayo, ikut Nenek masuk untuk beristirahat." Nenek Laksmita memberi bingkisan itu kepada Kakek Leno dan menyuruh dia untuk menyimpan bingkisan tersebut, lalu menarik Hania untuk masuk ke rumah. Sementara itu, Jamal terlihat kasihan karena masih berdiri di depan bagasi belakang seraya membawa dua kotak suplemen makanan kelas atas, tetapi tidak ada yang memperhatikannya. Akhirnya, Jamal hanya bisa menjamu diri sendiri, lalu ikut masuk ke rumah. Setibanya di dalam rumah, Nenek Laksmita menarik Hania supaya duduk di sampingnya, kemudian berulang kali menanyakan kabar. "Hania, Jamal baik padamu, 'kan? Anak ini agak kurang peka soal perasaan. Dia nggak menjahatimu, 'kan?" Hania melirik Jamal, tampak tersenyum sembari menjawab, "Dia baik padaku. Tenang saja, Nek, dia nggak menjahatiku." Jamal tampak mengerutkan keningnya. Wanita ini, demi menyenangkan Nenek, banyak bohongnya. "Baguslah. Kalau dia berani menjahatimu, bilang sama Nenek, ya. Nanti, Nenek yang menghukumnya!" Hania mengangguk sambil tersenyum. "Nenek, jangan cuma mengobrol terus. Makanannya sudah siap, nih. Cepat ajak Hania kemari untuk makan." Kakek Leno berteriak, sehingga Nenek Laksmita segera membawa Hania ke meja makan. Untuk mendukung rencana Jamal, kedua orang tua itu membuat masakan rumahan dengan bahan-bahan yang dikirim sejak pagi. Baik daging maupun sayuran, semuanya dipilih yang paling mahal dan terbaik, bahkan dibuat satu meja penuh. "Hania, ayam bumbu hitam ini bagus untuk kesehatan wanita. Aku sengaja pesan ... sengaja pergi ke pasar dan membelinya buat kamu agar tubuhmu sehat. Makan yang banyak, ya! Biar bisa cepat-cepat punya anak lelaki yang sehat bersama Jamal." Rona merah menjalari wajah Hania, diam-diam mengamati Jamal. Mendapati Jamal yang tampak tenang, seolah-olah tidak terfokus dengan perkataan itu, rona merah di wajah Hania baru memudar. Nenek Laksmita menyendokkan semangkuk besar daging ayam hingga mangkuk hampir terisi penuh, baru berhenti dan meletakkannya di depan Hania. "Nenek Laksmita, ini terlalu banyak. Lebih baik buat porsi Nenek dan Kakek saja," jelas Hania dengan nada sungkan. "Aku dan kakek Leno nggak suka makan ayam." "Kalau begitu, buat Jamal ..." "Dia juga nggak suka," potong Nenek. Gerakan Jamal mengambil lauk pun mendadak terhenti. Setelah berpikir keras, Jamal juga tidak ingat kapan terakhir kali dia bilang ke Nenek bahwa dirinya tidak suka makan ayam. Melihat perhatian kedua orang tua itu tertuju pada Hania, bahkan melupakannya sebagai cucu kesayangan, hati Jamal pun dongkol. Mangkuk Jamal tampak kosong melompong, sementara mangkuk Hania sudah menumpuk tinggi bagaikan bukit. Merasa tidak enak kalau menolak kebaikan kedua orang tua itu, Hania tampak begitu lahap memakannya sampai habis. Nenek Laksmita makin terlihat puas, bahkan sesekali bertanya apa Hania sudah cukup kenyang dan berlomba-lomba menyuapinya. Melihat Nenek Laksmita begitu sibuk melayaninya, Hania tak bisa menahan diri untuk tak teringat pada nenek kandungnya yang sudah meninggal. Selain sang nenek, belum pernah ada yang memperlakukan Hania sebaik ini, bahkan sekadar peduli apakah dirinya sudah kenyang atau belum. Tanpa sadar, mata Hania mulai berkaca-kaca. "Hania, kenapa? Apa Nenek salah bicara?" Nenek Laksmita sangat peka karena langsung menyadari adanya perubahan emosi pada Hania. "Nggak, kok. Karena lihat Nenek saja, aku teringat pada nenekku." Hania berusaha menahan emosinya, lalu kembali tersenyum. Nenek Laksmita mengerti maksud dari perkataan itu, sehingga dia mengelus lembut punggung Hania seraya menghibur, "Nanti, anggap saja Nenek sebagai nenek kandungmu sendiri, ya?" "Baiklah." Hania sangat senang. Tiba-tiba, terdengar suara "Tak!" . Ternyata, Jamal meletakkan alat makannya di atas meja. "Aku sudah kenyang! Kakek Leno, Nenek Laksmita, kalian boleh lanjutkan makannya!" Wajahnya tiba-tiba menjadi dingin usai merasa Hania berlebihan, bahkan sengaja berpura-pura lemah di depan Kakek dan Nenek. Sayangnya, taktik ini benar-benar berhasil pada sang kakek dan neneknya. Keduanya pun dirayu Hania sampai terperangkap dalam situasi ini. Jamal sungguh tidak tahan lagi, sehingga dia bangkit dan pergi. Hania juga bisa merasa dengan jelas, Jamal bertindak aneh dalam beberapa waktu terakhir. Sepertinya, dia punya asumsi soal pria itu. "Anak ini, kenapa bersikap nggak sopan, sih? Hania, jangan kamu pikirkan, ya. Nggak biasanya dia bersikap begini, entah kenapa angin kencangnya merepotkan hari ini." Nenek Laksmita bicara dengan lugas, terus saja menyuruh Hania untuk makan. Seusainya makan, Hania ingin ambil alih untuk mencuci piring, tetapi dicegah Nenek Laksmita. "Hania, di rumah kita, nggak ada aturan bahwa wanita diharuskan memenuhi pekerjaan rumah. Asap minyak di dapur juga nggak baik untuk kulit wanita." Sambil berkata begitu, Nenek Laksmita menoleh ke arah Kakek Leno dan memberi titah, "Kakek, pergilah dan bersihkan dapur. Aku ingin bicara empat mata dengan Hania." Hania ingin membantu, tetapi tidak bisa menahan ketegasan dua orang tua yang enggan membiarkannya untuk ikut campur, sehingga dia hanya bisa menyerah. Nenek Laksmita membawa Hania ke kamar, kemudian berbincang hangat mengenai banyak hal dengannya. Bahkan, Nenek pun menceritakan kisah-kisah lucu tentang Jamal saat kecil. Saat mengobrol, Hania memperhatikan kerusakan pada pinggang kebaya Nenek Laksmita, sehingga dia menawarkan diri untuk menjahitkan. Mendengar tawaran tersebut, Nenek Laksmita sempat agak ragu. Akhirnya, Nenek pun mengganti pakaiannya. Dengan tangan yang terampil, Hania segera memperbaiki robekan itu dan mengembalikan kebaya yang sudah rapi kembali. Nenek Laksmita mengambil kebaya itu, lalu pergi ke jendela untuk melihatnya lagi dan lagi. Wajahnya perlahan-lahan memancarkan kebahagiaan. "Kebaya ini, hadiah pertama dari Kakek Leno buatku. Memang nggak mahal, tapi ini kesukaanku. Setelah rusak, aku takut nggak ada toko yang berhasil mengembalikannya ke bentuk semula. Jadi, aku nggak berani membawa untuk diperbaiki. Siapa sangka, Nak, ternyata kamu semahir ini. Jahitanmu sungguh samar, lho!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.