Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 12

Saat Jamal keluar kamar, isi mangkuk mi Hania hampir habis. Ketika melihatnya keluar, Hania segera memanggilnya. "Pak Jamal, ayo, makan dulu." Jamal duduk di seberangnya, lalu mengamati mi dalam mangkuk keramik itu. Irisan telur berserakan di atas mi, tomat lengkap dengan kulitnya, ditambah mi yang sedikit menggumpal, terlihat kering total. Di samping mangkuknya, ada sebuah botol saus dengan kemasan yang sangat sederhana. Hania sedang menggunakan alat makan untuk mengambil sedikit saus dan mencampurnya dengan mi. "Makanan yang lain? Kenapa nggak disajikan?" Mata Jamal menjelajahi seluruh meja makan, coba untuk mencari makanan lain yang bisa membangkitkan selera makannya. Biasanya, sarapan Jamal disajikan minimal sembilan lauk dan satu sup. Meskipun Hania dari keluarga biasa-biasa saja, setidaknya akan ada tiga atau empat lauk saat sarapan, 'kan? Akan tetapi, selain dua mangkuk mi dan sebotol saus, tidak tersaji apa-apa di atas meja. Hania menelan makanan di mulut, matanya terarah pada mangkuk Jamal. "Kenapa, punyamu kurang? Waktu aku masak mi, aku nggak tahu porsi makanmu sebanyak apa. Aku sengaja tambahkan setengah mangkuk lagi dari porsi makanku yang biasanya waktu kecil. Kalau dirasa masih kurang, mungkin bisa kumasakkan lagi buatmu?" Jamal terdiam. Benar-benar tidak sejalur. Jamal merasa ada jurang pemisah antara dia dan wanita ini. Lewat reaksinya, dia juga mengerti bahwa sarapannya hanya itu. Padahal, Jamal sudah memberinya uang belanja satu juta rupiah, tetapi sarapannya hanya mi kosongan. Ternyata, hal ini sesuai dengan informasi yang didapat Chiko. Wanita matre, serakah tanpa batas, bahkan keuntungan kecil pun tidak dilewatkan. Dia memasang wajah dingin dan meraih alat makannya, kemudian sedikit mengaduk-aduk mi dalam mangkuk miliknya. "Nggak usah." "Kalau begitu, cepat dimakan. Nanti keburu menggumpal." Hania tetap menunduk dan makan, tidak memperhatikan ekspresi wajah Jamal yang muram. Sang wanita sudah terbiasa hidup hemat. Inilah standar sarapan Hania sehari-hari. Mengenai uang yang diberikan Jamal, dia akan bantu menyimpan sementara kalau tidak dipakai sampai habis agar tidak boros. Jadi, dia tidak perlu pinjam uang orang lain kalau ada apa-apa. Setelah puas makan, Hania melihat porsi mi Jamal masih penuh semangkuk, tampak sudah lembek sampai kuahnya tak terlihat. "Kamu nggak suka makan mi?" tanya Hania penasaran. "Sekarang lagi nggak lapar." Jamal menaruh alat makannya, tidak mampu memaksakan dirinya untuk mencicipi. Melihatnya seperti itu, Hania tiba-tiba ingat kejadian semalam. Pria ini pelit. Berkat langsung tidur di kamar semalam, Jamal jadi kesal dan sengaja menolak untuk makan mi buatan Hania. "Pak Jamal, katamu, ada urusan dengan aku kemarin malam. Ini kenapa, ya?" Jamal tampak ragu-ragu, tetapi dia memilih untuk bicara, "Kakek dan Nenekku tahu kalau kita sudah menikah. Jadi, mereka ingin ketemu kamu." Belum sempat Hania menjawab, Jamal buru-buru menambahkan, "Aku sudah membuat janjinya hari Sabtu." Nada bicaranya terasa tenang dan percaya diri, layaknya atasan yang memberi perintah pada bawahan, sulit diganggu gugat. Hania, yang kebetulan libur di akhir pekan, mengangguk setuju. "Oke, Sabtu saja." Selesai mengiakan, Hania membawa mangkuk ke dapur. Suara air mengalir terdengar dari dapur. Dalam waktu dua menit, dia sudah selesai mencuci piring. "Pak Jamal, aku buru-buru mau berangkat kerja. Nanti, piringnya kamu cuci sendiri, lalu masukkan ke disinfektan." Sembari bicara, dia segera mengambil tas dan memakai sepatu. Sebelum benar-benar pergi, Hania teringat sesuatu dan berbalik. "Oh, ya. Malam ini, aku pulang agak malam!" serunya. Setelah pintu tertutup, wajah Jamal terlihat makin suram. Wanita ini terlihat jujur, tetapi kehidupan malamnya begitu ramai. Sosoknya tidak pernah pulang sebelum larut malam. Kalau bukan karena Nenek, Jamal benar-benar tidak ingin tinggal satu atap dengan orang seperti ini sedetik pun! Beberapa hari ini, Hania selalu pulang tepat pukul 12 malam. Jamal pun sulit untuk tidur nyenyak. Begitu dengar suara pintu terbuka, dia refleks terbangun, tetapi tak pernah keluar untuk melihatnya. Dia tidak ingin membebani pikiran karena Hania, bahkan dia bisa menebak, mungkin saja wanita ini pulang usai mabuk tiap malam. Setiap