Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Lama kemudian setelah Teresa duduk di sofa dan memainkan ponsel, kemarahan di hatinya tetap tidak mereda. Dia bahkan tidak jadi memasak untuk Arvin. Arvin mengadakan rapat daring hingga jam setengah satu siang. Irvan buru-buru menuruni tangga dan berteriak, "Cepat suruh Dokter Juvent ke sini!" Teresa terkejut. Dokter? Apakah luka Arvin robek lagi? Pikiran Teresa menjadi kacau, tetapi tubuhnya bereaksi dengan lebih cepat. Dia beranjak dari sofa dan berlari ke lantai atas. Irvan mengernyit seraya melihat gadis itu berlari dengan cepat. Apakah dia salah lihat barusan? Ada kepanikan di mata Teresa? Bagaimana mungkin? Wanita itu jelas ingin membunuh Tuan Arvin. Di dalam ruang kerja, Teresa melihat Arvin yang duduk di kursi dengan wajah pucat. Dia buru-buru masuk dan berjongkok di depannya. "Lukamu berdarah lagi?" Teresa hendak mengulurkan tangannya untuk membuka kancing kemeja Arvin. Mata Arvin sangat gelap ketika dia menatap Teresa. Lalu, dia mencengkeram tangan Teresa. Teresa mendongak dan bertemu dengan matanya yang dingin. Tanpa menghiraukan kedinginan di mata Arvin, Teresa mencoba untuk menarik tangannya. "Sayang, cepat biar aku lihat." Cengkeraman Arvin menjadi lebih kuat, sama sekali tidak berniat untuk melepaskan Teresa. Teresa sangat cemas. Untungnya, Irvan segera datang bersama dokter, yaitu Juvent Lorenz yang paling dipercayai oleh Arvin. Melihat wajah Arvin yang pucat, Juvent buru-buru maju dan mengecek lukanya. Teresa langsung terdorong ke samping. Teresa bergeser ke samping dan menatap Arvin dengan cemas. Juvent mengecek luka Arvin. "Sudah infeksi." Teresa dan Irvan serempak berseru, "Kenapa bisa infeksi?" Juvent memasang ekspresi serius. Alih-alih menjawab, dia sibuk menangani luka Arvin. Hati Teresa berkedut ketika melihat keringat dingin di dahi Arvin. Luka Arvin mengalami infeksi berat, bahkan harus diberi cairan infus. Juvent tidak langsung pergi setelah semuanya selesai, melainkan memeriksa perban bekas tadi. Kemudian, Juvent menoleh pada Teresa dengan tatapan mata galak! Tatapan itu menimbulkan firasat buruk di hati Teresa. "Apa yang terjadi sebenarnya?" Irvan juga maju dan menoleh pada Teresa. Melihat mereka begitu, Arvin pun menoleh pada Teresa. Teresa mengernyit, tidak memahami apa maksud mereka. Juvent menoleh pada Arvin dan berujar, "Obatnya sudah diganti. Untung ketahuan sekarang, kamu bisa mati kalau nggak." Ada yang ingin membunuh Arvin? Teresa mendesis kaget karena memahami apa maksud dari tatapan mereka barusan. Irvan menggertakkan gigi sambil menatapnya. Teresa langsung menoleh pada Arvin. "Bukan aku!" Detik berikutnya setelah menyangkal, ekspresi Teresa membeku. Di kehidupan sebelumnya, Arvin menginap di rumah sakit selama sebulan bukan hanya karena lukanya terlalu parah, juga karena obatnya telah diganti. Obat itu diganti oleh Teresa pada sebelumnya sesuai arahan Mela. Menurut Mela, pelayan di rumah pasti akan langsung mencari kotak P3K ketika Arvin terluka. Saking lama, Teresa pun tidak ingat. "Sayang, aku ...." Pikiran Teresa menjadi kacau ketika dia menatap Arvin. Ingin sekali dia menampar dirinya. "Nyonya Muda, mohon keluar." Irvan tidak dapat menahan emosi lagi dan langsung meminta Teresa keluar. Teresa menatap Arvin. Ekspresi Arvin yang makin dingin membuatnya panik. "Aku, aku bawa kamu ke kamar dan istirahat dulu, oke?" Dia salah, dia pantas mati! Namun, Teresa tahu dirinya pasti akan tamat jika tidak menjelaskan hal ini. Melihat Teresa enggan pergi, Irvan maju dan ingin mengusirnya. "Irvan, keluar," perintah Arvin dengan suara tegas. Sambil menahan emosi, Irvan menoleh pada Arvin dan menyeletuk, "Tuan Arvin, dia mau bunuh kamu!" "Keluar. Juvent, kamu juga pulang dulu." Juvent menoleh pada Teresa dengan tatapan galak di depan Arvin langsung. Sama seperti Irvan, dia juga tidak bisa menahan emosi. Setelah Irvan dan Juvent pergi, hanya tersisa Arvin dan Teresa di ruang kerja. Teresa maju dengan berlinang air mata. "Sayang, maaf, aku bukan sengaja. Aku benaran bukan sengaja." Sambil berkata, Teresa