Bab 10
Di dalam mobil.
Ekspresi Arvin yang suram membuat suasana di dalam mobil menjadi tegang. Teresa dengan waswas memeluk lengan Arvin. "Sayang, kenapa kamu marah lagi?"
Di kehidupan sebelumnya, Teresa pun tidak tahu Arvin begitu mudah marah. Sekarang ketika Teresa memusatkan seluruh perhatiannya pada Arvin, dia selalu membuat Arvin marah tanpa sengaja!
Arvin menoleh pada Teresa. "Kenapa kamu pulang?"
"Apa?"
"Bukannya sudah kubilang? Jangan pulang ke rumah Keluarga Wisra sendirian!"
Teresa termangu.
Arvin sepertinya pernah bilang begitu.
Tidak lama setelah mereka menikah, Diko sering menyuruh Teresa meminta proyek kepada Arvin.
Pada awalnya, Arvin setuju. Lama-kelamaan, Diko makin serakah sehingga membuat Arvin jengkel. Jadi, Arvin melarang Teresa untuk pulang ke rumah Keluarga Wisra sendirian.
Dalam beberapa waktu setelah itu, dikarenakan tidak bisa mendapat keuntungan dari Arvin, Teresa selalu dimarahi oleh Diko jika pulang.
Diko juga sering mengatakan Keluarga Wisra pasti sudah sukses jika Mela yang menikah dengan Arvin. Kemudian, Diko bahkan mencari alasan dan ingin memukul Teresa.
"Kamu begitu peduli dengan keluarga itu?"
Melihat Teresa terdiam, nada bicara Arvin makin dingin.
Menurut Arvin, Keluarga Wisra tidak pernah memperlakukan Teresa dengan baik.
Teresa sudah dibawa pulang oleh Keluarga Hisno sejak sudah lahir, tetapi Keluarga Wisra tidak pernah mengunjunginya. Orang lain pasti akan segera membawa anak itu pulang.
Di Keluarga Wisra, bahkan Karen si ibu kandungnya juga tidak pernah mengunjungi Teresa ke rumah Keluarga Hisno dalam sepuluh tahun itu.
Teresa terbangun dari lamunannya.
Semua masa lalu itu membuatnya sesak napas. "Iya, lumayan peduli ketika dulu."
Namun, Teresa sudah tidak peduli lagi sekarang.
Mata Arvin yang menatap Teresa menjadi lebih gelap.
Kesedihan melintas di mata Teresa. Kemarahan di hati Arvin langsung padam, hanya tersisa kelembutan terhadapnya.
Arvin langsung memangku Teresa. "Bagaimana kalau sekarang?"
"Sudah nggak peduli!"
Teresa menggelengkan kepala.
Sebenarnya, Teresa sudah memahami banyak hal sejak bercerai dengan Arvin di kehidupan sebelumnya. Takdir memberinya kesempatan kali ini bukan agar dia melakukan hal-hal bodoh.
Teresa memeluk leher Arvin dan bergesek. "Aku hanya peduli pada suamiku sekarang."
Arvin terdiam.
Suasana tegang di dalam mobil hilang seketika.
Teresa sudah lelah karena menghadapi orang-orang munafik dari kemarin malam hingga sekarang. Dia terlelap di dalam pelukan Arvin.
Mobil tiba di Carmena.
Irvan turun dari mobil. Melihat wajah Arvin agak pucat, dia langsung memberi tatapan jengkel pada Teresa yang tidur di dalam pelukan Arvin.
Ketika Irvan ingin membangunkan Teresa, Arvin memberinya isyarat untuk diam dan menyuruh mereka keluar.
Irvan tidak berani membangkang perintah Arvin, meski masih jengkel terhadap Teresa.
"Uhm!"
Entah berapa lama kemudian.
Langit di luar jendela mobil mulai terang.
Teresa merasa lehernya sangat pegal. Dia membuka mata dengan linglung dan mendapati dia tertidur di dalam pelukan Arvin.
Teresa mendongak dan melihat wajah Arvin yang agak pucat.
Napas Teresa menjadi cepat!
"Sayang, kenapa kamu nggak bangunkan aku?"
Teresa buru-buru duduk tegak karena takut akan menekan luka Arvin.
Arvin tersenyum. Tatapan matanya yang menatap Teresa penuh kelembutan. "Tidur nyenyak nggak?"
"Kamu terluka, mana bisa sembrono begini?"
Irvan dan Illias juga.
Jika Arvin sembrono, mengapa mereka tidak bisa mengingatkannya?
Namun, Teresa tahu Arvin sangat mendominasi. Jika Arvin tidak setuju, tidak ada orang yang berani membangkang.
