Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Apa yang sedang terjadi? Hugo menatap lemah ke arah jantung yang telah dicabut dari tubuhnya, masih terhubung dengan pembuluh darah dan jaringan. Kepalanya terasa kacau, tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi. Ia ingin bertanya, tetapi rasa sakit yang mencekik di tenggorokan dan paru-parunya membuat setiap tarikan napas bagaikan siksaan. Ketika dia membuka mulut, darah segar langsung menyembur keluar. Darah itu mengenai wajah Andora. Namun bukannya menghindar, gadis itu justru menjulurkan lidah, menjilat darah yang menempel di sudut bibirnya dengan penuh kenikmatan. "Sepertinya aku nggak salah pilih orang ... kamu memang istimewa. Maafkan aku, rencananya aku ingin memberimu sedikit kenikmatan sebelum menghabisimu." Andora menunduk, membawa jantung yang masih berdenyut itu lebih dekat ke wajah Hugo. "Tapi aku benar-benar nggak bisa menahan diri. Salahkan saja aromamu yang begitu menggoda." Ia membuka mulut, menampilkan deretan gigi tajam seperti rahang hiu mengerikan yang merusak kecantikannya. Rasa sakit dan ketakutan menggerogoti diri Hugo. Namun di tengah penderitaan itu, otaknya tiba-tiba memunculkan sebuah pertanyaan. Kenapa jantungku sudah dicabut, tapi aku masih hidup?' Tubuhnya terasa lumpuh, tidak sanggup bergerak sedikit pun. Hugo hanya bisa menyaksikan monster di depannya menusukkan gigi tajamnya ke jantungnya sendiri, mengisap darah yang menyembur seperti seorang pemangsa lapar. Namun perlahan, gerakan Andora terhenti. Mulutnya penuh dengan darah, bau karat dari amis darah memenuhi udara. "Ada apa ini? Kenapa Inti Kristal-mu nggak ada di dalam jantung?" Jelas sekali, dia gagal mendapatkan apa yang dia inginkan. Tatapannya berubah dingin. Apa … Inti Kristal? Hugo yang sudah berada di ambang batas kesadaran hampir tidak bisa memahami apa yang baru saja dikatakannya. Tiba-tiba, mata Andora berbinar seolah mendapatkan pencerahan. Sebuah senyum penuh arti dan sangat mengerikan menghiasi wajahnya. "Aku tahu di mana Inti Kristal-mu berada." Andora duduk di atas tubuh Hugo, membungkukkan badannya sedikit, sementara tangannya dengan lembut bergerak menyentuh paha Hugo. Dengan gerakan menggoda, dia memainkan pinggiran celana Hugo dengan kuku tajamnya. "Baiklah, aku akan memuaskanmu." Hugo berusaha sekuat tenaga untuk melawan, mati saja tidak masalah, tapi dipermalukan seperti ini, dia sungguh tidak terima. Namun tubuhnya bahkan tak mampu bergerak, setiap gerakan sekecil apa pun memicu rasa sakit yang luar biasa. Dia hanya bisa mencoba mengarahkan pikirannya untuk mencari jalan keluar. Hugo perlahan menoleh, mencari sesuatu yang bisa membantunya dalam situasi ini. Sayangnya, tidak ada apa pun di sekitarnya yang bisa membantunya keluar dari situasi ini. Putus asa, pandangannya akhirnya terarah ke luar jendela. Rasa sakit yang menyiksa perlahan mereda, digantikan oleh perasaan kosong yang hampir mati rasa. Dia bahkan hampir tidak merasakan apa yang sedang dilakukan Andora padanya. Dia tidak ingin mati, jadi jika ada Tuhan di dunia ini, tolong selamatkan dirinya. Saat ini juga, sebuah sosok muncul di luar jendela, seolah menjawab doa Hugo. Sosok itu muncul di bawah sinar bulan, terlihat begitu cantik dan bersinar. Hugo mengira itu hanya halusinasinya. Namun, dalam penglihatannya yang kabur, dia melihat gadis di luar jendela itu tersenyum tipis padanya, lalu mengangkat satu jari. Memberi isyarat agar diam. Hugo tak sempat bereaksi. Gadis itu menerobos masuk melalui jendela. Saat kaca pecah dan berserakan di lantai, sosok yang baru saja masuk itu dengan cepat menyerang Andora. "Tutup matamu." Sebuah suara tenang, tetapi merdu menyapa pendengaran Hugo. Suara itu seperti memiliki kekuatan magis, Hugo langsung menutup matanya. Tak lama setelah itu, dia mendengar jeritan Andora dan suara tajam logam yang mengoyak daging. Lalu, teriakan pendek dan menyakitkan dari Andora mengisi udara. "Sudah, buka matamu." Suara itu terdengar lagi. Hugo