Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Sepulangnya ke rumah, Calvin selesai mandi dalam waktu menit dan masuk ke kamar. Alih-alih langsung tidur, Calvin ingin mengerjakan satu paket soal mata pelajaran sains lagi. Kehidupan siswa kelas 12 SMA sungguh sulit. Calvin yang di kehidupan sebelumnya tidaklah disiplin. Setelah pulang ke rumah, dia selalu diam-diam membaca novel di balik selimut. Sementara itu, Calvin yang hidup kembali sangat aktif dan berinisiatif untuk belajar. Faktanya, dengan menuntut ilmu, kita bisa mendapatkan umpan balik positif. Selama berusaha, pasti ada hasilnya. Tidak seperti di dunia orang dewasa. Tidak berusaha pasti tidak akan menuai hasil, tetapi sudah berusaha belum tentu bisa menuai hasil. Dunia itu sadis, tetapi nyata. Di saat Calvin baru selesai mengerjakan separuh soal, Sherline masuk ke kamar untuk membawakan sup tremella. Sherline juga menaruh uang 40 ribu di meja sebagai uang jajan Calvin besok. Pelepasan dana sebesar delapan triliun oleh Bank Sentral belum sepenuhnya berefek. Harga barang tidak terlalu tinggi. Satu porsi makanan dengan satu jenis daging dan dua jenis sayuran di kantin sekolah dijual seharga delapan ribu. Paha ayam pun seharga empat ribu. Uang 40 ribu yang Sherline berikan setiap hari sangat mencukupi. Keluarga Calvin tidak miskin, tetapi juga tidak kaya. Orang tuanya hanyalah pekerja biasa. Herman bekerja di pabrik baja dan sering kali lembur di malam hari, sangat melelahkan. Sementara itu, Sherline bekerja sebagai guru musik di SMP. Mereka berhemat dalam sehari-hari, tetapi tidak pernah berhemat terhadap kebutuhan Calvin. Mereka bahkan selalu memberikan yang terbaik bagi Calvin semampu mereka. Begitulah orang tua di Indonesia. Mereka tidak pandai mengungkapkan perasaan mereka seperti orang barat. Mereka cenderung menyembunyikan cinta terhadap anak mereka dalam berbagai aspek dalam kehidupan. Selesai mengerjakan soal, Calvin langsung berbaring di ranjang dan tidur. Tubuh Calvin berumur 18 tahun, sehat dalam segala aspek. Tidak mungkin insomnia. Rasanya baru memejamkan mata, alarm berbunyi. Sudah jam setengah tujuh esok pagi. Calvin bangun, buru-buru pakai baju dan mandi, mengambil uang jajan 40 ribu yang diberikan oleh ibu, lalu berangkat ke sekolah. Calvin tidak langsung pergi ke sekolah, melainkan pergi ke rumah Feryanto. Keluarga Feryanto membuka bisnis kedai sarapan. Roti buatan ayah Feryanto tipis dengan isi yang banyak dan berair, sangat lezat. Benar, Calvin datang untuk nebeng makan sarapan. Pada kenyataannya, Calvin tidak pernah menghabiskan uang untuk membeli sarapan selama tiga tahun di bangku SMA. Dia menghemat uang untuk menyenangkan Wanika. Calvin segera tiba di kedai sarapan. Di tengah kesibukan mereka, orang tua Feryanto menyapa Calvin dengan antusias, lalu menunjuk sebuah meja di pojok. Feryanto sedang duduk di sana dan makan mie. Di samping, ada sepiring roti kukus, semangkuk bubur, dan sepiring asinan sayur. Semua itu disiapkan untuk Calvin. Orang tua Feryanto tidak berpendidikan tinggi. Mereka memiliki sifat pelit seperti pedagang asongan pada umumnya, tetapi mereka sangat baik terhadap Calvin. Terutama ayah Feryanto. Dia sering mengatakan Calvin adalah anak kedua mereka. Calvin duduk di sebelah Feryanto. Melihat temannya yang makan mie dengan lahap, Calvin teringat akan pengalaman hidup Feryanto dalam belasan tahun ke depan. Di kehidupan sebelumnya, Feryanto mendapat nilai yang lebih tinggi dari Calvin dan bersekolah di salah satu dari 100 universitas terbesar di ibu kota provinsi. Setelah