Bab 6
Setelah menutup telepon, Teresa mengantar Arvin ke kamarnya. Lalu, dia meminta pelayan mengantarkan makan siang ke lantai atas.
Arvin terus menatap Teresa dengan waswas.
Kemarin, Teresa dengan gila-gilaan menodongkan pisau padanya demi kabur. Hari ini, Teresa tidak memanfaatkan kesempatan yang ada?
"Ayo, buka mulut." Teresa mengambilkan lauk kesukaan Arvin dan menyuapinya. Arvin mengernyit.
Teresa berujar, "Tanganmu dipasangi jarum infus, aku suap saja."
Menyuapinya?
Sejak menikah, mereka bahkan belum pernah makan bersama di meja yang sama. Teresa jijik padanya sehingga tidak pernah muncul di jam makan.
Mata Arvin yang melihat Teresa menjadi lebih gelap dan tegas! Semua yang terjadi sekarang seperti mimpi.
Jika mimpi ini hancur ....
"Buka mulut." Tangan Teresa gemetar karena Arvin tidak kunjung merespons.
Pada akhirnya, Arvin membuka mulut. Teresa benar-benar menyuapinya dengan hati-hati.
Telah terjadi perubahan yang sangat besar pada Teresa dari kemarin malam hingga sekarang. Arvin bertanya dengan wajah dingin, "Sasa, kamu mau apa sebenarnya?"
"Mau baik-baik denganmu."
"Kamu bohong!"
"Nggak, aku nggak bohong. Aku tahu aku salah! Aku sudah berubah dari sekarang. Kalau aku masih seperti kemarin malam lagi ...."
Tiba-tiba, nada bicara Teresa menjadi parau.
Mengapa dia begitu jahat pada Arvin? Teringat akan kehidupan sebelumnya, aksi kemarin malam hanyalah satu dari sekian banyak. Teresa sampai ingin membunuh dirinya sendiri.
Teresa menarik napas dalam-dalam, lalu menambahkan, "Kalau begitu, bunuh aku!"
Arvin terdiam.
Napasnya bertambah cepat.
Saat bertemu empat mata, kecurigaan di mata Arvin sedikit berkurang, tetapi kesedihan di mata Teresa malah makin bertambah.
Teresa tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kelahiran kembalinya terhadap Arvin, tetapi dia sangat menghargai kesempatan ini.
Dia tidak akan mengecewakan dan menyakiti Arvin lagi. Dia akan mencintai Arvin dengan segenap kekuatan untuk menebus pengorbanan nyawa Arvin untuknya.
"Ah ...!"
"Krang!" Arvin tiba-tiba menarik Teresa ke dalam pelukannya. Sendok di tangan Teresa jatuh ke lantai mengotori lantai.
Teresa ingin melawan secara refleks, tetapi teringat akan luka di dada Arvin, tangannya yang terulur ke depan langsung merangkul leher Arvin.
Arvin makin ganas karena mendapat respons dari Teresa.
Teresa mengingatkan dengan suara parau, "Awas lukamu."
Namun, Arvin enggan melepaskannya.
Lama kemudian, ketika Teresa kehabisan napas, Arvin menempelkan dahinya ke dahi Teresa. "Aku sudah kasih kamu kesempatan. Kalau kamu nggak mau, kamu hanya bisa tinggal di sisiku."
"Oke."
Senyum tersungging di bibir Teresa.
Suasana menjadi rileks karena kata-kata Arvin. Tentang perubahan yang besar pada Teresa.
Arvin tidak akan bertanya jika Teresa tidak ingin memberitahukan.
Sekalipun ini adalah mimpi, dia ... dia tidak akan bangun dari mimpi ini.
Setelah membaringkan Arvin, Teresa pergi ke lantai bawah. Di luar, Mela sedang meneriaki pelayan dengan marah, "Beraninya kalian larang aku masuk?"
Mela sangat marah.
Dulu, Mela bebas keluar masuk Carmena. Semua orang yang melihatnya juga bersikap sopan. Siapa pelayan-pelayan baru ini?
Setelah Teresa pergi dan dia menikah dengan Arvin, dia pasti akan mengusir semua pelayan itu!
Pelayan yang mencegat Mela bersikap dingin dan tegas. "Sesuai perintah Nyonya Muda, mulai sekarang, Mela dan anjing nggak boleh masuk."
"Apa?" Kelembutan Mela hancur karena marah. "Kalian bandingkan aku dengan anjing?"
Perintah Teresa? Bagaimana mungkin?
Mela tidak percaya. Teresa sangat ingin kabur dari Arvin, bagaimana mungkin mau tinggal di Carmena? Teresa pasti diancam oleh Arvin.
Teresa pasti menunggu ide darinya untuk bisa kabur dari Arvin.
Berpikir demikian, Mela berdiri dengan tegak. "Tuan Arvin mau ketemu aku. Awas kalau kalian tunda-tunda waktu."
"Kata Tuan Arvin, kami hanya perlu mematuhi perintah Nyonya Muda."
