Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

Suara Rhea terdengar datar dan dingin, bak seember air es yang mengguyur hati Cavero. Tatapannya kembali suram. Andai dia belum tahu tentang urusan mencari jodoh, dia tetap menganggap cukup menunggu dua hari hingga Rhea mengambil keputusan. Rhea akan tetap di sisinya seperti sebelumnya, seolah-olah permintaannya untuk putus tidak pernah terjadi. Hatinya juga sakit ketika melihat Rhea tampak begitu sedih. Setelah mengetahui perihal gelang cendana, dia sudah berusaha keras menahan diri agar tidak membahas Rhea yang mengadu pada Pak Galih dan bertekad untuk bicara baik-baik dengannya. Namun, begitu mendengar nada dingin dan sikap Rhea yang tidak masuk akal, rasa sedih yang sempat dia rasakan pada gadis itu langsung lenyap. "Hari ini, kamu mengadu pada Pak Galih dan minta dia sengaja mempersulitku, 'kan?" tanyanya dengan nada dingin. Rhea pikir, dia sedang mengada-ada. "Nggak!" Namun, Cavero hanya tertawa sinis. "Benar?" "Rhea, kenapa sekarang kamu munafik begini? Apa kamu mau lempar batu sembunyi tangan?" Jari-jari Rhea yang memegang ponsel agak gemetar. Dia menjauhkan ponsel dari telinga, melihat sekali lagi nama yang tertera di layar. Nada bicara Cavero begitu asing hingga dia berpikir telah salah menerima telepon. Dia mulai ragu. Apa dia benar-benar mengenal Cavero setelah lima tahun bersamanya? Cavero tidak mendengar jawabannya. Dia pikir, wanita itu merasa bersalah, sehingga dia mengejek lagi. "Kenapa kamu diam saja? Kamu bilang apa saja sama Pak Galih? Kamu bilang kita bertengkar, buat dia menegurku, bahkan mengancamku untuk bujuk kamu. Benar, 'kan?" "Aku nggak bilang apa-apa dan aku nggak perlu kamu membujukku." Rhea menunduk sambil menatap ujung sepatunya. "Rhea, kalau kamu masih ingin bersamaku, bersikap selayaknya kamu ingin bersamaku. Kita sudah bertahun-tahun bersama, kamu harusnya tahu bagaimana perasaanku padamu." "Aku masih cinta sama kamu, nggak berarti aku bisa terus menoleransi sikap burukmu." "Kalau kamu masih menginginkan proyek film itu, datang ke perusahaan dan temui aku sekarang." "Nggak bisa kalau sekarang," balas Rhea sambil mengernyitkan dahi. Saat itu, Cavero baru teringat bahwa Rhea tidak di rumah dan dia tidak punya banyak teman. Satu-satunya orang yang sering dia temui adalah Henry, anak orang kaya dari keluarga Latif. Henry adalah kakak kedua Rhea yang bandel. Saat Rhea masih sekolah, Henry sering kali menjemput dan mengantarnya pulang. Cavero pernah beberapa kali melihat mereka. Karena tidak ingin dianggap bergantung pada keluarga Latif, Rhea selalu mengatakan pada orang lain bahwa mereka hanya teman. Cavero tidak suka Rhea terlalu banyak interaksi dengan pria lain, sehingga Rhea jarang meminta keluarganya datang. Kebetulan Henry pergi ke luar negeri setelah itu, sehingga mereka berdua makin jarang bertemu. Namun, Cavero kadang melihat mereka masih saling berkomunikasi. Situasi itu membuatnya cemburu. Karena hal ini, Rhea harus membujuk Cavero hingga beberapa kali. Ekspresi Cavero makin suram. Secepat itukah Rhea mencari pengganti dirinya? "Kamu di mana? Aku akan menemuimu." Tatapannya berpindah dari papan doa ke arah gunung yang menjulang di kejauhan. Rhea tersenyum mencemooh. "Aku di Gunung Pace. Apa kamu mau datang ke sini?" Cavero terdiam sejenak. Gunung Pace? Bukankah itu tempat yang tadi disebut-sebut Siena, tempat untuk berdoa minta jodoh dan mendapat gelang cendana? Jadi, dia benar-benar kembali ke sana dan mendoakan supaya hubungan mereka lancar. Cavero tanpa sadar menghela napas lega. Nada bicaranya pun jauh lebih lembut saat berkata, "Datang ke kantorku besok pagi. Kita masih bisa bicarakan soal proyek itu." Rhea mengernyitkan dahi. "Sudah selesai belum bicaranya? Kalau sudah, kututup teleponnya." Dia bertanya seperti itu meskipun dia langsung menutup telepon tanpa memberi Cavero kesempatan untuk menjawab. Pandangan Rhea kembali jatuh pada patahan papan dan kain merah yang robek. Barang yang sudah rusak tidak perlu dipikir lagi. Rhea berbalik dan menyalakan satu lampu minyak sebagai bentuk doa, lalu turun dari gunung. Sementara itu, Cavero hanya bisa menahan amarah untuk kesekian kali dan menendang pintu kamar dengan kesal. Dia tahu, Rhea selalu bermimpi menjadi sutradara besar seperti Pak Galih dan proyek film ini adalah hasil jerih payah Rhea selama ini. Ketika kontrak baru saja ditandatangani, Rhea melompat-lompat kegirangan dan mengitarinya bak anak kecil yang mendapat permen. Cavero pun tidak menahan dirinya untuk turut bahagia bersamanya. Hubungan mereka sudah begitu baik selama bertahun-tahun. Dia sungguh tidak mengerti, mengapa Rhea bisa