lulus, Feryanto tidak lanjut ke jenjang pasca-sarjana, melainkan menjadi tukang baja di pabrik pembuatan baja. Mengenai industri baja, semuanya paham. Setelah sepuluh tahun, terjadi kelebihan hasil produksi yang serius. Feri bergabung dengan pemerintahan pada tahun 1949. Hanya beberapa tahun, industri baja sudah hancur. Kemudian, Feri mengganti banyak pekerjaan, bahkan hampir tertipu untuk terlibat dalam skema piramida. Pernikahan Feri juga tidak bahagia. Dia sering bertengkar dengan istrinya yang berandal itu. Feri sudah mulai punya uban sebelum umurnya mencapai 30 tahun. Akan tetapi, Feri sangat keras kepala. Dia enggan menerima bantuan dalam bentuk apa pun dari Calvin yang sudah menjadi triliuner di kehidupan sebelumnya. "Calvin, kita tumbuh dewasa bersama-sama dan kamu adalah satu-satunya temanku. Kamu bisa membantuku, tapi kalau aku terima, pertemanan kita akan berubah." Feryanto berkata demikian kala itu. Feryanto tetap adalah pemuda yang bodoh dan lugu itu. "Calvin, ada apa di wajahku?" Feryanto menjadi canggung karena ditatapi oleh Calvin. Calvin makan roti sambil berujar, "Feri, kalau kamu pacaran nanti, harus konsultasikan denganku dulu." "Calvin, congkak sekali kamu. Konsultasikan denganmu? Memangnya kamu ayahku?" "Nggak juga, paling ayah angkat." "Aku kakakmu!" "Nggak usah disamakan. Aku panggil aku kakak, kamu panggil aku ayah angkat. Nggak bentrok." Feryanto tidak bisa berkata-kata. Setelah terdiam beberapa detik, Feryanto berkata dengan serius, "Calvin, soal pacaran, aku nggak pikirkan sejauh itu. Lihatlah aku. Nilaiku nggak terlalu tinggi. Aku nggak setampan kamu. Keluargaku juga biasa-biasa saja. Mana ada cewek yang bisa menyukaiku? Jangankan Putri Berlina dan Putri Wanika, Wenda pun nggak akan hiraukan aku." Calvin terkejut. Kak Feri punya pemikiran yang jernih! Lalu, mengapa Kak Feri bisa terkecoh waktu itu? "Feri, kamu sadar diri. Ayah Angkat benar-benar senang." "Bau sekali mulutmu. Kamu nggak bisa hibur aku?" "Baiklah ...." Calvin tertawa. "Kak Feri, kamu bisa saja punya nilai, pekerjaan, dan penampilanmu yang biasa-biasa saja. Kamu juga bisa nggak pintar, nggak unggul, dan nggak punya ambisi. Tapi ...." Calvin memberi jeda. Feryanto menatap lurus pada Calvin. Menurutnya, Calvin pasti akan memotivasinya. Feryanto siap mendengarkan motivasi dari Calvin. Alhasil, Calvin menunjuk dirinya dengan ekspresi serius. "Tapi ... aku nggak bisa." Feryanto menjadi jengkel. "Calvin, berengsek kamu!" ... Begitu sesi belajar mandiri pagi hari dimulai, wali kelas, Lydia Huston memasuki kelas dengan ekspresi tegas. Lydia berumur 40-an tahun dan berpakaian konvensional. Tatapan matanya sangat tajam. Calvin yang sudah hidup dua kali bahkan agak gugup pada saat ini .... Ada rasa takut yang sudah terukir dalam DNA. Selain menjadi wali kelas 12F, Lydia juga menjabat sebagai wakil pimpinan kelas 12 dan ketua tim bimbingan belajar bahasa Indonesia. Dia sangat berwibawa di semua kelas. Seiring Lydia berjalan ke depan kelas, suasana menjadi hening. Lydia tidak langsung berbicara. Tatapan matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan kelas. Semua murid duduk tegak. Calvin yang sekarang tentu tahu itu adalah metode Lydia untuk mengelola kelas. Lebih tepatnya, itu adalah "tes kepatuhan"? Sebagai wali kelas kelas 12, Lydia tidak perlu berteman dengan siswa, melainkan membuat siswa menghormatinya. "Dengarkan baik-baik ...." Lydia berkata dengan kalem. "Jumat dan Sabtu ini, ada ujian percobaan ketiga, ujian terpadu terakhir di seluruh kota sebelum siswa-siswi mengikuti