"Jangan-jangan sudah berdarah lagi?"
Teresa langsung membuka kancing kemeja Arvin. Dia menjadi lega karena perbannya bersih.
Teresa menghela napas. "Mau sarapan apa? Aku masakkan, ya?"
Teresa juga ingin memasak makan siang untuk Arvin kemarin.
Alhasil, Teresa menjadi jengkel karena Darlon dan Mela. Sejak terlahir kembali kemarin, dia sudah menghadapi banyak masalah.
Arvin meraih tangan Teresa dan mengecupnya. "Biar pelayan saja yang masak. Aku bukan menikahimu untuk jadi tukang masak."
Wajah Teresa langsung merah.
Dulu saat bersama Arvin, Teresa selalu merasa Arvin terlalu dingin dan memberi tekanan pada orang-orang di sekitarnya.
Tak disangka Arvin memiliki sisi yang begitu lembut.
"Dulu kamu juga sering masak untukku, 'kan?" Teresa menoleh pada Arvin.
Saat Teresa masih kecil, Arvin sering membawanya ke Carmena. Pada saat itu, belum ada pelayan di Carmena sehingga Arvin-lah yang memasak untuk Teresa.
Arvin yang berumur tiga belas tahun sudah terampil memasak.
Selain sifatnya dingin, Arvin punya banyak keunggulan.
Begitu Teresa pulang ke rumah Keluarga Wisra, Arvin tidak pernah memasak untuknya lagi. Apalagi Arvin sangat sibuk setelah mewariskan Keluarga Hisno.
Mengungkit soal dulu, Arvin mencubit pipi Teresa dengan penuh kasih sayang. "Karena aku membesarkan orang yang nggak punya hati. Aku pikir kamu sudah nggak ingat!"
Teresa berujar, "Ingat, mana mungkin aku nggak ingat?"
Arvin memeluk Teresa lebih erat karena mendengar kesedihan dalam nada bicaranya. "Ceritakan padaku, apa yang terjadi?"
Dalam dua hari ini, Arvin terus memikirkan mengapa bisa ada perubahan besar pada Teresa.
Melalui pengamatannya, Teresa tidak berbohong.
Lalu, apa penyebabnya?
"Nggak ada cerita. Aku harusnya nggak percayai Mela. Dia menipuku selama ini. Dia sering mengatakan keburukanmu dan aku percaya."
Teresa berkata dengan detail karena Arvin bersikeras bertanya.
Teresa mengkambinghitamkan Mela, tetapi itu benar apa adanya.
Arvin mengernyit. "Keburukan apa?"
"Dia bilang kamu sudah bunuh banyak wanita!"
Arvin terdiam.
Saat tubuh Arvin yang tegang memancarkan aura agresif, Teresa tahu Arvin tidak akan mengampuni Mela!
Mela memang telah mengatakan banyak keburukan tentang Arvin, tetapi bukan kalimat itu. Akan tetapi, apa salahnya mengkambinghitamkan wanita munafik itu?
"Jadi, kamu percaya?"
Arvin menjentik dahi Teresa dengan kuat.
Teresa memegang dahinya sambil cemberut.
Dia mengkambinghitamkan Mela, mengapa malah dia sendiri yang disalahkan?
Teresa langsung memejamkan mata ketika dagunya diangkat oleh Arvin. "Aku awalnya percaya padamu."
"Tapi dia sering mencuci otakku, jadi aku percaya."
Keinginan untuk hidup yang kuat mendorong Teresa untuk memegang kerah baju Arvin dan menyalahkan Mela.
Bagaimana mungkin Arvin tidak mengetahui apa isi pikiran Teresa?
Arvin mendengus. "Lalu, sekarang? Kenapa kamu nggak percaya dia lagi?"
"Kamu selalu baik padaku, tentu saja aku bisa membedakan mana yang baik dan jahat. Jadi, aku nggak memercayai omong kosong Mela lagi."
Nada bicara Teresa tegas. Penjelasan ini juga logis.
Di saat mengkambinghitamkan Mela, dia juga mengakui kebaikan Arvin padanya. Taktik ini pun menyenangkan hati Arvin.
Teresa memberanikan diri untuk membuka mata. Mata pria itu penuh kegirangan.
Seketika, Teresa merasa telah dipermainkan. "Sayang, kamu jahat."
Arvin menimang wajah Teresa, mengelus bibirnya yang empuk dengan jari yang kasar dan hangat. "Masih ada yang lebih jahat lagi. Mau coba nggak?"
"Nggak, nggak mau, nggak mau!"
Teresa buru-buru menggelengkan kepala ketika teringat akan keganasan Arvin.