Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Safira mengabaikan mereka dan kembali ke loteng, satu-satunya ruang sempit yang dimilikinya di rumah ini, dan mulai merawat lukanya sendiri. Setelah selesai, dia merebahkan dirinya di atas tempat tidur, menatap langit malam yang gelap gulita dengan tatapan kosong. Dalam hatinya, dia hanya berharap waktu berlalu lebih cepat, membawa dirinya jauh dari rumah yang terasa dingin dan asing ini. Dalam tiga hari berikutnya, Keluarga Catra tenggelam dalam kesibukan merencanakan pesta untuk kelulusan Nidya. Edwin sangat menyukai Nidya, bahkan mengumumkan niatnya untuk mengadopsinya secara resmi. Dia dengan terang-terangan menyatakan bahwa Nidya seratus kali lebih baik dibandingkan putri kandungnya sendiri. Pada hari pesta kelulusan, Edwin, yang selama ini bahkan tidak pernah hadir dalam rapat orang tua Safira, mengenakan pakaian mahal yang sengaja dipesan untuk acara itu. Tidak ada seorang pun yang mengundang Safira. Keberadaannya di rumah itu seolah-olah telah dilupakan mereka. Sesaat sebelum pergi, Nidya mendatangi loteng. Wajahnya kini jauh berbeda dari kelembutan dan kepolosan yang biasa dia tunjukkan. "Safira, kalau kamu berlutut dan mohon padaku," katanya dengan nada dingin, "aku bisa meminta Ayah memaafkanmu." Safira tidak merespons. Melihat itu, Nidya tidak lagi bisa menahan senyum sinisnya. "Dalam banyak hal, kamu memang lebih baik dariku. Tapi kamu nggak tahu cara menyenangkan hati orang-orang di sekitarmu." "Itulah sebabnya kamu hanya bisa menyaksikan dengan mata terbuka bagaimana kekasihmu, keluargamu, dan segala milikmu direbut olehku." "Aku sungguh penasaran, kenapa kamu nggak mati saja? Apakah masih ada arti menjalani hidup yang penuh penghinaan seperti ini? Hahaha …." .... Nidya mengucapkan banyak hal tanpa ragu. Dia tidak takut Safira akan menyebarkan ucapannya. Karena dia tahu, saat ini tidak ada yang akan percaya pada apa pun yang dikatakan Safira. Mendengar panggilan Yordan untuk segera berangkat ke pesta kelulusan, Nidya baru meninggalkan loteng itu. Setelah Nidya pergi, Safira mengambil perekam yang sedang berjalan dari bawah tempat tidur. Dengan pelan, dia menekan tombol [Hentikan Perekaman]. Hari ini adalah hari terakhirnya di kota ini. Sebelum pergi untuk selamanya, dia memutuskan untuk meninggalkan bukti kepada Keluarga Catra bagaimana mereka telah menumbuhkan bunga kejahatan—Nidya. Setengah jam kemudian, mobil dari Akademi Kedokteran berhenti di depan rumah. Orang yang datang tampak terkejut melihat Safira hanya membawa sebuah foto mendiang ibunya, jadi bertanya, "Kita akan segera berangkat. Nggak ada barang lain yang perlu dibawa?" "Nggak ada lagi," jawab Safira dengan tenang. Dia memeluk erat foto itu sambil menggelengkan kepalanya. Tidak ada barang yang dia bawa selain foto yang erat dalam pelukannya. Setibanya di bandara, dia duduk di ruang tunggu, menikmati kehangatan sinar matahari yang menenangkan tubuh dan pikirannya. Di sini, dia mengambil langkah pertama menuju awal yang baru. Saat itu, panggilan dari Leo masuk. Kemarin, Leo kembali ke restoran untuk melihat rekaman CCTV. Dari situ, dia akhirnya menyadari bahwa Nidya sendiri yang kehilangan keseimbangan, dan kejadian itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Safira. "Setelah pesta kelulusan, ayo kita bertemu. Aku sadar waktu itu aku berkata sesuatu yang terlalu kasar, dan aku ingin meminta maaf." "Oh, aku juga lupa merayakan ulang tahunmu karena terlalu sibuk, jadi aku ingin menebusnya hari ini. Hadiah untukmu sudah kusiapkan." Leo tidak khawatir Safira akan menolaknya karena dia merasa sangat memahami Safira. Pada masa lalu, tidak peduli seberapa marah Safira, selama dia merayunya, Safira selalu kembali ke sisinya tanpa ragu. Namun, kali ini, Safira tetap diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningannya terasa asing dan membuat kegelisahan merayap dalam diri Leo. Ketika suara pengumuman untuk naik pesawat terdengar, ekspresi Leo berubah drastis. "Tunggu, suara apa itu? Kamu sebenarnya lagi di mana?" Safira mengakhiri panggilan telepon, mengeluarkan kartu SIM dari ponselnya, lalu mematahkannya tanpa ragu. Kasih sayang palsu tidak lagi memengaruhinya. Baik ayah, adik, maupun kekasih yang dia kenal sejak kecil, semuanya tidak ingin dia temui lagi. Dengan tekad itu, dia melangkah pergi, meninggalkan segalanya tanpa menoleh ke belakang.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.