Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1

"Aku … aku mau mandi dulu. Kamu jangan ngintip, ya." Mendengar suara gemercik air dari kamar mandi, jantung Hugo berdebar kencang. Sebuah perasaan campur aduk antara harus dan gelisah memenuhi dadanya. Dia lantas mencubit pipinya sendiri, mencoba memastikan semua ini nyata. "Gadis paling populer di kampus, sekarang sedang mandi di kamar mandiku. Malam ini mungkin dia bakal nginap di rumahku. Berapa banyak sih lauk tadi? Kok dia sampai mabuk segitunya ..." Hugo terkekeh, getir. Meski sulit dipercaya, ini adalah kenyataan yang tengah dia hadapi. Baru saja mengalami putus cinta, Hugo sempat berniat untuk menutup hatinya. Siapa sangka, bunga cinta lain justru mekar begitu cepat. Andora, gadis sempurna dengan wajah menawan, sikap anggun, dan prestasi gemilang, mendadak menulis surat cinta untuknya. Lebih mengejutkan lagi, dia langsung mengungkapkan perasaannya. Bahkan dengan wajah memerah bertanya, "Boleh nggak ... aku nginap di rumahmu semalam?" Hugo yakin, hampir semua laki-laki di dunia ini pasti nggak akan menolak situasi seperti itu. Namun, skenario absurd macam ini bahkan sudah nggak laku di novel. Untuk mengalihkan rasa gugup dan gelisahnya, Hugo menyalakan televisi dengan tangan gemetar. Dia berharap bisa memusatkan perhatian pada berita yang disiarkan, bukan pada sosok gadis di balik pintu kamar mandi. Tak lama, suara serius pembawa berita mulai membantunya sedikit mengembalikan akal sehatnya. "Polisi hari ini mengadakan konferensi pers, mengumumkan perkembangan terbaru dari serangkaian kasus pembunuhan remaja putri yang menghebohkan." "Dalam sebulan terakhir, telah terjadi lima kasus pembunuhan brutal terhadap wanita muda di kota ini." "Para korban berusia antara 16 hingga 20 tahun, dengan latar belakang yang berbeda, tetapi semuanya memiliki pola kematian yang serupa." Suara penyiar berita yang serius menggema di ruang tamu Hugo. "Saat ini, polisi tengah bekerja keras untuk mengungkap kasus ini. Kami mengimbau masyarakat, terutama para wanita muda, untuk meningkatkan kewaspadaan. Hindari keluar sendirian pada malam hari, dan segera laporkan jika melihat orang mencurigakan." "Selain itu, kami juga berharap masyarakat dapat memberikan informasi yang membantu polisi segera menangkap pelaku, sehingga bisa mengembalikan ketenangan lingkungan kita …" "Orang-orang ini nggak kuliah, ya? Nggak kerja? Tiap hari bisanya cuma nyusahin orang." Hugo bergumam sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kopi, mencoba mengalihkan pikirannya. Meskipun dia berusaha fokus pada berita, suara gemercik air yang baru saja berhenti dan harum samar dari gadis di kamar mandi terus mengusik pikirannya. Berhenti nonton berita, Hugo. Fokus ke kamar mandi. "Hugo." Lamunannya buyar seketika. Suara itu datang bersamaan dengan berhentinya aliran air dari kamar mandi. Di ambang pintu, Andora berdiri hanya dengan selembar handuk putih melilit tubuhnya. Penampilannya langsung menyita seluruh perhatian Hugo. Dengan tergesa-gesa, Hugo meraih remote dan mengganti saluran. Dia tak ingin berita mengerikan tadi menjadi hal pertama yang dilihat gadis itu. Di bawah sorot lampu koridor, kulit Andora terlihat begitu lembut, bercahaya bak porselen. Bulir-bulir air mengalir dari ujung rambutnya, memberikan kesan segar dan memikat. "Maaf, boleh pinjam bajumu? Aku nggak bawa baju tidur." Suara Andora lembut, sedikit malu-malu. "Eh ... iya." Hugo bangkit dari sofa, jantungnya berdetak begitu kencang bak genderang. Dia berjalan menuju lemari, membukanya, dan menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak, pakaian milik mantan pacarnya masih tergantung di sana. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk meminjamkan pakaian itu pada Andora, tetapi melihat gaun tidur transparan itu, ia urung. Dia pasti akan dianggap mesum. Dia kemudian melempar gaun tidur itu ke ranjang, berniat akan membuangnya nanti. Kemudian, dia mengambil kaus oblong miliknya dan memberikannya pada Andora. Dengan jari-jari yang sedikit gemetar, dia menyerahkan kaus itu pada Andora. Saat melakukannya, Hugo berusaha sekeras mungkin untuk tidak menatap mata gadis itu. "Terima kasih ..." Andora mengambil kaus itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyibakkan rambut basahnya. Gerak-geriknya anggun dan elegan, mencerminkan didikan keluarga yang