bahkan menampar dirinya dua kali. Teresa pun ingat Arvin terbaring di rumah sakit selama sebulan, tetapi mengapa tidak bisa mengingat apa penyebabnya? Ketegasan di mata Arvin sedikit berkurang karena reaksi Teresa yang begitu besar, tetapi nada bicaranya tetap dingin. "Kamu sudah tikam aku, lalu ganti obatku. Kamu begitu membenciku?" Ingin membunuhnya karena gagal kabur? Apakah Teresa benar-benar sudah melupakan kasih di antara mereka selama bertahun-tahun ini? Teresa benar-benar ingin membuang segalanya demi Darlon? Mendengar nada bicara Arvin yang sedingin es, Teresa berlutut di depannya dan memeluk pahanya sambil menangis. "Nggak. Sayang, lupakan hal ini, oke. Aku salah, hiks!" Teresa bersyukur bahwa hal itu ditemukan oleh Juvent. Jika tidak, Arvin mungkin akan mati. Pikiran itu membuat mata Teresa diselimuti oleh rasa takut. Sekujur tubuh Arvin memancarkan aura yang tegas. "Kamu begitu ingin kabur dariku?" "Nggak, nggak! Aku nggak akan kabur, nggak akan." Teresa buru-buru memeluk pria yang marah itu. Takut pria itu akan menyingkirkannya. Suasana menjadi hening. Hanya ada suara napas mereka masing-masing dan tangisan Teresa. Tatapan Arvin tetap tegas dan gelap, seperti ingin memandang menembus hati Teresa. Saking lama, tatapan itu membuat orang sesak. Entah berapa lama kemudian, Arvin berkata dengan aura berbahaya, "Teresa, kamu hanya punya satu kesempatan ini." Bersandiwara? Pada saat ini, Arvin tiba-tiba tidak ingin menemaninya bersandiwara lagi. Dia memaksa Teresa untuk berhenti bersandiwara. Namun, reaksi Teresa berada di luar dugaan Arvin. "Nggak mau, nggak mau, aku nggak mau kesempatan apa pun. Aku hanya mau terus di sisimu." Arvin terkejut. Sudah begini pun Teresa tidak mau pergi? Jadi, Teresa tidak bersandiwara? Teresa memeluk kaki Arvin erat-erat. Di kehidupan sebelumnya, dia terus menunggu Arvin menuturkan kalimat itu. Namun, di kehidupan ini, Teresa tidak menginginkan apapun! Sekalipun masa depan mereka adalah rawa atau neraka, dia akan selalu menemani di sisi Arvin. Arvin memegang dagu Teresa dengan kuat. Melihat kedinginan di mata Arvin, Teresa tahu Arvin setidaknya sudah mengampuninya untuk sementara walau belum sepenuhnya percaya padanya. Kemudian, Arvin mencium Teresa secara agresif. "Kamu sendiri yang nggak mau ambil kesempatan ini. Kalau kamu mau kabur lagi, kupatahkan kakimu," kata Arvin dengan nada lembut secara galak. Teresa gemetar ketakutan. Sekujur tubuh Arvin mengeluarkan aura yang tidak stabil. Detik berikutnya, Teresa memeluk leher Arvin. Arvin hampir kehilangan akal sehat dan ingin menindih Teresa. Tepat saat itu, Teresa dengan pelan menekan kepala Arvin ke pelukannya. Suaranya gemetar saat dia berkata, "Sayang, aku masih nggak enak badan sekarang." Arvin terdiam. Kepala Arvin berdengung. Detik berikutnya, Arvin mengangkat Teresa ke atas meja menggunakan satu tangan. Melihat Arvin akan hilang kendali lagi .... Teresa buru-buru turun dari meja dan menjauh. Tatapan mata Arvin yang seperti binatang buas membuat Teresa gemetar tak terkendali. "Aku lihat ada masakan apa di dapur." Tanpa menunggu jawaban Arvin, Teresa segera berlari ke luar. Nyawanya akan terancam jika dia berlama-lama di sana! Di luar ruang kerja, wajah Teresa menjadi sangat masam. Dia menelepon Mela. Telepon segera tersambung. Mela bertanya dengan jengkel, "Ada apa?" "Aku mau ketemu kamu." Kemarahan Teresa bertubi-tubi. Mela terdiam sejenak. Menurutnya, Teresa benar-benar bodoh. Dia tidak tahu mengapa ada perubahan seperti yang terjadi hari ini. Akan tetapi, Teresa butuh ide darinya untuk bisa kabur dari Arvin. Mela sudah menduga Teresa pasti akan mencarinya. "Aku nggak sempat sekarang!" Setelah mengalami kekalahan besar hari ini, dia harus mencueki Teresa agar Teresa tidak berani menentangnya lagi. "Arvin yang mau ketemu kamu." Jika bukan karena Arvin sedang terluka, Teresa pasti akan pergi ke rumah Keluarga Wisra sekarang. Mendengar Arvin ingin bertemu dengannya, kesombongan Mela langsung hilang. Dia berseru, "Aku ke sana sekarang."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.