Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 17

Setelah mengikuti Winona keluar dari bangunan tua yang reyot, Hugo teringat bahwa sebelumnya dia pernah mendengar Winona mengatakan bahwa Parade Malam Siluman bekerja sama dengan negara. Namun, sepertinya sama sekali tidak ada nuansa itu tadi. Saat dia sedang berpikir, Winona yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti, lalu berbalik dan menatap Hugo dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. "Ada apa?" Hugo bertanya dengan bingung. "Kamu tutup mata." Winona berkata dengan tenang. Hugo tidak mengerti apa maunya, jadi Winona mengernyitkan dahi, "Cepat, tutup matamu, aku punya hadiah untukmu." Hadiah? Masih harus menutup mata? Hugo tidak bisa tidak berpikir, apakah hadiah itu berupa ciuman? Memang ini bukan ciuman pertamanya dengan Winona, tetapi pada ciuman sebelumnya, gadis ini hanya akting. Jika benar-benar berciuman, pengalamannya pasti akan berbeda. Hugo merasa agak malu mendengar perkataan Winona, tetapi dia tetap menutup matanya. Dia bahkan lupa untuk bertanya, mengapa Winona memberinya hadiah. Dalam kegelapan, Hugo merasakan Winona mendekatinya, sangat dekat. Begitu dekat sehingga dia bisa mencium aroma yang datang dari ujung rambut Winona. Kemudian bibirnya benar-benar menyentuh sesuatu. Namun, menyentuh benda yang agak kaku. Ini sama sekali bukan ciuman... Kemudian Hugo merasakan Winona tiba-tiba menyodok benda itu ke dalam mulutnya. ??? Dia membuka matanya dan melihat Winona sudah mundur selangkah. Saat itulah, dia baru merasakan ada aroma manis yang segar di mulutnya. Ternyata, sebatang permen lolipop. "Masing-masing dapat satu." Winona mengambil satu batang permen lolipop lagi dan memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. "Walaupun aku nggak tahu apa yang terjadi semalam, aku tahu kalau kamu yang menyelamatkanku." Winona berbalik membelakangi Hugo, dan berkata dengan suara lembut, "Aku juga nggak akan memaksamu untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Intinya, terima kasih, Hugo." Rasa manis dari permen lolipop perlahan menyebar di mulut, berpadu dengan ucapan terima kasihnya, membuat hadiah sederhana ini menjadi sangat menyentuh hati. Hugo hanya bisa tersenyum kecut. 'Lagi-lagi aku dipermainkan oleh gadis ini.' Namun, saat itu juga, Hugo melihat ekspresi Winona tampak agak murung. Bahkan, permen di mulutnya tidak bisa membuatnya tersenyum. Berbeda dengan sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan sebelumnya, seolah-olah dia telah kehilangan sesuatu. "Ada apa?" Hugo bertanya. "Ya, nggak ada apa-apa, aku hanya ingin mengucapkan selamat kepadamu, Hugo. Selamat... nggak menjadi orang yang terinfeksi, dan berhasil bergabung dengan organisasi." "Aku lihat dari ekspresimu, kamu sepertinya nggak sedang mengucapkan selamat kepadaku." Hugo berkata sambil tersenyum . "Jadi..." Winona mengangkat pandangannya ke arah Hugo. "Jadi, pemantauan 24 jammu juga hampir selesa. Kamu... eh, aku... aku nggak akan pergi ke rumahmu lagi." Hugo tertegun, sepertinya dia mengerti maksud perkataan Winona barusan. "Jadi aku akan pulang dulu, kamu pasti bisa pulang sendiri kan?" "Eh." Wajah Hugo tidak tersenyum lagi. "Jadi, selamat tinggal..." Winona sedikit menundukkan kepalanya, pada saat dia dan Hugo berjalan beriringan, lelaki itu mengangkat tangannya dan menangkap lengannya. "Aku jadi ingat, kamu nggak bisa pergi." "Hah?" Winona terkejut oleh gerakan Hugo yang tiba-tiba. Dia menatap Hugo, tetapi lupa kalau air mata hampir jatuh dari sudut matanya. Jadi, dia buru-buru menundukkan kepalanya lagi. "Kekacauan yang kamu buat, belum dibereskan." Hugo menarik Winona ke hadapannya dan menatap gadis itu, "Kamu lupa?" "Kekacauan apa yang aku buat...?" Winona bertanya pelan. "Kamu bilang kepada orang tuaku kalau kamu adalah pacarku, dan orang tuaku percaya. Kalau kamu tiba-tiba pergi, aku jelaskan apa pada mereka? Apa aku harus bilang aku putus cinta lagi?" Hugo berpura-pura serius menatap Winona. Gadis itu agak terkejut dengan perkataannya dan bicara dengan agak terbata-bata. "Aku, aku nggak tahu... kamu mau bagaimana?" "Ayo