baik. Andora kembali ke kamar mandi untuk mengenakan kaus itu. Saat dia keluar, kaus itu hanya menutupi bagian atas pahanya, memperlihatkan sepasang kaki jenjang yang indah. Kaki itu begitu indah, dengan garis halus dan kulit putih cerah, bagaikan karya seni yang dicipatakan dengan cermat oleh Tuhan. Pakaian yang sederhana sekalipun tak mampu menyembunyikan keanggunan dan kecantikannya. Hugo terpaku, matanya tak lepas dari sosok Andora. Ada kekaguman yang jelas terpancar dari pandangannya. Keanggunan alami yang terpancar dari diri Andora membuatnya merasa tenang dan bahagia. "Aku tidur di sofa malam ini. Kasurnya sudah aku siapkan. Selamat malam." Hugo berusaha menjaga suaranya tetap tenang, tetapi debar jantungnya tak bisa berbohong. "Tapi ini, bahkan belum jam sembilan malam." Andora tersenyum lembut sambil mengeringkan rambutnya. Senyumnya seperti sinar mentari musim semi, hangat dan menyegarkan. Hugo tidak berani menjawab, hanya bisa merasakan detak jantungnya yang makin kencang. Tatapan Andora terasa seperti angin lembut yang membelai wajahnya, membuat rona merah perlahan merayap ke pipinya. Andora perlahan duduk di pinggir sofa, jemari lentiknya menyentuh pinggang Hugo, kemudian dengan gerakan lembut bergeser. Sentuhan tiba-tiba itu membuat tubuh Hugo tersentak, seketika dia terduduk tegak. "...!?" Gerakan Andora lembut tetapi penuh godaan, setiap tindakannya mengandung daya tarik yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tatapannya yang jenaka memancarkan keisengan, seolah menikmati ketegangan yang melingkupi mereka. "Hugo, kamu benar-benar tega membiarkan aku tidur sendirian di ranjang?" Suara Andora lembut, sedikit menggoda, dengan senyum nakal yang menghiasi sudut bibirnya. Hugo terpaku. Di kampus, dia tak pernah melihat sisi Andora yang seperti ini. Gadis itu sekarang terlihat seperti peri malam yang memesona. Keindahan dan kepercayaan dirinya memancarkan daya tarik yang tak tertahankan. Hugo merasakan jantungnya berdetak kencang hingga rasanya ingin meledak. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang. Sayangnya, kedekatannya dan Andora membuat napasnya memburu. "Bagaimanapun juga, laki-laki dan perempuan 'kan harus jaga batas." Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, Andora langsung melingkarkan tubuhnya, duduk di pangkuannya. Meski rambut Andora sudah dikeringkan, sisa-sisa air masih tampak menetes perlahan. Tetesan itu memantulkan kilauan di bawah cahaya, menambah pesona gadis itu. "Kamu nggak nolak pernyataan cintaku, nggak juga nolak membawaku ke rumahmu, tapi sekarang malah pura-pura polos begini. Bukannya itu nggak adil buat aku, Hugo?" Andora melingkarkan lengannya di leher Hugo, wajah mereka kini begitu dekat. Hugo bisa merasakan napas hangatnya, mencium aroma harum yang samar dari tubuhnya. Mata Andora yang dalam seolah menyimpan rahasia dan daya tarik misterius yang membuat Hugo sulit berpaling. Andora benar. Tindakannya sekarang justru terasa canggung dan tidak tahu diri. Hugo menarik napas dalam-dalam. Dia sudah dewasa, mahasiswa pula. Harusnya dia bisa menghadapi situasi seperti ini. "Tapi aku penasaran, kenapa Kak Andora suka sama aku?" "Kenapa? Untuk suka sama seseorang, harus ada alasan?" "Terus terang ... aku nggak paham. Kita bahkan nggak saling kenal dekat." "Itu penting, ya?" Andora mengedipkan mata besar dan indahnya, bulu matanya yang lentik bergetar seperti sayap kupu-kupu, memancarkan pesona yang menggoda. "Yang penting, saat ini, kita sama-sama menginginkan satu sama lain ..." Hugo bahkan belum sempat menjawab ketika Andora menunduk dan mencium bibirnya. Bibirnya yang lembut menempel erat, membawa kehangatan yang membakar. Napas mereka menyatu, menciptakan suasana yang begitu intens. Ciuman itu berlangsung lama, begitu lama hingga Hugo merasa paru-parunya kekurangan udara. Hugo merasa bibir Andora akhirnya melepaskannya. Dengan napas memburu, Andora menatap Hugo dengan sorot mata yang membara. "Sekarang kamu puas?" Andora memiringkan kepala, menyunggingkan senyum menggoda, sedangkan jemari lentiknya bermain-main di dada Hugo dengan gerakan penuh arti. "Atau … kamu mau lebih?" Hugo tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia membuat keputusan yang berani. Dengan lembut, dia meraih pinggang ramping Andora. Gadis itu tampak sedikit terkejut dengan inisiatif Hugo yang