Ujian Nasional .... Kalian harus sungguh-sungguh ...." Seolah-olah ada awan gelap yang menaungi ruangan kelas. Selain murid genius yang selalu mendapat nilai tinggi, siswa mana yang tidak takut pada ujian? Kelas 12F adalah kelas unggulan, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan kelas percobaan seperti kelas 12A dan 12B. Oleh karena itu, tidak ada murid genius di kelas 12F. Feryanto gelisah sekali. Dia terus menggerakkan pantat di kursinya. Kebiasaan buruk Feryanto dari kecil adalah menggerakkan pantat ketika gugup. Untungnya, orang-orang di era sekarang polos. Di era modern, Feryanto pasti akan dikira bengkok. "Calvin, mau ujian lagi. Kenapa aku punya firasat buruk? Rasanya akan dapat nilai rendah kali ini ...." Feryanto bergumam setelah Lydia meninggalkan ruangan kelas. "Nggak apa-apa, itu bukan Ujian Nasional. Buat apa kamu panik?" "Kamu nggak panik? Nilaimu bahkan lebih rendah dariku!" "Itu dulu .... Kurasa aku sudah mendapat pencerahan, jadi hebat sekarang." "Omong kosong saja." Feryanto memutar mata. "Mau taruhan nggak nilai siapa yang lebih tinggi?" "Ayo. Yang menang jadi ayah angkat." "Aduh, aku nggak enak hati. Belum pernah pacaran sudah punya anak sebesar ini." Feryanto sangat percaya diri. Feryanto yang malang belum menyadari bahwa Calvin sudah berubah. Feryanto sangat percaya diri saat ini. ... Sesi pelajaran terakhir di pagi hari adalah olahraga. Calvin pergi ke kantin beberapa menit lebih awal. Ditemani oleh Feryanto. Selama tiga tahun di bangku SMA, mereka selalu menjadi teman makan. "Anakku, ambilkan tiga porsi makan." Calvin menyodorkan 40 ribu yang telah diberikan oleh ibunya kepada Feryanto. Tidak ada soal traktir-mentraktir di antara mereka. Uang jajan mereka adalah milik bersama. Sejatinya, Calvin telah mengambil banyak keuntungan dari Feryanto. Di kehidupan sebelumnya, Calvin telah menghabiskan sebagian besar uang jajannya untuk Wanika. "Sembarangan panggil!" Feryanto memutar mata. Dia mengambil uang itu dan pergi mengambil makanan. Begitu Feryanto pergi, seorang pemuda yang jangkung, energik, dan tampan duduk di sebelah Calvin. Calvin mengernyit. "Eh, sobat, sudah ada orang." Pemuda energik itu juga mengernyit. "Sobat? Kamu nggak kenal aku?" Calvin tertawa geli. "Kamu bukan uang, buat apa aku harus kenal kamu?" Pemuda energik itu tersenyum dingin, "Calvin, nggak usah pura-pura. Pertama, sudah tiga tahun kita sekelas. Kedua, aku menjadi ketua kelas selama tiga tahun berturut-turut, juga menjadi murid teladan selama tiga periode. Aku begitu populer di sekolah ini. Mana mungkin kamu nggak kenal aku?" Akhirnya Calvin ingat. Ternyata dia. Pemuda itu bernama Ray Jonathan. Ray juga merupakan penggemar setia Wanika. Mereka sama-sama adalah anjing penjilat, tetapi perlakuan mereka berbeda. Meskipun Calvin menjadi anjing penjilat, Wanika akan membahagiakannya sesekali untuk menciptakan umpan balik positif. Mungkin karena terlalu banyak menonton drama cinta, Ray menjadi tipe pria penyayang. "Mencintai seseorang berarti harus membahagiakannya, walau orang yang membahagiakannya bukan aku." Itulah slogan cinta Ray. Dia jelas adalah budak cinta. Calvin melirik Ray sekilas. "Ada apa?" "Calvin, melalui koneksiku, aku tahu kamu membuat Ika marah ...." Ray mengangkat alis. "Beri aku muka dan pergi minta maaf dengan Ika." Lalu, Ray mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dalam saku dan menepukkannya ke meja. Calvin tertawa karena sikap sombong "Ray Penyayang". Ada anak SMA yang memang suka berlagak seperti orang dewasa. Hanya saja, malah