membuka matanya dengan lemah, berusaha mengenali sosok pemilik suara yang baru saja didengarnya. Wajah itu perlahan menjadi jelas dalam pandangannya. Seorang gadis dengan paras dingin nan sempurna, dihiasi rambut hitam panjang yang tergerai bak air terjun. Dia mengenakan seragam hitam-putih yang membingkai tubuhnya yang ramping tetapi memikat. Terutama bagian dadanya yang menonjol, membuat Hugo, meski dalam kondisi lemah, sulit untuk mengalihkan pandangannya. Di bawah sinar bulan, Hugo akhirnya mengenali siapa gadis itu. Winona Lavin. Dia adalah teman sekelas Hugo di kampus. Hugo jarang bertegur sapa dengan gadis itu selama ini. Dalam ingatan Hugo, Winona selalu ceria, penuh tawa, dan menjadi pusat perhatian di kelas. Tawanya selalu jernih dan merdu, seperti lonceng kecil di musim semi, membawa kebahagiaan bagi siapa saja yang mendengarnya. Namun, Winona yang berdiri di hadapannya sekarang sangat berbeda dari gambaran yang tersimpan di ingatan Hugo. Dia berdiri di tepi jendela, memegang sebuah sabit raksasa yang panjangnya hampir melebihi tinggi tubuhnya. Darah merah pekat menetes dari ujung bilah sabit itu. Darah itu berasal dari Andora, yang kini terkapar tak bernyawa dengan tubuh terbelah dua. Andora. Tidak, monster itu sudah mati. "Target sudah dikonfirmasi sebagai orang yang terinfeksi tingkat lanjut. Kode namanya, Arthopoda." "Eksekusi selesai. Dewa Kematian sudah menyelesaikan tugas dan sedang melakukan penyelidikan di lokasi." Dia melangkah dengan tenang melewati mayat Andora, darah di lantai seakan tak memengaruhinya sama sekali. Dalam satu gerakan ringan, dia mendekati Hugo yang masih terbaring tak berdaya sambil melapor melalui earphone. "Tambahan, ada warga sipil yang jadi korban dalam insiden ini." Winona berjongkok di sisi Hugo, matanya yang dingin menatap luka menganga di dadanya. Dia mengangkat tangan, dengan lembut menyentuh wajah Hugo. "Korban dipastikan nggak akan selamat. Tolong minta tim logistik untuk segera turun tangan. Dewa Kematian akan segera meninggalkan lokasi. Laporan selesai." Tangan Winona kemudian menyentuh tangan Hugo yang lemas, menggenggamnya dengan lembut. Melihat mata Hugo yang tetap terbuka, dia menghela napas panjang, seolah menyampaikan rasa belasungkawa. Dengan penuh kehati-hatian, dia meletakkan tangan Hugo di dadanya sendiri. "Semoga jiwamu tenang. Semoga di kehidupan berikutnya, kamu terbebas dari penderitaan ..." Namun, di saat ini … "Aku belum mati, tahu." Hugo, yang hanya terlalu terkejut untuk berbicara, akhirnya mengumpulkan keberanian untuk membuka mulutnya. Winona tersentak kaget, dia kira Hugo sudah mati. "Aaah!" Winona melonjak kaget, bahkan sampai jatuh terduduk di lantai. Dalam panik, sabit raksasanya secara refleks bergerak, bilah tajamnya nyaris menyentuh leher Hugo. "Kok kamu masih hidup?" "Aku juga nggak tahu. Barusan aku pikir aku bakal mati, tapi entah kenapa aku nggak bisa menyerah begitu saja. Rasanya kayak ... nggak bisa mati, gitu." Wajah Winona memerah, karena malu maupun kejutannya yang belum hilang sepenuhnya. Tangannya yang satu tetap memegang gagang sabit, sementara tangan lainnya bergerak, menyentuh jantung Hugo yang terekspos, masih berdarah namun tak lagi berdetak. "Nggak ada tanda infeksi, nggak ada indikasi kebangkitan juga. Jantungmu jelas-jelas hancur, tapi ... kamu tetap hidup." Dia berlutut di sisi Hugo, matanya berbinar seperti menemukan sesuatu yang sangat menarik. Winona mengetuk kepala Hugo dengan gagang sabitnya, lalu mengulurkan jari untuk menyentuh luka menganga di dada Hugo, seolah mempelajari fenomena yang tak biasa itu. "Gimana rasanya?" "Lumayan, baru pertama kali ngalamin." Winona terdiam, kebingungan. Dia mempertimbangkan apakah situasi ini perlu dilaporkan atau tidak. Jika tim logistik datang dan melihat kondisi Hugo yang tak wajar, mereka kemungkinan besar akan langsung menganggapnya sebagai infeksi tingkat lanjut dan mengeksekusinya di tempat. Namun, nalurinya berkata lain. Hugo tidak memiliki aroma