Bab 11
Begitu pintu kamar mandi terbuka, teriakan nyaring menggema di seluruh paviliun kecil itu.
Ketika melihat sosok wanita di depannya, wajah Zane menjadi pucat dan pelipisnya berdenyut.
Dia pun menggertakkan giginya dan berkata dengan lirih, "Pakai pakaianmu dan keluar sekarang juga!"
Siena gemetar ketakutan.
Saat itu juga, dia pun buru-buru mengenakan piamanya. Namun, begitu keluar dari kamar mandi, lehernya langsung dicengkeram dengan kuat dan tubuhnya disandarkan ke dinding.
"Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?" seru Zane dengan penuh amarah. "Apa nggak ada yang kasih tahu kamu kalau nggak ada yang boleh masuk kamarku tanpa izin?"
Bibir Siena bergetar. Karena terlalu takut melihat sikap Zane, suaranya pun seperti tersangkut di tenggorokannya dan dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Namun, tiba-tiba piamanya tergelincir, sehingga bekas tanda cinta mereka waktu itu terlihat dengan jelas.
Zane menatap sekilas dan merasa jijik saat melihatnya.
Dia pun tiba-tiba menarik tangan Siena dan berseru dengan tegas, "Pergi dari sini!"
Karena merasa takut dengan sikap Zane, Siena pun segera pergi dari tempat itu.
Tanpa disadari, di luar hujan turun dengan deras.
Cuaca dingin karena hujan pun menusuk sampai ke tulang.
Siena berdiri sendiri di halaman yang luas dan meringkuk kedinginan.
Matanya memerah, hatinya dipenuhi penyesalan dan kepahitan. Dia ingin menangis sejadi-jadinya, tetapi tidak bisa.
"Siena ... Siena ... "
Nenek Safira datang dengan tergesa-gesa, lalu menarik Siena dengan cemas. "Di luar hujan, kenapa kamu berdiri di sini? Apa Zane memarahimu? Anak itu memang sudah keterlaluan! Aku akan memberinya pelajaran!"
Siena meraih tangan Nenek Safira, lalu berkata dengan suara terisak, "Nenek, kenapa Nenek nggak memberitahuku kalau tempat ini adalah tempat tinggalnya?"
Seandainya dia tahu, dia pasti tidak akan mau pindah ke sini.
Nenek Safira merasa bersalah, lalu dia menghela napas panjang seraya berkata, "Kamu sudah menikah dengan Zane, jadi kamu harus tinggal bersamanya. Tapi, aku nggak menyangka kalau dia bersikap sekasar ini padamu. Siena, tolong jangan menangis. Nenek pasti akan menegurnya."
"Huh! Ternyata kamu hebat juga. Aku nggak menyangka kalau kamu bisa membuat Zane berbuat kasar pada seorang wanita," ujar Linda dengan nada mengejek.
Namun, Nenek Safira menatap tajam ke arahnya seraya berkata dengan tegas, "Tutup mulutmu!"
Kemudian, Nenek Safira mengajak Siena masuk ke loteng dan berkata, "Jangan takut. Nenek ada di sini. Nenek nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi!"
Akan tetapi, Siena buru-buru menarik tangannya. Dia sangat takut pada Zane dan tidak ingin berada di ruangan yang sama dengan pria itu.
Ketika melihat penolakan Siena, Nenek Safira hanya bisa menghela napas sambil berkata, "Kalian baru menikah. Masih ada banyak jalan yang harus kalian lalui. Apa kalian akan terus seperti ini?"
Kata-kata 'masih banyak jalan' membuat Siena merasa putus asa.
Di kamar utama, Zane bersandar di kursi sambil beristirahat.
Wajahnya terlihat murung dan alisnya pun mengerut tajam.
Tangannya yang panjang dan ramping tergeletak di sandaran kursi dan setiap gerakannya terlihat sangat anggun.
Wajahnya sangat tampan dengan garis rahang yang tegas. Dari sudut mana pun, dia terlihat sangat menarik sehingga membuat orang lain tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Beberapa kancing kemejanya terbuka dan memperlihatkan tulang selangkanya yang indah.
Kakinya yang jenjang serta tubuhnya yang proporsional benar-benar membuatnya terlihat sempurna.
Sejak malam itu, Siena tahu bahwa tubuh pria itu memang sangat bagus.
Meskipun temperamennya buruk, Zane adalah tipe pria yang membuat banyak wanita jatuh cinta.
Sayangnya, kekejaman dan kebengisannya menutupi semua ketampanannya.