jadi aneh. "Kamu ... apa yang kamu tertawakan?" "Tentu saja kamu." Calvin memutar mata. "Hubunganku dengan Wanika bukan urusanmu." "Kamu ...." Wajah Ray menjadi masam. Pada saat ini, Feryanto kembali. Calvin melambaikan tangan dengan jengkel. "Minggir sana. Kalau nggak, aku suruh Feri gigit kamu." Feryanto jangkung dan kekar. Senyuman Feryanto terkesan lugu, tetapi saat tidak tersenyum, Feryanto adalah pria jantan yang berwibawa. "Cih! Ya sudah." Ray buru-buru kabur, bahkan lupa mengambil uang seratus ribu di meja. Ray jelas hanya berpura-pura galak, tetapi hatinya kecut. Tentu saja, Ray tidak berpikir begitu. Menurut Ray, dia tidak boleh kehilangan martabat sebagai ketua kelas dan murid teladan selama tiga periode untuk bertikai dengan anak berandal seperti Calvin. "Calvin, apa maksudmu suruh aku gigit Ray si munafik itu? Kamu anggap aku anjing?" Feryanto sangat jengkel. Calvin mengambil uang seratus ribu di meja itu. "Kak Feri, kalau aku bilang kita bagi setengah uang ini, bagaimana menurutmu?" Feryanto terdiam selama dua detik, lalu berseru, "Guk, guk." Calvin tertawa. Satunya "Ray Penyayang", satunya lagi "Feri Anjing". Kalian jadi pasangan saja. ... Wanita cantik akan menciptakan kehebohan ke mana pun dia pergi. Begitu Berlina muncul di depan kantin, seluruh kantin menjadi heboh. Fiuh .... Semua orang menoleh pada Berlina. Sama seperti murid lain, Berlina juga memakai seragam putih abu-abu. Rambut yang hitam dan panjang diikat di belakang kepala. Volume dan kondisi rambutnya sungguh membuat orang iri. Sebagian besar murid tidak memakai seragam dengan rapi. Ada yang panjang, ada yang pendek. Akan tetapi, seragam itu sangat rapi di tubuh Berlina. Kecantikan Berlina tidak dapat dibicarakan lagi. Wajahnya menawan, serta memiliki mata yang ramping dan cerah. Dia cantik bagaikan bunga. Biasanya, Berlina tidak makan di kantin. Pembantu keluarga Berlina akan mengantarkan makanan yang telah disiapkan ke sekolah. Orang lain makin mengira Berlina angkuh dan tidak bisa berbaur. Pada kenyataannya, Berlina ingin makan di kantin dari dulu, tetapi tidak berani. Murid SMA selalu pergi ke kantin bersama satu atau banyak teman. Terutama murid asrama, biasanya pergi bersama seluruh teman sekamar. Masalahnya, Berlina tidak punya teman. Sampai akhirnya berkenalan dengan Calvin, temannya yang bisa berbicara panjang lebar. "Astaga! Kenapa Putri Berlina bisa makan di kantin? "Ini berita besar ...." "Nggak tahu siapa yang beruntung bisa semeja dengannya." Di tengah komentar itu, siswa-siswa memusatkan perhatian pada Berlina. Ketika mata Berlina yang ramping menyapu ke arah mereka, mereka langsung menundukkan kepala. Ada beberapa siswa yang wajahnya merah seketika. Inilah Putri Berlina. Meskipun tidak disengajakan, kecantikannya sangat berbahaya. "Sini ...." Calvin beranjak dari kursinya dan melambai pada Berlina. Berlina yang membuat orang-orang terpukau malah sangat gugup karena baru pertama kali masuk ke kantin. Berlina memasang wajah datar, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Sampai ketika melihat Calvin melambai padanya, hati Berlina yang tegang menjadi lega. Berlina berjalan menuju Calvin. Muncul ekspresi di wajah cantik yang dingin itu. Senyuman lembut dan memukau tersungging di bibirnya. Apa tidak salah lihat? Putri Berlina yang tidak pernah tersenyum selama tiga tahun ini sedang senyum? Adegan itu mengacaukan hati semua pemuda di kantin, seperti angin musim semi yang membuat orang galau. Senyuman itu sungguh memesona.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.