Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 15

Zane tampak terkejut mendengar kata-kata tersebut. Pandangannya yang dingin menyapu wajah Siena tanpa menunjukkan emosi apa pun. Tina juga terkejut dan segera bertanya, "Oh, ternyata hari ini juga ulang tahun Siena? Kalau begitu, nasi tumpeng yang Tante Zirca berikan padaku tadi pagi bukan sisaan Siena, 'kan?" "Tentu saja bukan. Aku membuatnya khusus untukmu, Nona Tina," ujar Tante Zirca seakan tidak peduli dengan perasaan Siena. Tina melihat mata Siena yang berkaca-kaca dan berkata dengan lembut, "Kalau begitu, Tante Zirca juga harus membuatkan tumpeng untuk Siena. Dia pasti akan sedih kalau nggak ada yang membuatkannya di hari ulang tahunnya." Dengan raut wajah yang terlihat tidak tulus, Zirca pun berkata, "Oke, nanti aku akan buat untuknya." Siena tersenyum getir mendengar ucapan Ibunya. Seumur hidupnya, dia belum pernah makan tumpeng buatan Ibunya! Dia pun tidak menghiraukan mereka lagi dan memilih untuk pergi. Zane menatap punggung kurus Siena yang makin menjauh. Saat ini, sorot matanya yang biasanya dingin penuh dengan kilatan menyelidik dan kerumitan. Apakah barusan dia sudah terlalu kasar padanya? Tidak! Wanita yang penuh tipu daya dan tidak tahu malu itu tidak pantas dikasihani! Dian mengejar Siena dengan terengah-engah dan berkata dengan marah, "Siena, kenapa Ibumu bersikap seperti itu? Selain itu, apa Zane nggak bisa melihat? Kenapa dia bisa suka sama Tina yang penuh sandiwara itu?" Siena berusaha tersenyum padanya, lalu berkata, "Nggak apa-apa. Kamu nggak usah marah-marah hanya karena mereka." Namun, Dian terkejut ketika melihat wajah Siena yang tiba-tiba pucat. "Siena, ada apa denganmu? Kenapa wajahmu pucat sekali? Apa kamu sakit?" Siena menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Perutku agak sakit, aku mau pulang dulu buat istirahat, ya." "Ya sudah, sana pulang dulu. Jangan terlalu memikirkan kejadian hari ini, ya!" "Oke, kamu juga jangan marah-marah, ya." Setibanya di kediaman keluarga Lucian, Siena langsung membungkus dirinya dengan selimut tipis. Dia merasa sangat kedinginan, tetapi badannya terasa panas. Dia meringkuk di lantai, sementara matanya yang berkaca-kaca menatap daun-daun yang bergoyang tertiup angin di luar jendela. Saat ini langit mendung, pertanda hujan akan segera turun. Suasana hatinya terasa seperti cuaca hari ini yang mendung dan penuh dengan kesedihan yang mendalam. Sore harinya, Zane akhirnya kembali. Dari jendela gedung utama, tanpa sengaja dia melihat ke paviliun kecil. Loteng itu gelap gulita, seakan tidak ada orang di dalamnya. Dia pun memanggil pelayan dan bertanya dengan santai, "Wanita itu sudah pulang?" Pelayan itu terkejut, lalu menyadari siapa orang yang dimaksud oleh Zane. Kemudian, dia pun menjawab, "Sudah sejak tadi, tapi sampai sekarang belum keluar juga." Zane tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi dia langsung teringat akan kejadian di mal tadi. Entah mengapa, tatapan Siena yang penuh tekad dan kesedihan terus terbayang di pikirannya dan membuatnya merasa agak gelisah. Pelayan itu memandang Zane, lalu bertanya dengan hormat, "Pak Zane, makan malam akan segera disajikan. Apa ada makanan tertentu yang Anda inginkan? Saya akan segera sampaikan ke dapur." Zane menggelengkan kepalanya. Namun, tiba-tiba dia mengingat sesuatu dan segera berkata kepada pelayannya, "Buatkan tumpeng saja." "Tumpeng?" "Hmm. Tumpeng ... untuk ulang tahun." Pelayan itu tampak terkejut dan bertanya, "Apa hari ini ada yang berulang tahun?" Zane menoleh ke arah loteng dan menjawab dengan tenang, "Nggak ada." Saat ini, Siena merasa sangat tidak enak badan dan kesadarannya pun mulai kabur. Namun, seseorang terus mengetuk pintu kamarnya. Dengan susah payah, Siena pun mencoba untuk bangkit. Ketika pintu dibuka, Zane berdiri di depan pintu dengan ekspresi dingin seraya berkata, "Ini kamarku, beraninya kamu mengunciku di luar!" Siena merasa sangat pusing dan berdiri dengan terhuyung-huyung. Saat ini, suasana hatinya sedang buruk. Jadi, saat melihat pria itu, dia lupa akan rasa takutnya dan hanya ada rasa kesal yang menyelimuti perasaannya. "Kamu bisa saja mengusirku. Aku nggak akan keberatan," ucapnya dengan suara serak. Namun, sikapnya yang tampak sombong itu langsung membangkitkan amarah Zane. Tatapan Zane tiba-tiba menjadi dingin dan dia berkata dengan nada mengancam, "Jangan kira karena ada perlindungan dari Nenekku, lantas aku nggak berani melukaimu, ya!" "Selain itu, siapa yang memberimu keberanian untuk mempermalukan Tina?" "Ingat baik-baik kalau pernikahan dan kedudukanmu sekarang ini dirampas darinya! Jadi, apa hakmu untuk mempermalukannya?" Huh! Tina lagi! Selain Ibunya yang selalu memihak Tina, suaminya pun juga selalu melindungi Tina! Namun, utang budi