Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10

"Kamu!" Wajahnya kebiruan karena marah. "Aku nggak minta kamu beli baju ini buat aku! Kalau kamu mau, aku akan kembalikan begitu pulang nanti!" Rona merah di wajah Siena sampai tidak bisa terbalut riasan tebalnya. Rhea menarik sudut bibirnya, menyunggingkan senyum tipis dengan mata yang tidak ikut tersenyum. "Ya sudah. Kalau kamu mau kembalikan baju itu, kembalikan semuanya. Kembalikan semua baju dan perhiasan yang pernah kuberi padamu. Sebaiknya, angkat kaki juga dari rumah yang kusewakan untukmu." "Sekarang, aku sudah putus sama Cavero. Mestinya, kamu juga nggak mau lagi menyimpan barang-barang pemberianku, apalagi tinggal di rumah yang aku sewa, 'kan?" Amarah membuat wajah Siena makin kebiruan. Dulu, saat Rhea dan Cavero masih pacaran, Rhea memperlakukannya sangat baik. Setelah putus, Rhea langsung berubah dan tidak peduli lagi padanya. Sungguh munafik! Wajar saja kakaknya direbut Celia! Melihat kedua wanita itu hampir bertengkar, asisten dari Cavero pun segera melerai. "Nona Siena, Bu Rhea, tenang. Kita ini keluarga, bertengkar begini hanya memperburuk keadaan." Siena, yang sudah telanjur emosi, langsung melampiaskannya pada asisten itu. "Keluarga apanya? Kamu nggak dengar tadi? Dia sudah bilang kalau dia dan kakakku sudah putus!" "Kamu juga," ujarnya dengan nada meremehkan sambil menunjuk hidung Rhea. "Rhea, bukannya uang yang kamu pakai punya kakakku semua? Kenapa kamu begitu nggak tahu malu sampai bilang kamu yang beli barang-barang itu? Bagaimana bisa kamu nggak malu buat minta kembali semua itu?" Rhea hanya tertawa sinis. Raut wajahnya tetap tenang, tetapi kecantikannya begitu memikat hingga sulit untuk tidak mengamatinya. "Aku memang sudah menjalin hubungan selama lima tahun dengan Cavero, tapi selama itu, aku nggak pernah ambil sepeser pun uang darinya. Sebaliknya, aku bekerja lima tahun untuknya tanpa menerima gaji. Jadi, dia yang justru berutang padaku. Mengerti?" Suaranya jernih dan lembut, tetapi ada ketegasan yang terselip dalam ucapannya. Bagai pohon pinus yang berdiri kokoh di tebing, membuat orang yang mendengarnya gemetar. Siena sangat tidak nyaman saat menatap wajah Rhea yang cantik. Tepat saat Rhea selesai bicara, Cavero masuk ke ruangan. Dia mendengar seluruh percakapan itu dengan jelas, sehingga wajahnya begitu muram. Siena masih tidak percaya. "Mana mungkin?" Dia berjalan ke arah Cavero, kemudian menarik lengannya. "Kak, dengar dia bilang apa!" Cavero menatap adiknya dalam diam. Kemarin, dia tahu bahwa Rhea pergi ke Gunung Pace dan berdoa meminta perbaikan hubungan mereka. Hal itu sempat meredakan amarahnya. Kemarin, nada suara pria itu saat bicara terakhir kali dengan gadis itu sudah lebih lembut. Dia pikir, Rhea pasti paham. Siapa sangka, Rhea malah makin keterlaluan, bahkan berani membicarakan uang! Cavero memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan emosinya. "Rhea, hari ini, aku memintamu datang bukan hanya untuk bicara soal proyek, tapi juga hubungan kita. Kita sudah bertengkar cukup lama. Kalau kamu ingin aku membujukmu, aku bisa lakukan. Tapi, bisa nggak agak meredam emosimu?" Rhea duduk santai di sofa sembari tersenyum tipis. "Aku nyaris mengira kamu mau membayar gajiku yang belum pernah kamu bayarkan." Satu kalimat itu hampir membuat Cavero hilang kendali. "Rhea, kamu cuma ingin aku mengambil balik gelang itu, 'kan? Aku akan mengambilnya, tapi bisa bicara baik-baik, nggak?" Siena tidak memercayainya. "Kak! Apa yang kamu maksud? Bagaimana kamu bisa mengambilnya kembali?" Cavero melihatnya dengan tatapan dingin. Rhea tetap tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tersorot dengan tatapan dingin. "Barang yang sudah kotor nggak akan pernah kupakai lagi. Aku nggak punya kebiasaan pungut sampah dari tong sampah." Kini, Cavero tidak sanggup lagi mengendalikan emosi yang dia tahan sejak tadi. Wajahnya pun berubah muram. Kemarin, dia pulang dan merenungkan. Para investor ingin Rhea menjadi penanggung jawab. Mempertahankan Rhea memang cara termudah untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi cara tersebut bukanlah satu-satunya. Sekarang, dia sangat terkenal di dunia hiburan dan telah membangun banyak koneksi. Meski pihak sana mengajukan permintaan ini, mereka akan menghargai reputasinya dan mengizinkan penggantian orang kalau benar-benar tidak memungkinkan. Namun, dia tidak ingin kehilangan Rhea. Dia merasa tidak perlu buang-buang koneksi atau berutang budi pada orang lain. Hari ini, dia masih datang dan membicarakan hal ini dengan Rhea, semata-mata agar Rhea melihat ketulusan dan keseriusannya. Dia juga bersedia memberi kesempatan kepada Rhea. Sayangnya, Rhea kelewat