Siena berdiri di ambang pintu kamar dan ragu-ragu untuk masuk.
Nenek Safira menggelengkan kepala dengan pasrah, lalu memutuskan untuk masuk lebih dulu. Namun, ketika baru melangkah, suara keras Zane langsung terdengar. "Kalau kamu masih sayang dengan nyawamu, cepat segera pergi dari sini sekarang juga atau aku akan membunuhmu!"
Raut wajah Nenek Safira langsung berubah menjadi dingin dan beliau pun segera berkata,"Siapa yang akan kamu bunuh? Kenapa kamu hobi sekali mengancam akan membunuh seseorang? Apa kamu punya dendam dengan semua orang di muka bumi ini?"
Zane mengerutkan keningnya saat melihat kedatangan Nenek Safira dan dia pun segera duduk dengan tegak. Kemudian, tatapan matanya melewati Nenek Safira dan jatuh kepada Siena.
"Apa kamu pikir dengan adanya Nenek di sini aku nggak berani berbuat apa-apa padamu?"
Saat mengingat tatapan penuh kebencian dan niat membunuh dari Zane, tubuh Siena langsung gemetar.
Nenek Safira yang melihat sikap kasar cucunya pun tampak sangat marah dan segera menegurnya, "Kalau kamu terus bersikap kasar pada Siena, aku nggak akan pernah membiarkanmu bercerai seumur hidupmu!"
Zane tersenyum menyeringai, lalu berkata dengan nada mencibir, "Dengan adanya surat perjanjian itu, bukankah itu artinya aku memang nggak akan pernah bisa bercerai?"
Nenek Safira mengerucutkan bibirnya, lalu menjawab, "Aku akan memberi waktu tiga tahun. Kalau kalian berdua belum saling jatuh cinta dalam waktu tiga tahun, aku akan membatalkan perjanjian itu dan kalian bisa bercerai."
Mata Siena bersinar, seolah melihat secercah harapan.
Namun, Zane yang cerdas pun langsung bertanya, "Apa syaratnya?"
"Syaratnya adalah kamu nggak boleh mengusir Siena dari kamar lagi! Selain itu, kamu juga nggak boleh bersikap kasar padanya!"
Zane tampak sangat keberatan dengan syarat itu.
Nenek Safira mendengkus, lalu kembali berkata, "Kalau kamu nggak bisa melakukannya, maka perjanjian tiga tahun ini pun batal."
Inilah kelonggaran terbesar yang bisa Nenek Safira berikan padanya.
Seperti kata pepatah, cinta akan tumbuh karena terbiasa. Beliau percaya bahwa dalam waktu tiga tahun, Zane dan Siena pasti akan saling jatuh cinta.
Hingga Nenek Safira pergi, Siena masih terpaku di depan pintu kamar.
Zane merapikan kancing kemejanya, lalu berkata dengan nada kasar, "Apa kamu sengaja nggak mau masuk biar Nenek mengira aku mengusirmu lagi? Dengan begitu, perjanjian tiga tahun itu bisa dibatalkan dan kamu bisa terus menjadi Nyonya Muda keluarga Lucian?"
Siena sangat marah mendengar ucapan Zane, tetapi dia berusaha meredamnya dengan menarik napas dalam-dalam.
Dia tidak pernah menyangka bahwa di dunia ada seseorang yang bisa berbicara dengan sangat kasar seperti itu.
Dalam hatinya, dia bersumpah tidak akan pernah menaruh perasaan pada pria ini!
Namun, tiba-tiba Zane berjalan mendekat ke arahnya.
Pria itu berdiri di hadapannya, lalu sengaja mengembuskan asap rokok ke wajah Siena. Kemudian, dia menatapnya dengan tatapan meremehkan saat melihat piama Siena yang berantakan. "Aku tahu persis apa yang kamu pikirkan. Tapi, jangan buang-buang tenagamu karena aku nggak akan pernah menyentuhmu seumur hidupku!"
"Aku tahu kamu sudah nggak suci lagi!"
Siena mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
Ingatan tentang kegilaan Zane pada malam itu tiba-tiba menyeruak dalam pikirannya.
Perilakunya saat itu sangat bertolak belakang dengan ucapannya sekarang.
Bisa-bisanya pria itu mengatakan bahwa dirinya sudah tidak suci lagi padahal dialah yang sudah menidurinya!
Siena ingin sekali mentertawakan Zane yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah menyentuhnya seumur hidup, padahal dia sudah melakukannya.
