Bab 8
Saat makan malam, Teresa melayani Arvin. Setelah itu, Arvin pergi ke ruang kerja bersama Irvan Kintan dan Illias Kintan. Sebelum mereka masuk, Teresa berpesan untuk tidak boleh lewat dari jam sembilan. Jika tidak, dia akan menerobos masuk.
Begitu pintu ruang kerja ditutup, ponsel yang Teresa pegang bergetar. Tatapan matanya menjadi dingin setelah melirik layar ponsel.
Teresa menjawab telepon dan berkata dengan suara dingin, "Halo."
"Cepat pulang!" perintah Karen Yuni sambil menahan emosi di telepon. Mata Teresa menjadi suram.
Teresa menutup telepon dan pergi ke lantai bawah.
Begitu melihat Teresa, Budi maju dengan hormat. "Nyonya Muda mau keluar?"
"Iya."
Teresa mengiakan sambil mengangguk. Dia melirik arlojinya. "Setengah jam lagi, suruh orang bawakan segelas air madu untuk Arvin."
Hati Teresa sedih ketika mengatakan kalimat itu.
Meski hubungannya dengan Arvin di kehidupan sebelumnya begitu kacau, dia masih mengingat begitu banyak kebiasaan Arvin. Sementara itu, Arvin sangat mencintainya. Betapa sedihnya Arvin saat melihatnya pergi?
"Baik." Budi mengangguk dengan hormat. Saat mendengar Teresa memberi perintah dengan suara lembut, dia justru teringat akan adegan di mana Teresa menampar Mela!
Teresa langsung mengemudikan mobil menuju rumah Keluarga Wisra.
Pelayan bernama Bibi Sinta membukakan pintu. Begitu melihat Teresa, matanya penuh rasa sinis dan ejekan, serta ... gembira. Seolah-olah Teresa akan ditimpa kemalangan.
Di ambang pintu, Teresa sudah mendengar tangisan Mela dari ruang tamu. Karen sedang menghiburnya dengan suara yang lembut, "Sudah, sudah, Ibu pasti akan tegur dia."
"Ibu, jangan. Mungkin ada salah paham antara kami, akan kujelaskan nanti. Ibu jangan marahi Sasa."
Teresa tidak bisa berkata-kata.
Mela bersandiwara lagi. Sudah ditampar berkali-kali masih belum jera?
Omongan Mela membuat Karen makin sedih. "Anak bodoh, Teresa sudah tampar kamu, tapi kamu masih bela dia?"
Karen sangat emosi ketika mendengar Mela masih membela Teresa.
Tubuh Teresa menjadi dingin setelah mendengarnya.
Di kehidupan sebelumnya, dia juga berpikir Teresa benar-benar membelanya dengan berkata demikian.
Teresa sama sekali tidak tahu bahwa omongan Mela terkadang akan secara tidak langsung memicu pikiran Karen yang sensitif.
Semua keburukan akan jatuh pada Teresa, sedangkan Mela bisa membangun reputasi baik.
Jika dipikir-pikir, Mela si anak pelakor itu benar-benar hebat sampai bisa merayu Karen sampai tidak menyayangi putri kandungnya.
Bibi Sinta menutup pintu dan berjalan ke dalam. Melihat Teresa berdiri di ambang pintu, dia mengira Teresa tidak berani masuk sehingga nadanya makin sarkas. "Nona Teresa, ayo masuk."
Teresa menoleh ke belakang dan memelototinya.
Tubuh Bibi Sinta bergidik karena tatapan yang tegas itu.
Mendengar suara itu, Karen yang sedang menghibur Mela menoleh ke arah pintu. Wajah Teresa yang masam membuatnya makin marah.
"Masuk sini."
Saat bertemu empat mata, Teresa mendengus untuk mengejek Karen.
Melihat sikap Teresa seperti itu, Karen yang emosi langsung maju dan ingin menamparnya.
Saking kuat, Karen tersungkur ke lantai setelah Teresa menghindar.
Karen yang marah makin emosi. "Anak kurang ajar, kamu mau memberontak?"
Bibi Sinta maju dan membantu Karen berdiri.
Karen marah dan ingin menampar Teresa lagi, tetapi kalah cepat dengan Teresa. Sesaat kemudian, Karen terengah-engah karena lelah.
"Ka, kamu ...."
Karen menunjuk Teresa dengan marah.
Mata Teresa penuh ejekan. Melihat Karen ingin menegakkan keadilan untuk Mela, Teresa tiba-tiba tertawa.
"Apa yang kamu tertawakan?"
Melihat Teresa malah tertawa, Karen benar-benar ingin merobek wajahnya.
Teresa menyeringai. "Nyonya Karen sungguh adalah orang yang paling lapang dada di dunia ini. Hanya kamu yang begitu membela anak haram dari pelakor."
Diko Wisra baru pulang dari perjalanan bisnis selama tiga hari. Begitu masuk ke rumah dan mendengar omongan Teresa, kemarahannya nyaris tak tertahankan.
Pandangan Karen menghitam saking marah.
Mela beranjak dari sofa. Wajahnya memucat ketika mendengar kata "anak pelakor". Dia mengamati ekspresi Karen dengan waswas.