tiba-tiba. Namun, rasa kaget itu segera memudar, digantikan oleh kelembutan yang terpancar dari matanya. Hugo bukan orang bodoh. Dia tahu apa kelebihan yang dimilikinya, dan dia sadar betul kelebihan itu tak cukup untuk menarik perhatian seorang gadis seperti Andora. Namun, jika setiap orang punya kesempatan, mengapa dia tidak memanfaatkannya kali ini? Hugo memutuskan untuk tidak memikirkan alasan atau logika di balik semua ini. Sebaliknya, dia memilih untuk menikmati momen yang ada. Hugo bisa merasakan kehangatan tubuh Andora, jarak di antara mereka perlahan memudar. Napas Andora menjadi makin memburu, detak jantungnya terdengar jelas, tapi dia justru semakin mendekat. Bibir mereka hampir bersentuhan untuk kedua kalinya. Namun, Andora dengan lembut menekan dada Hugo dengan tangannya, membuatnya berbaring di sofa. Sebelum Hugo bereaksi, Andora sudah menempatkan kedua tangannya di sisi kepala Hugo, menjebaknya di antara lengannya. Tubuhnya sedikit condong ke depan, menutup ruang di antara mereka, membuat Hugo tak bisa bergerak. Sehelai rambut hitam panjang jatuh dari bahu Andora, menyapu pipi Hugo dengan lembut, menggelitik hatinya. "Kak Andora, aku bukan pria yang istimewa. Aku tahu itu ... dan aku harus jujur padamu. Aku baru saja putus. Kalau tahu itu, apa kamu masih mau bersamaku?" Suara Hugo terdengar getir, penuh keraguan yang membelenggu hatinya. Kaus miliknya yang kebesaran hampir tak mampu menutupi tubuh Andora sepenuhnya. Pandangannya tak sengaja tertuju pada lekuk tubuh gadis itu, yang terlihat makin memikat dengan kaus yang terlalu longgar. Pesona itu mengingatkan Hugo pada energi muda yang segar sekaligus menggoda. "Percaya dirilah, Hugo." Andora menunduk sedikit lebih dekat, berbisik pelan di telinga Hugo dengan suara rendah yang menggetarkan hati. "Aroma tubuhmu ... aku hampir nggak bisa menahannya lagi." Kata-kata Andora menggema di benak Hugo, menciptakan badai emosi yang tak mampu ia kendalikan. Bagaimana mungkin, dalam pandangan Andora, dia bisa begitu spesial? Padahal selama ini, Hugo selalu merasa dirinya paling biasa, bahkan mantan pacar yang dia cintai sepenuh hati pun meninggalkannya. Pengalaman itu membuat Hugo kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri, terjerumus dalam rasa rendah diri, dan menerima hidupnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Namun sekarang, Andora, gadis sempurna yang selama ini terasa tak terjangkau, justru berkata bahwa dia telah lama memperhatikan Hugo. Bahwa dia tertarik pada segalanya tentang dirinya. Kata-kata Andora sarat dengan pujian dan kekaguman, matanya memancarkan harapan dan semangat. Seolah-olah dia ingin menyampaikan kepada Hugo, "Kamu berharga. Kamu pantas dicintai." Mungkin, nggak seharusnya aku merendahkan diriku begini,' pikir Hugo. Andora bagai secercah cahaya fajar yang menyinari sudut tergelap di hatinya. Dia ingin mengucapkan terima kasih pada gadis itu, lalu memeluknya erat-erat. Namun, ketika dia mendongak dan tersenyum tipis ke arah Andora, dia melihat sesuatu… Sepasang mata ungu gelap itu tidak lagi menatapnya dengan kelembutan, yang terpancar hanyalah gairah liar, seperti binatang buas yang baru mengincar mangsanya. Sementara tubuh Andora, bahu dan tulang selangkanya yang seharusnya putih mulus, kini dipenuhi pola-pola aneh. "Ka-kak Andora ..." "Ah …" Andora menutup mulutnya dengan tangan, seolah menyembunyikan sebuah rahasia kecil, lalu tertawa pelan. "Aromamu terlalu menggoda, Hugo ... aku benar-benar ... nggak bisa menahan diri." Gadis itu menyeringai lebar. Wajahnya kini tak lagi dihiasi senyum lembut bak musim semi. Yang ada hanyalah deretan gigi tajam, menyerupai rahang hiu yang siap mencabik mangsanya. Pipi Andora memerah, mata ungu yang berpendar kini memancarkan aura jahat yang makin menambah kesan jahatnya. "Kamu ... sebenarnya apa ..." Buk! Belum sempat Hugo bereaksi, tangan, atau lebih tepatnya cakar itu telah menancap di dadanya. Dug! Dug! Hugo merasakan jantungnya berdegap kencang di dalam genggaman gadis itu. Gadis? Sialan, ini bukan gadis … Napas Hugo mulai tersengal, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ini … ini monster sialan … "Sayangku, inti kristalmu ... akhirnya kudapatkan!" Andora menyeringai dengan senyuman mengerikan, lalu mencabut jantung Hugo dari dadanya.
Previous Chapter
1/100Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.