Namun, ketika melihat tatapan dingin dan penuh kebencian pria itu, Siena langsung mengurungkan niatnya. Jika dia nekat melakukannya, dia mungkin akan kehilangan nyawanya.
Di bawah tatapan dingin pria itu, Siena berusaha keras untuk menekan pikiran gilanya.
Dia pun menundukkan kepala dan memilih untuk diam.
Zane juga tidak lagi mengganggunya dan hanya memberikan peringatan padanya. "Jangan berani-berani naik ke tempat tidurku! Cari tempat tidurmu sendiri!"
Setelah mengatakan hal tersebut, pria itu langsung pergi.
Siena pun akhirnya bisa bernapas dengan lega.
Kemudian, dia segera masuk ke kamar dan melihat sekeliling. Satu-satunya area kosong di kamar itu adalah di samping tempat tidur. Jadi, dia berpikir untuk menggelar kasur lipat di sana.
Namun, setelah mencari-cari di lemari, dia hanya menemukan dua selimut tipis.
Satu selimut dia gunakan untuk alas tidur, sementara satunya lagi dia gunakan sebagai selimut.
Meskipun cuaca agak dingin, dua selimut tipis itu sudah sangat membantu menghangatkannya daripada tidak ada selimut sama sekali.
Kemudian, Siena meringkuk di bawah selimut tipis itu.
Dia menatap tempat tidur yang hangat dan empuk di sampingnya, lalu mengerucutkan bibirnya dengan sedih.
Dia harus bertahan selama tiga tahun. Jika dia bisa melewatinya, dia bisa bebas dari penderitaan ini.
Keesokan harinya, Siena terbangun dan mendapati tempat tidur yang ada di kamar itu masih rapi.
Sepertinya semalam Zane tidak kembali ke kamar untuk tidur di sana.
Siena merasa lega dan bahkan berharap hal itu bisa terus berlanjut.
Karena saat ini dia belum bisa bercerai dengan Zane, dia pun memutuskan untuk fokus mencari cara agar bisa bekerja di lokasi proyek konstruksi terlebih dahulu.
Beberapa waktu lalu, bos baru lokasi proyek konstruksi itu sudah setuju untuk memberinya pekerjaan. Jadi, hari ini dia berencana untuk pergi ke sana untuk mencoba keberuntungannya dan bertemu dengan bos tersebut
Di rumah utama, Nenek Safira meminta kepala pelayan untuk memanggil Siena untuk sarapan.
Namun, kepala pelayan mengatakan bahwa Siena sudah pergi sejak pagi.
Seketika itu juga, Nenek Safira langsung menoleh ke arah Zane.
Zane yang sedang menikmati susunya pun segera berkata dengan nada kesal, "Kenapa Nenek menatapku? Bukan aku yang menyuruhnya untuk nggak sarapan."
Nenek Safira mendengkus dan memberikan perintah dengan tegas, "Mulai besok, kamu dan Siena harus sarapan bersama! Kalau dia nggak datang, kamu juga nggak boleh makan!"
Saat mendengar pernyataan Nenek Safira, alis Zane mengerut dan wajahnya menjadi muram.
Kemudian, dia berkata dengan tegas, "Nenek, aku ini cucu kandungmu."
"Siena juga cucuku!" balas Nenek Safira tidak kalah tegas.
Zane tampak sangat kesal dan langsung membanting serbet di meja. Kemudian, dia tersenyum sinis pada Nenek Safira seraya berkata, "Aku akan melenyapkannya!"
Namun, Nenek Safira dengan tenang membalas, "Kalau Siena sampai menghilang tanpa alasan, aku juga akan melenyapkan putri keluarga Trenz!"
Zane tersenyum menyeringai dan berkata, "Nenek, sepertinya kekejamanku turun dari dirimu."
…
"Maaf, kami nggak merekrut pekerja wanita di lokasi proyek konstruksi kami."
Siena melirik sekelompok pekerja wanita yang tidak jauh darinya dengan bingung, tetapi dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Dia yakin masalah ini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi lokasi proyek konstruksi ini memang sengaja menolak untuk mempekerjakannya.
Makin dalam dia mengamati situasi yang terjadi, makin yakin pula dirinya bahwa ada kejanggalan yang terjadi di lokasi proyek konstruksi tersebut.
Sepertinya satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk bekerja di lokasi proyek konstruksi ini adalah dengan meminta bantuan bos baru yang sebelumnya telah berjanji akan membantunya.
Saat dia sedang merenungkan langkah selanjutnya, tiba-tiba sebuah mobil Rolls-Royce mewah melaju mendekat.