murka hanya karena gelang murah yang tidak berharga seperti itu? Cavero berniat mengirimkan pesan lagi untuk memperingatkan Rhea, tetapi manajernya tiba-tiba menelepon. "Cavero, ada masalah dengan proyek film itu." Hati Cavero mencelos. Popularitasnya meroket lima tahun setelah debut. Selain keberuntungan, semua itu diraih berkat kerja kerasnya. Namun, dunia akting juga mempunyai banyak keterbatasan, mulai dari usia, naskah, energi, dan sebagainya. Jika ingin bertahan lama di industri hiburan, tidak cukup kalau hanya mengandalkan penampilan di depan kamera. Dia sengaja merintis sayap karier di balik layar selama dua tahun terakhir. Namun, usahanya tidak berjalan mulus. Proyek film yang diambil Rhea kali ini adalah peluang besar. Bukan hanya berbahagia untuk Rhea ketika kontrak itu ditandatangani, tetapi dia ikut senang karena ini menjadi langkah besar di kariernya. Kontrak sudah ditandatangani, apa lagi yang bisa terjadi? "Ada masalah apa?" Manajer ragu-ragu berkata, "Entah bagaimana, penanggung jawab di sana tahu proyek ini nggak lagi dipegang Rhea. Dia langsung berubah sikap dan bilang, kalau bukan Rhea yang pegang proyek itu, nggak ada gunanya bicara dengan kita." Cavero menggerutu, "Sudah ada hitam di atas putih, masa dia mau seenaknya melanggar kontrak?" "Dia, dia bilang …" "Dia bilang apa?" Manajer berkeringat dingin. "Dia bilang kontrak itu ditandatangani oleh Rhea dan nama yang tercantum di sana juga nama Rhea. Jadi, dia hanya mengakui Rhea." Suasana pun menjadi hening. Cavero langsung mengumpat, "Dasar bajingan!" "Bagaimana kita akan menjawabnya, Cavero?" Dia menarik napas dalam-dalam. "Coba untuk tenangkan mereka dulu. Urusan Rhea, biar aku yang bicara dengannya." Cavero tahu, Rhea pasti tidak rela melepaskan proyek ini. Besok dia pasti akan datang. Semua masalah akan dibicarakan saat mereka bertemu besok. Dia ingin tahu, sampai kapan Rhea bisa keras kepala. Sebenarnya, Rhea tidak ingin lagi terlibat dengan Cavero, tetapi setelah dipikir ulang, proyek ini adalah proyek yang dia tangani dari awal sampai akhir. Selain karena keinginannya untuk melakukan proyek ini, dia juga ingin memberi penjelasan yang baik kepada pihak investor. Jika kepercayaan itu hilang, ini akan berdampak buruk pada perkembangan kariernya di masa depan. Esok paginya, dia berangkat ke kantor lebih awal. Namun, tidak disangka, Rhea akan bertemu dengan seseorang yang enggan dia temui di kantor Cavero. Siena, sepupu Cavero. Penampilannya masih mencolok, seperti biasa. Eyeliner tebal melengkung, bulu mata palsu yang super panjang, dan eyeshadow tebal penuh glitter. Hidungnya dirias menggunakan teknik kontur, sehingga terlihat sangat mancung, seolah-olah bisa menusuk siapa pun yang mendekat. Rhea tidak bisa menahan diri untuk tidak sedikit mengernyit. Saat itu, Cavero tidak ada di kantor dan sang asisten sedang melayani Siena penuh rasa hormat. "Kak, kamu sudah kembali …" Begitu mendengar suara pintu terbuka, Siena langsung menoleh. Senyumnya langsung pudar ketika melihat siapa yang datang. "Kenapa kamu di sini?" Hari ini, Rhea mengenakan kardigan rajut kecil warna biru muda, dipadukan rok panjang putih berbahan lembut di bagian bawahnya, tampak sangat anggun. Hati Siena mencibir, 'Bajunya bagus, tapi kelihatan banget meniru gaya Kak Celia. Pasti dia mau menggoda Kak Cavero. Dasar nggak tahu malu!' Rhea mendongak, lalu menatapnya acuh tak acuh. "Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak?" "Rhea, aku datang karena Cavero itu kakakku. Memangnya kamu siapa sampai berani datang ke sini? Apa kamu benar-benar berpikir aku nggak tahu soal putusnya kamu dan kakakku?" "Kamu juga harus tahu diri. Memangnya kamu punya hak buat putus dengannya?" "Tapi, kalau kulihat-lihat, kamu cukup tahu diri, ya. Kamu sadar kalau kamu nggak sepadan sama Kak Cavero, makanya kamu berinisiatif untuk pergi. Bisa dibilang, itu sebuah cara biar kamu nggak mempermalukan diri kamu sendiri." "Kamu tahu, Kak Cavero dan Kak Celia adalah teman masa kecil. Dia sudah kembali ke Terani, tapi kamu masih menempel sama Kak Cavero selama dua tahun. Malah aku yang malu lihat kamu begitu." Rhea menatap wajah Siena. Dia berbicara dengan suara keras dan cepat. Ekspresinya juga tegang, sampai-sampai bedaknya hampir luruh. Pandangan Rhea pun turun ke pakaian Siena. Hari ini, Siena mengenakan gaun terbaru dari koleksi musim panas Chanel, gaun yang Rhea belikan untuknya beberapa waktu lalu. Bagaimana bisa dia mengomeli Rhea sambil mengenakan pakaian yang Rhea belikan untuknya? Rhea terkekeh. "Lepas dulu pakaianmu, baru coba sok berkuasa di hadapanku."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.