yang biasanya dimiliki oleh mereka yang terinfeksi. "Kamu masih sadar sepenuhnya?" "Masih, tapi dada ini dingin sekali rasanya." Begitu Hugo mengucapkan kata-katanya, tawa ringan keluar dari bibir Winona. "Kamu bodoh, ya? Itu karena dada dan perutmu bolong, tahu!" Hugo tak tahu harus bagaimana menanggapi. Tawa itu membuat Hugo terpaku. Raut wajah Winona yang dingin dan tegas tadi kini berubah total. Lengkungan alisnya membingkai mata yang bersinar penuh tawa, seperti dua bulan sabit yang bercahaya. Fitur wajahnya yang indah memancarkan pesona alami, dengan hidung mungil yang sedikit mengerut saat dia tertawa, serta lesung pipi halus yang samar-samar terlihat. Senyumnya menjadi begitu menawan, memancarkan keceriaan khas seorang gadis muda. Aura dingin yang tadi menyelimutinya lenyap, berganti dengan kehangatan dan kelincahan yang memikat. Hugo sebenarnya ingin bertanya, "Kamu ingat aku ini teman sekelasmu, 'kan?" Namun, sebelum kata-kata itu keluar, Winona tiba-tiba mengangkat tangan dan menutup telinganya, seperti sedang mendengarkan sesuatu dari earphone yang dia kenakan. "Dewa Kematian, kenapa sinyalmu masih terdeteksi di lokasi? Apakah ada kejadian khusus?" Suara dari earphone itu membuyarkan senyum di wajah Winona. Dia segera berdiri, melangkah ke dekat jendela, dan memandang keluar sejenak. Setelah beberapa detik berpikir, dia menoleh sedikit ke arah Hugo, kemudian melaporkan dengan suara tenang. "Dewa Kematian memperbarui laporan situasi. Ditemukan seorang warga sipil dengan kondisi tubuh yang nggak biasa. Jantungnya terlepas dan hancur, tetapi nggak ada tanda-tanda kematian atau gejala akan meninggal." "Nggak ada tanda-tanda akan bangkit juga." "Dewa Kematian, tetaplah di dekatnya dan awasi dia. Kalalu ada sedikit saja tanda-tanda infeksi, segera eksekusi. Gelombang Binatang Buas sudah akan datang, kita nggak boleh lengah." "Pengawasan tanpa henti selama 24 jam?" Winona bertanya untuk memastikan. "Benar. Masa observasi akan berlangsung selama satu minggu. Kalau dalam waktu itu nggak ada perubahan pada tubuhnya, bawalah dia ke markas." "Mengerti. Laporan selesai." Setelah komunikasi itu terputus, Winona menarik napas panjang, tampak sedikit lega. Hugo memperhatikan sosoknya yang berdiri di dekat jendela, tubuhnya diterangi sinar bulan, sabit besar masih digenggam erat di tangannya. Percakapan di earphone tadi terdengar begitu asing bagi Hugo. Masa observasi? Infeksi? Kebangkitan? Kata-kata itu terasa tak masuk akal, tetapi yang lebih aneh adalah kenyataan bahwa Hugo bisa mendengar percakapan dari earphone Winona meski seharusnya tidak mungkin. Pendengarannya terasa jauh lebih tajam dari sebelumnya. "Tunggu sebentar." Winona berbalik, melirik Hugo yang terbaring di sofa. Dia kemudian mengeluarkan selembar kertas jimat kekuningan dari kantong kecil di pinggangnya. Jemarinya yang lentik memegang jimat itu erat. Dia memejamkan mata, bibirnya bergerak pelan, melantunkan mantra dengan suara rendah. "Jalan Surga yang agung, hapuskan kepalsuan yang melingkari dunia ini. Jangan biarkan suara terdengar, jadikan itu terlarang. Jangan biarkan dia diungkapkan, jadikan itu terhenti. Jangan biarkan dia didengar, jadikan itu sirna." Setelah mantra selesai, dia mengangkat tangannya dengan gerakan anggun. Jimat itu melayang ke udara, lalu terbakar dalam sekejap. Abu dari jimat itu berubah menjadi bayangan hitam pekat, seperti jiwa-jiwa gelap yang bergerak liar. Bayangan itu segera mengerumuni tubuh Andora yang sudah tak bernyawa, melahapnya tanpa ampun, seolah menemukan mangsa. Dalam hitungan detik, tidak ada yang tersisa dari tubuh Andora, bahkan serpihan terkecil pun lenyap tanpa jejak. Hugo menelan ludah, ngeri melihat pemandangan itu. Namun, yang lebih mencengangkan baginya adalah ketika bayangan-bayangan gelap itu tidak mendekatinya. Mereka malah menghilang perlahan, seolah telah puas setelah pesta makan mereka, menguap ke udara dan hilang begitu saja.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.