Melihat tidak ada perubahan ekspresi pada Karen, dia pun lega!
Mela menoleh pada Teresa dengan sedih. "Sasa, kalau ada salah paham di antara kita, kita bisa jelaskan baik-baik. Mana bisa kamu bicara begitu dengan Ibu?"
Nada bicara Mela yang sedih membuat Karen sangat mengasihinya. "Mela, jangan dengarkan omong kosongnya."
"Ibu, hiks."
Mela langsung menangis.
Diko melihat situasi yang kacau itu.
Saat ditelepon, Diko tidak percaya Teresa telah menampar Mela. Meski Teresa pembangkang, Teresa sangat patuh pada Mela.
Sekarang, semuanya sudah terbukti.
Mela berlinang air mata ketika melihat Diko. "Ayah."
Diko makin mengasihani Mela.
Tatapannya menjadi suram saat menoleh pada Teresa. "Kamu makin kurang ajar. Beraninya kamu tampar kakakmu?"
Karen membentak, "Cepat minta maaf dengan kakakmu!"
Teresa tersenyum seraya menatap sekeluarga yang harmonis itu. Orang lain mungkin akan mengira dia adalah anak haram dari pelakor.
Teresa tidak lagi panik seperti dulu, melainkan bersikap santai. "Kalau aku nggak mau?"
Sikap Teresa membuat Karen lebih marah lagi. "Sampai kapan kamu mau bikin masalah? Kenapa aku bisa melahirkan anak sepertimu?"
Tatapan mata Teresa sedingin es!
Terbersit kegirangan di mata Mela. Dia memegang tangan Karen dan membujuknya, "Ibu, jangan begini dengan Sasa."
"Mela, kamu terlalu baik." Tatapan mata Karen saat melihat Teresa penuh kejengkelan, bahkan terbersit sedikit kebencian.
Awalnya, dia bisa memiliki seorang anak laki-laki. Semuanya ini salah Teresa. Teresa bahkan begitu bandel ketika masih di kandungannya.
Karen mengentakkan tangan Mela dan mengambil buku di samping dan menghantamkannya ke arah Teresa. Mela pun jatuh ke sandaran tangan sofa kayu.
Bam!
Teresa tidak sempat menghindari aksi Karen yang begitu cepat. Darah mengalir deras dari dahinya. Akan tetapi, Karen malah menoleh pada Mela.
Karen panik saat melihat benjolan di dahi Mela. "Ah, Mela! Ibu nggak sengaja."
Diko juga maju ke depan.
Teresa diam di tempat sembari menyaksikan Karen dan Diko mencemaskan Mela. Darah yang hangat mengaliri pipinya, tetapi Teresa tidak bisa merasakan kehangatan itu.
Mela memegang baju Karen dan terus membela Teresa. "Ibu, jangan begitu dengan Sasa. Aku yakin Sasa bukan sengaja."
Pembelaan itu justru memperburuk keadaan.
Diko menatap Teresa dengan marah. "Kamu mau minta maaf dengan kakakmu atau nggak?"
Diko seolah-olah tidak melihat darah di wajah Teresa.
Teresa menyeringai sinis dalam hati. Di kehidupan sebelumnya juga seperti ini, mengapa dia masih membawa harapan sekarang? Apakah dia bisa mendapatkan cinta mereka jika ada Mela?
Apa-apaan cinta mereka?
"Sasa, dengarkan Ayah. Jangan bikin Ayah marah!" Mela berlagak panik sambil menahan Diko.
Benar, sudah entah berapa kali Teresa melihat sikap Mela yang munafik ini. Orang yang berniat jahat memang mudah untuk dibutakan!
Sekarang, Teresa sudah tidak peduli lagi dan bisa melihat kebenarannya dengan lebih jelas. Dia menyeringai. "Kalian pantas dapat minta maaf dariku?"
"Ka, kamu ...." Wajah Diko menjadi masam. Dia menoleh pada Bibi Sinta yang berdiri di samping dan berteriak, "Ambilkan tongkat."
"Ayah, jangan!" teriak Mela.
Mela berlagak cemas saat menoleh pada Teresa. "Sasa, cepat minta maaf dengan Ayah."
"Mela, diam! Biar ayahmu beri dia pelajaran hari ini!" Karen sangat marah sehingga melarang Mela untuk membela Teresa.
Teresa menatap mereka dengan ekspresi mata yang dingin.
Tatapan itu membuat Diko lebih marah. Tanpa menunggu Bibi Sinta mengambilkan tongkat, Diko melepaskan ikat pinggangnya.
Plak! Suara ikat pinggang yang memukul lantai membuat orang merinding ketakutan.
"Kamu mau minta maaf nggak?" Diko menatap Teresa dengan agresif.
Teresa tersenyum dingin. "Pak Diko pikirkan baik-baik. Orang yang mau kamu cambuk sekarang bukan hanya anakmu, tapi Nyonya Muda Keenam Keluarga Hisno!"
Panggilan itu asing dan dingin, menandakan Teresa sudah tidak menginginkan hubungannya dengan Keluarga Wisra.
Sudah saatnya dibuang. Di kehidupan sebelumnya, dia terlalu peduli pada Keluarga Wisra sehingga mencelakai dirinya dan Arvin.