seperti apa yang Zane miliki pada Tina? Siena mentertawakannya dengan tawa yang aneh dan penuh sindiran ... Zane pun perlahan menyipitkan matanya dan berpikir bahwa wanita ini sepertinya sudah gila! Saat ini, Siena merasa tidak enak badan dan hatinya penuh dengan kekecewaan, sehingga semua keluhan dan amarahnya ingin segera dikeluarkan. Tanpa memikirkan akibatnya, dia pun berteriak pada pria itu, "Apa kamu pikir aku suka dengan pernikahan konyol dan identitas palsu ini? Kalau kamu punya kemampuan, batalkan saja perjanjian itu agar kita bisa bercerai sekarang juga!" "Tapi, kamu pasti sadar kalau kamu nggak punya kemampuan untuk membatalkan perjanjian itu! Itulah sebabnya kamu menyalahkanku karena nggak bisa menikahinya!" "Kalian semua terus menyalahkan dan memarahiku karena nggak bisa melakukan apa-apa! Pada akhirnya, kamu memang orang yang nggak berguna dan nggak kompeten ... uh ... " Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, leher Siena tiba-tiba dicekik oleh tangan yang besar. Punggungnya membentur panel pintu yang keras, sehingga membuatnya merasakan sakit yang tajam. Saat ini, Zane menatapnya dengan sorot mata yang dingin dan juga penuh dengan niat membunuh. "Apa kamu sadar dengan ucapanmu itu?" Pria itu tampak seperti iblis yang sedang marah dan cengkeraman tangannya makin kuat. Siena pun makin kesulitan untuk bernapas. Dia menangkap niat membunuh di mata pria itu dan untuk pertama kalinya merasakan ketakutan akan kematian yang mencekam. "Aku memang takut pada Nenekku, tapi kalau aku benar-benar ingin melenyapkanmu, aku bisa melakukannya sekarang juga!" Karena ketakutan, tubuh Siena langsung gemetar hebat. Dia mungkin sudah kehilangan akal dan lupa bahwa pria di hadapannya adalah Zane, sosok yang ditakuti oleh semua orang di Janaira. Tiba-tiba, tubuhnya dilemparkan ke lantai oleh pria itu. Kemudian, pria itu menatapnya dengan pandangan meremehkan seraya berkata, "Jangan terlalu menganggap dirimu penting!" Setelah pria itu pergi, Siena meringkuk di lantai dengan tubuh gemetar sambil memegangi perutnya yang sakit. Dia tidak ingin tinggal bersama keluarga Lucian lagi! Dia juga tidak menginginkan anak yang ada dalam kandungannya! Dia tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengan pria kejam itu! Sayang, maafkan Ibu! Seorang anak yang tidak diinginkan kelahirannya pasti akan menghadapi masa depan yang suram. Jadi, lebih baik sejak awal anak ini tidak perlu dilahirkan. Siena menangis tersedu-sedu dan hatinya penuh dengan rasa sakit. "Bu Safira, Bu Siena bilang dia nggak lapar dan nggak mau makan malam." Nenek Safira mengerutkan kening dan langsung menatap Zane dengan tidak senang. Dengan wajah datar, Zane mencicipi nasi tumpeng di piringnya, lalu berkata pada pelayan, "Buang semua makanan ini!" Ketika melihat ekspresi suram Zane, pelayan itu tidak bisa berkata-kata lagi dan segera mengambil semua makanan di atas meja dan membuangnya. Saat tengah malam, Zane pulang dalam keadaan agak mabuk. Begitu masuk kamar, matanya tertuju pada wanita yang meringkuk di lantai. Tiba-tiba, wanita itu terbangun karena merasa terganggu dengan kehadirannya. Namun, Zane segera pergi menuju kamar mandi. Saat itu, Siena merasa sangat tidak nyaman karena tubuhnya terasa sangat dingin dan perutnya sakit. Dia sepertinya melihat sosok Zane, tetapi sebelum sempat mencari tahu kebenarannya, dia sudah kembali tertidur. Setelah mandi, Zane berbaring di tempat tidur. Namun, Siena yang tidur di lantai mulai mengeluh kedinginan, sehingga mengganggu ketenangannya. "Berisik sekali! Aku akan mengusirmu kalau kamu terus mengeluh!" Zane mengancam dengan tegas. Namun, wanita itu seakan tidak mendengar ucapannya dan terus merintih kedinginan. Zane pun segera menyalakan lampu tidurnya. Saat melihat alis wanita itu mengerut dan wajahnya tampak kesakitan, dia urungkan niatnya untuk memarahinya. Setelah bangkit dari ranjang, Zane pun berteriak pada wanita itu, "Bangun!" Namun, wanita itu tidak menanggapinya dan hanya meringkuk sambil merintih kesakitan. Dengan perasaan kesal, Zane segera berjongkok dan menyentuh dahi wanita itu. Dahinya agak panas, tetapi wanita itu terus mengeluh kedinginan. Dia yakin wanita itu demam, tetapi dia tidak terlalu mengkhawatirkannya. Namun, suara rintihannya membuat Zane tidak bisa tidur. Dia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Namun, tiba-tiba dia berhenti. Saat teringat bahwa Neneknya selalu menjaga wanita ini, dia pun kembali. Dia menatap wanita itu dengan tajam dan setelah berpikir cukup lama, dia pun mengangkat Siena beserta selimut tipisnya ke tempat tidur. Namun, selimut tipis itu tiba-tiba terjatuh dan menyandung kakinya. Seketika itu juga, dia jatuh ke tempat tidur bersama wanita itu.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.