keras kepala untuk menyadarinya. "Rhea, cukup!" gertak Cavero dengan nada dingin. "Kesabaranku nggak banyak untuk menunggumu tenang! Ingat, kamu akan menyesal saat kesempatan ini hilang." Peringatannya sangat jelas. Karena dia sudah pergi ke Gunung Pace, dia pasti memahami apa yang dia inginkan. Jika dia ingin berdamai dengan diri sendiri, dia harus bertindak sesuai dengan keinginannya. Senyum Rhea memudar sebelum menatap pria itu lekat-lekat. Dia mencoba mencari sedikit dari sosok Cavero yang dia kenal, tetapi tidak ada di sana. Sama sekali tidak ada. "Jadi, kamu mau aku bagaimana?" tanya Rhea, menatapnya acuh tak acuh. Mendengar ini, Cavero mengira peringatannya membuahkan hasil. Rhea takut Cavero serius meninggalkannya. Meski dia dan Rhea sama-sama yatim piatu, dia masih punya paman dan keluarganya. Kini, Celia juga telah kembali ke Terani. Berbeda dengan Rhea. Dia tidak punya kerabat sama sekali. Jika turut kehilangan Cavero, dia benar-benar akan kehilangan segalanya. Sebagai wanita yang dia cintai, memikirkan hal ini membuat hati Cavero agak prihatin padanya. Nada bicaranya agak melunak. "Sekarang, bilang pada Steve kalau kamu ingin kembali ke timku. Akhir-akhir ini, para investor film terus mendesak agar proyek segera dilanjut ke tahap berikutnya. Bersikap manis, biar aku bawa kamu menemui mereka hari ini. Proyek ini tetap menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya." Rhea tidak menunjukkan sedikit pun ekspresi terharu di wajahnya, berbeda dengan yang Cavero harapkan. Sebaliknya, dia malah tersenyum sinis. "Cavero, apa kamu sudah hubungi penanggung jawab di sana? Memang mereka masih mau kerja sama denganmu kalau tanpa aku?" "Sebenarnya, kamu ingin aku kembali padamu atau kamu terpaksa memintaku kembali demi proyek ini?" Tampak jelas bahwa Cavero terkejut. Matanya seketika menyiratkan sekilas amarah. Entah marah karena kesal atau merasa niatnya diketahui. Apa pun alasannya, semua itu membuat Rhea merasa konyol. Dia tidak berniat menyembunyikan apa yang dia pikirkan, bahkan senyum sinis di sudut bibirnya makin kentara. Mata Cavero menatap langsung ke arahnya, menunjukkan keangkuhan sekaligus meremehkan. "Rhea, biasanya kamu selalu pintar, tapi kenapa tindakanmu begitu bodoh dalam urusan ini?" Meskipun dia sudah berusaha menahan emosi, masih terdengar nada meremehkan dalam suara Cavero. "Mereka setuju kerja sama denganmu hanya karena kamu adalah 'orangku'." Rhea menatap tenang matanya. "Biar kubilang untuk kali terakhir, ya. Aku menegosiasikan proyek ini sendiri, sama sekali nggak ada hubungannya denganmu." Dia rela menyembunyikan kelebihan miliknya demi Cavero, bukan berarti dia tidak punya kelebihan sama sekali. "Aku rela melepas proyek itu kalau kamu memang menginginkannya. Anggap saja ini hadiah perpisahan dariku untuk menghormati hubungan kita selama bertahun-tahun." Cavero agak terkejut, tidak yakin apa dia lebih terkejut dengan perkataan awal Rhea atau keputusan Rhea melepas proyek itu. Seolah-olah bisa menebak pikirannya, Rhea tersenyum tipis. "Kalau aku bisa dapat satu proyek, aku juga bisa dapat proyek kedua, ketiga, dan selanjutnya." "Cavero, kamu bilang aku cuma mengandalkan sumber dayamu, 'kan? Kalau gitu, perhatikan bagaimana aku akan hidup lebih baik tanpa kamu." Cavero mengepalkan tinjunya erat-erat, nyaris tertawa karena kesal dengan keteguhan wanita itu. "Benar-benar keras kepala sampai nggak tahu diri, ya?" "Rhea, jujur saja, kadang aku suka kegigihanmu. Sayangnya, sekarang kamu nggak memanfaatkannya di tempat yang tepat." Ucapan itu membuat Rhea agak mengernyitkan dahinya. Sejujurnya, dia sangat menginginkan proyek ini. Makanya dia tetap datang hari ini, meskipun dia tidak ingin berurusan lagi dengan Cavero. Namun, dia tahu betul bahwa Cavero sangat ingin melakukan perubahan dan proyek ini adalah kuncinya. Jadi, kemungkinan besar Cavero tidak akan melepaskannya. Ketika Cavero menolak memberinya proyek ini, Rhea sudah menduganya. Karena pembicaraan itu tidak membuahkan hasil dan merasa tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sana, Rhea pun berbalik pergi. "Jangan biarkan dia pergi!" teriak Siena sambil mencoba menghentikan Rhea. Rhea menatap dingin gadis di hadapannya yang sama sekali tidak punya sopan santun, persis seperti orang sinting. Bertahun-tahun diajari bertata krama oleh guru dan seniman-seniman ternama, semua ilmu itu seperti lenyap ditelan bumi. Melihat ini, Cavero juga tidak bisa menahan diri untuk mengernyit. Namun, Siena tampak tidak peduli dengan reaksi keduanya dan tetap lantang berteriak, "Kak, aku datang hari ini buat buka topeng palsunya. Apa kamu tahu yang dia lakukan?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.