kali mendengar suara dari luar, dia selalu mengerutkan dahi seraya membatin, 'Sabar, sedikit lagi. Setelah Kakek bertemu dia, pasti mudah untuk cerai dengannya!' Tibalah hari Sabtu, Jamal sudah mendatangi kamar Hania waktu pagi-pagi sekali. Dia mengetuk pintu untuk mengingatkan pertemuan mereka dengan Kakek dan Nenek. Akhirnya, Hania bisa tidur nyenyak. Dia ingin menebus kurangnya jadwal tidur seminggu ini. Namun, dia langsung bangkit dari tempat tidur usai mendengar pengingat dari Jamal. Pertemuan pertama dengan keluarga, Hania enggan berpakaian terlalu lusuh. Jadi, dia membuka lemari dan mulai mencari-cari. Biasanya, Hania enggan membeli pakaian mahal. Pada dasarnya, semua dibeli dari aplikasi belanja online. Hari itu, dia hanya bawa empat setel pakaian ketika diusir sang ibu. Karena tidak ada yng memuaskan usai dicari-cari, Hania hanya bisa memilih satu setel yang penampilannya tidak begitu lusuh. Usai berbenah dan keluar, Jamal mengamati pakaian Hania. Sorot matanya tampak gelap dan tidak jelas. Pergi menemui Kakek dan Nenek, tetapi mengenakan baju bekas. Harga diri saja serasa tidak ada. Hania merasakan penilaian Jamal, sehingga dia menunduk untuk melihat pakaiannya. Terdengar agak rendah diri saat dia bertanya, "Apakah berpakaian seperti ini nggak terlalu buruk? Haruskah ..." "Sudah cukup bagus!" potong Jamal, membiarkan kalimat 'Aku akan pergi beli pakaian baru sekarang' tertinggal tanpa sempat diucap Hania. Tentu Jamal tidak keberatan, bahkan berharap Kakek dan Nenek bisa membenci wanita ini. Setiap hari, Hania sudah lelah fisik dan mental. Tentu dia tidak terpikirkan membeli pakaian baru. Jadi, dia juga merasa lega usai mendengar perkataan itu. "Kalau begitu, kita pergi." Atas perintah Jamal, Xena sudah lebih dulu memarkirkan mobil di garasi bawah tanah. Mobil itu dibeli untuk pergi ke rumah besar. Jamal sangat puas kala melihat mobil itu. Huruf di logo VW sudah dicopot oleh Xena. 'Nggak buruk, memang cepat tanggap.' Ketika memanggil Hania untuk naik mobil, dia melihat mobil itu berulang kali dan bertanya kepada Jamal. "Pak Jamal, apa ini mobilmu? Kamu beli mobil baru?" Hania ingat betul, dia mengendarai mobil Toyota Avanza. Mendengar pertanyaannya, sudut mulut Jamal terlihat agak naik, berusaha menyembunyikan niat menghinanya. Wanita ini terlihat polos, tidak terlalu mengamati hal-hal materi ini. Namun, kebingungan yang tercetak tampak palsu karena pikirannya jelas-jelas langsung tertuju pada mobil. Saat memperoleh izin, dia mengendarai Bugatti. Sekarang, mobil Jamal berupa VW bekas, pasti wanita ini sangat kecewa dan tidak menyukainya. 'Bagus sekali. Tipu-muslihatnya akan terbongkar sebentar lagi.' "Ya, mobilku." Tampak masih belum cukup, Jamal menambah kalimat, "Disewa." Hania mengerti. Tampaknya, dia adalah anak yang berbakti. Takut orang tuanya khawatir dia hidup susah di luar, dia pun menyewa mobil yang layak. Hania duduk, lalu mengencangkan sabuk pengaman. Mobil perlahan melaju keluar kompleks perumahan. Melewati sebuah supermarket kecil, Hania pun menyuruhnya berhenti. Jamal menyaksikan Hania turun dari mobil sebelum berlari ke arah supermarket, benar-benar membingungkan. Sepuluh menit kemudian, Hania membawa sekotak susu, seikat buah, sereal, dan sekantong daging sapi segar. Jamal melihat daging mentah di kantong plastik merah, menahan napas dan bertanya, "Buat apa beli ini?" "Pertama kali bertemu keluargamu, nggak mungkin datang dengan tangan kosong. Waktunya nggak cukup, makanya cuma bisa menyiapkan ini." Hania berkata dengan tulus. Usai berkeliling supermarket, Hania juga tidak tahu harus membeli apa untuk Kakek dan Nenek. Jadi, dia mengikuti standar kerabat yang biasa mengunjungi sang nenek, pasti tidak akan salah. Bau amis langsung memenuhi mobil. Jamal menurunkan jendela mobil, lalu menoleh tak nyaman ke arah lain. "Aku sudah siapkan cukup banyak oleh-oleh di bagasi belakang, kamu nggak perlu repot-repot." "Itu berbeda. Oleh-oleh yang kamu beli adalah kehendakmu." Tampak menyadari yang aneh, Hania bergegas mengikat kantong plastik merahnya agar bau amis tidak menyebar. Jamal tidak menasihatinya lagi, terus mengemudi saja. Dia yakin, Kakek dan Nenek tidak akan suka dengan ini, justru akan membuatnya makin benci, sesuai yang Jamal inginkan.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.