teruskan sandiwarannya." "... Mau bersandiwara sampai kapan." "Nggak tahu, pokoknya, kamu nggak bisa pulang sekarang." Winona merasa malu, pipinya memerah. Dia masih tidak berani menatap Hugo, "Tapi, tapi Pak Carlos... dia, dia nggak akan setuju..." Belum selesai kalimat itu diucapkan, tiba-tiba suara Carlos terdengar dari dekat jendela di lantai dua. "Aduh! Ngomong apa sih! Hari gini aku masih jadi tameng! Kapan aku nggak setuju! Rumah jelek mana muat untuk dua orang! Kalau kamu pergi, aku bisa tidur di tempat tidur lagi! Cepat pergi!" Winona melihat Carlos yang sedang merokok di jendela lantai dua dengan marah, "Kamu, kamu nggak punya hati! Pak Carlos! Semua pakaianmu aku yang cuci!" "Hehe, sekarang aku sudah kaya, bisa langsung beli mesin cuci. Tahu kan apa itu revolusi industri? Kamu sudah dipecat, Winona! Sudah sebesar ini! Masih nempel saja sama aku! Memangnya kamu bayi raksasa? Hugo! Cepat bawa dia pergi dariku!" "Pak Carlos! Dasar!" Winona menghentak-hentakan kakinya dengan sangat marah. "Oke." Hugo langsung menggenggam tangan Winona. "Kamu mau apa..." "Ayo, pulang, aku lapar." Winona ragu-ragu sejenak, akhirnya menghela napas panjang. Dia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Lalu melihat Carlos yang berada di tepi jendela lantai dua sambil menjulurkan lidahnya dan membuat wajah konyol. "Aku sangat suka makan, kalau kamu memintaku berakting, harus ada makan dan tempat tinggal." "Selama kamu bersandiwara dengan baik, kamu pasti akan kenyang." Carlos terkekeh saat memandangi punggung kedua orang itu berlalu. "Sudah tua begini, masih saja keras kepala ya." Entah kapan Darren naik ke lantai dua, tetapi saat ini dia sudah berdiri di depan pintu. "Hey, kamu nggak mengerti, gadis itu seharusnya sudah mandiri. Aku saja yang terlalu memanjakannya. Dia sampai nggak lulus tes resmi kebangkitan selama tiga tahun berturut-turut." "Carlos, apakah kamu benar-benar percaya untuk menyerahkan Winona kepada seorang anak baru?" Carlos tidak bersuara, hanya menghela napas panjang. Mau tidak percaya juga bagaimana? Nyawa gadis itu diselamatkan oleh Hugo. "Aku nggak perlu khawatir, kalau Hugo berani mengganggu gadisku itu..." Carlos menepuk-nepuk revolver di pinggangnya. "Aku akan memberinya makan timah panas." ... ... Malam itu, mereka berdua pulang ke rumah dan segera memulai perannya masing-masing. "Aku bisa makan tiga kali sehari?" tanya Winona. "Pertanyaan apa itu! Makan pagi, siang, malam bisa, dan aku akan menambahkan seporsi cemilan malam hari untukmu." "Nggak bisa, aku harus tidur tepat waktu pada pukul 10 malam. Jadi sekarang waktunya makan malam, sudah jam 8." Winona berbicara sambil mulai melepas pakaiannya. Hugo kikuk dan buru-buru membalikkan badan, "Kamu mau apa?" "Mandi, lalu makan malam, setelah itu sikat gigi dan tidur." "Baiklah, kamu mau makan apa? aku akan keluar untuk membeli makanan sekarang." Mendengarkan suara gemercik baju yang ditanggalkan di belakangnya, tanpa Hugo sadari, wajahnya mulai memerah . "Aku ingin makan... Berbekyu, bolehkah? Aku terakhir kali makan berbekyu setahun yang lalu." "Oh baiklah, aku pergi dulu." Hanya makan berbekyu, kenapa menyedihkan sekali. "Baiklah, kamu mandi sekarang, aku akan segera pergi membelikan kamu berbekyu." Setelah berkata demikian, Hugo bangkit dan mengambil jasnya sebelum berjalan keluar rumah. "Benar boleh...?" Suara gadis di belakangnya terdengar ragu. "Sebenarnya... kamu nggak perlu pergi beli barbekyu. Walaupun aku cepat lapar, aku sudah bisa menahan lapar, sudah terbiasa." Kata-kata ini dia ucapkan. Air mata Hugo hampir jatuh. "Jangan takut, ada uang kok. Hari ini ada anak orang kaya memberiku satu miliar." "Anak orang kaya?" Winona berpikir sebentar dan mengerti, lalu dia tersenyum menggoda Hugo. "Aku kira kamu tipe orang yang akan langsung melemparkan uang itu kembali, lalu berkata dengan ketus, "Ambil uangmu dan pergi!'" Hugo membelakangi Winona sambil menggaruk kepalanya. Dia langsung bingung mau berkata apa, lalu dia teringat kata-kata Carlos. "Hanya orang bodoh yang nggak mau uang."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.