Bab 7
Safira pernah mencium pipi Leo di depan teman-temannya secara spontan. Hal ini membuat Leo murka hingga tidak berbicara dengannya selama beberapa hari.
Meski begitu, Leo ternyata bukan pria yang konservatif.
Dia hanya menunjukkan sikap dingin seperti es ketika berpacaran dengan Safira.
Safira, yang merasa muak melihat kedekatan antara Leo dan Nidya, segera berdiri dan melangkah keluar.
Leo melihat sosok Safira yang sedang berjalan keluar, keterkejutan membuatnya dengan cepat mendorong Nidya menjauh.
Akhirnya, semua orang di sekitar mulai menyadari keberadaan Safira.
Nidya mengejar keluar, meraih bahu Safira dan berkata, "Kak Safira, apa yang barusan terjadi bukan seperti yang kamu pikirkan ...."
"Singkirkan tanganmu." Safira mengernyit, tidak ingin mendengar penjelasan Nidya.
Namun, cengkeraman Nidya malah semakin kuat.
"Menurutmu, kalau aku jatuh di sini, apakah keluargamu akan mengira kamu yang mendorongku?"
Begitu kata-kata itu terucap, Nidya tiba-tiba berteriak keras dan dengan dramatis jatuh ke belakang, menghancurkan kaca restoran hingga pecah berkeping-keping.
Edwin, Yordan, dan Leo segera berlari ke arah suara keras itu.
Mereka terkejut melihat Nidya tergeletak di antara pecahan kaca, dengan darah mengalir deras dari kepalanya dan tubuhnya dipenuhi luka akibat goresan tajam.
"Safira, kamu sudah gila, ya! Apa kamu ingin membunuhnya?" teriak Yordan sambil memeluk Nidya erat-erat.
Safira bahkan belum sempat berbicara, Edwin langsung menamparnya dengan keras sambil berteriak, "Dasar nggak tahu diri!"
Safira jatuh ke lantai, memuntahkan darah bercampur serpihan gigi.
Salah satu giginya patah akibat tamparan itu.
Dia membuka mulut, ingin menjelaskan.
Namun, tatapan keluarganya yang penuh kebencian dan amarah membuat kata-kata Safira tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu keluar.
Bagi mereka, hanya Nidya yang layak dipercaya, meskipun dia hanyalah seorang orang luar.
Apa pun yang Safira katakan akan dianggap dusta, seolah-olah dia adalah penjahat paling kejam yang pernah ada.
Nidya menangis tersedu-sedu di pelukan Yordan sambil berkata, "Kak Safira, kalau kamu membenciku, cukup katakan saja, aku akan segera menghilang dari dunia ini. Kalau kamu menyalahkanku karena merebut Kak Leo darimu, aku bisa mengembalikannya kepadamu. Asalkan kamu bahagia, aku bersedia melakukan apa saja. Tolong, jangan pukul aku ...."
Akting Nidya membuat mata ketiga orang berkaca-kaca karena terharu.
"Safira, apakah kamu merasa Nidya merebutku darimu, sehingga kamu memperlakukannya seperti ini?" tanya Leo dengan nada kecewa, memandang Safira penuh ketidakpercayaan.
Safira hanya membalas dengan tatapan kosong.
Kemudian, dia tertawa sambil batuk darah.
Ketika hati seseorang terasa kosong dan dingin, ternyata masih bisa tertawa lepas.
Melihat Safira tertawa dalam situasi seperti ini, kekecewaan Leo terhadapnya mencapai puncaknya.
"Sekarang aku sadar, aku sama sekali nggak membencimu."
"Aku membenci diriku sendiri yang dulu, yang pernah begitu naif hingga menyukai wanita kejam seperti dirimu."
"Kamu benar-benar pantas mati. Aku berharap kamu segera mati."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Leo berbalik dan pergi, menggendong Nidya, diikuti Edwin dan Yordan yang membawanya menuju rumah sakit.
Sementara itu, Safira hanya tetap tertawa sambil memandang punggung mereka yang semakin menjauh.
Kerumunan di sekitarnya mengira dia telah kehilangan akal sehatnya.
Dia terbaring di lantai untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya bangkit kembali.
Luka yang tidak terhitung jumlahnya telah menghancurkan hatinya, hingga rasa sakit tidak lagi menyentuh dirinya.
Sepasang mata hitamnya tidak menunjukkan amarah maupun kebencian, melainkan sebuah ketidakpedulian yang sudah mencapai puncaknya.
'Nggak apa-apa, tiga hari lagi, dan mereka nggak pernah melihat diriku yang 'seharusnya mati' ini lagi.'
Saat dia kembali ke rumah, suasana yang semula riuh dengan tawa berubah menjadi sunyi.
Semua mata tertuju padanya, dengan tatapan yang seolah berkata: bagaimana kamu masih punya muka untuk pulang?
Mereka melihatnya seperti seekor anjing kecil yang telah dibuang, tetapi tetap berusaha kembali meski tubuhnya penuh luka.