Mela sudah sampai di ambang pintu.
Omongan pelayan itu membuatnya termangu. Lalu, Mela memasang senyuman manis.
Begitu melihat Teresa, ekspresi Mela tidak begitu ramah karena teringat akan omongan pelayan barusan.
"Sasa, kamu nggak jelaskan dulu?" tanya Mela dengan lagak sebagai seorang kakak.
Semoga kata-kata itu bukan perintah Teresa!
Teresa mendongakkan kepala. "Nggak dengar apa kata mereka? Kamu dan anjing nggak boleh masuk!"
Mela terperanjat.
Mela menatap Teresa dengan tidak percaya. Ekspresinya berubah-ubah dan napasnya bertambah cepat. "Kamu, kamu keterlaluan."
Mela tidak menyangka itu benar adalah perintah Teresa. Seketika, dia naik pitam.
Senyuman di wajah Teresa menghilang dan tatapan matanya menjadi dingin. Perubahan itu membuat Mela merasakan adanya bahaya.
Mela ingin mundur secara refleks, tetapi sudah terlambat. Teresa sudah menendang perutnya. "Uhm!"
Mela merintih kesakitan dan meringkuk di lantai sambil memegang bagian perutnya.
Teresa menghampiri Mela, lalu berjongkok di sampingnya dan mencekik lehernya. "Katakan, siapa yang kasih kamu obat itu?"
"Apa, apa maksudmu?"
Mela mencengkeram pergelangan tangan Teresa dengan erat sebagai perlawanan terakhir.
Tatapan mata Mela menyapu pada pelayan yang berdiri di samping. Dia ingin menemukan kejanggalan di wajah Teresa, tetapi gagal.
Meski begitu, Mela merendahkan suaranya saat bertanya, "Kasih tahu Kakak, kamu diancam oleh Tuan Arvin, ya?"
"Bam!" Teresa meninju wajah Mela.
Pikiran Mela menjadi kacau.
Ketika Teresa ingin meninju lagi, Mela buru-buru mencengkeram pergelangan tangannya. "Aku punya satu cara agar bisa kamu bisa kabur selamanya dari Arvin."
"Plak!"
Mela terperanjat.
"Obat itu, siapa yang kasih?"
Pada saat ini, Mela akhirnya menyadari bahwa semua itu bukan sandiwara. Teresa benar-benar tidak berniat untuk kabur dari Arvin lagi.
Mela menatap Teresa sambil menggertakkan gigi. Sebelum dia sempat berbicara, Teresa menamparnya beberapa kali. "Jawab nggak? Jawab nggak?"
Pelayan yang menyaksikan adegan itu di samping tercengang.
Nyonya Muda tidak hanya memiliki tempramen yang buruk, tetapi juga kasar.
Pipi Mela bengkak. Mela tidak kunjung memberitahukan dari mana dia mendapatkan obat tersebut. Sebenarnya, Mela juga tidak tahu apa khasiat obat itu. Dia mengira obat itu hanya akan membuat luka makin membusuk.
Mela berpikir bahwa rencananya agar Arvin mengusir Teresa setelah mengetahui Teresa telah menukar obat pasti akan berhasil. Akan tetapi, situasi saat ini berada di luar perkiraan Mela.
Teresa bangkit berdiri dan menatap Mela yang terduduk di lantai dalam keadaan kacau. "Aku pasti akan selidiki tentang obat itu. Cepat pergi."
"Teresa, kamu akan menyesal!"
Mela menatap Teresa dengan penuh kebencian, tidak lagi berpura-pura lembut dan elegan. Dia ingin sekali mencabik-cabik Teresa.
Teresa menyeringai sinis dan berbalik badan. "Bersihkan tempat ini."
"Baik, Nyonya Muda."
Pelayan yang berdiri di samping mengangguk dengan hormat.
Mela menatap sosok punggung Teresa dengan penuh kebencian. Dia sibuk memikirkan di mana letak kendalanya.
Arvin miliknya, harus jadi miliknya! Teresa harus pergi.
Pelayan maju dengan sikap dingin dan profesional. "Nona Mela, apa perlu aku bantu panggilkan ambulans?"
"Pergi sana!"
Mela merasa sangat terhina. Belum pernah dia mengalami kekalahan seperti ini.
Beraninya Teresa!
Irvan masih di sana. Saat melihat Teresa, dia teringat akan omongan Juvent sehingga tatapannya terhadap Teresa penuh kejengkelan.
Teresa melangkah maju. "Mana obat dari Dokter Juvent?"
"Ke depannya, aku akan menangani luka Tuan Arvin secara pribadi," ujar Irvan dengan suara dingin.
Baiklah. Teresa tahu dia tidak mungkin bisa meyakinkan orang terdekat Arvin untuk memercayainya sekarang. Jadi, dia tidak memaksa.
Teresa berbalik badan dan langsung pergi ke lantai atas.
Kali ini, justru Irvan yang terbengong. Teresa tidak mengamuk?