Bab 6
Suara rintihan pilu Dean bergema di dalam kelas saat suasana sangat hening.
Tak ada yang menyangka jika Yulius yang biasanya pendiam ternyata bisa begitu kejam dan brutal.
Yulis menginjak tangan Dean hingga tulangnya remuk.
Melihat kejadian itu, beberapa anak buah Dean yang tadinya berniat menyerang Yulius jadi merasa takut dan tidak berani bergerak.
"Pak guru, cepat. Kalau telat sedikit, mungkin Yulius sudah terluka parah!"
Saat itu, terdengar langkah kaki di luar pintu kelas, diiringi suara Doni.
Kemudian, Hanif dan Doni masuk dari pintu belakang kelas. Begitu masuk, mereka melihat pemandangan yang mengerikan. Yulius menginjak tangan Dean, hingga Dean meringis kesakitan dan menggeliat-geliat.
Pemandangan itu benar-benar bertolak belakang dengan yang dibayangkan Doni, membuatnya terkejut dan terpaku di tempat.
Hanif pun tersadar. Wajahnya memerah karena marah dan dia berteriak, "Apa yang terjadi? Apa yang terjadi ini? Kalian ingin membuat kekacauan?"
Melihat Yulius sama sekali tidak bereaksi, Hanif cepat-cepat berjalan ke depan Yulius dan menunjuknya. "Yulius, beraninya kamu memukuli teman sekelasmu? Cepat angkat kakimu!"
Yulius menatap Hanif sebentar, lalu berkata, "Mereka yang mulai duluan. Mereka juga yang melempar meja dan bukuku ke belakang."
"Memangnya kenapa kalau mereka yang memulainya? Kamu tetap saja bersalah karena memukul orang sampai terluka. Cepat angkat kakimu!" Hanif sangat marah sampai tubuhnya sedikit gemetar.
Perlu diingat, orang yang diinjak oleh Yulius adalah Dean!
Ayah Dean, Wafa Hermawan, adalah bos sebuah perusahaan konstruksi di kota ini. Dia terkenal dengan temperamennya yang meledak-ledak dan memiliki banyak anak buah yang setia padanya.
Jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, bukan hanya Yulius yang akan celaka, Hanif pun bisa terkena imbasnya!
"Baiklah." Yulius mengangkat kakinya.
Hanif merasa lega.
Namun, perasaan lega itu tidak bertahan lama.
"Buk!"
Yulius menendang perut Dean hingga dia terlempar ke dinding belakang kelas, memuntahkan darah dan pingsan seketika.
"Dengan tendangan ini, kita sudah impas," kata Yulius dengan datar.
Melihat kondisi Dean yang mengenaskan, tubuh Hanif terasa dingin dari ujung kaki sampai kepala.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Wafa ketika melihat anak kesayangannya dipukuli sampai seperti ini.
"Kamu … " Hanif menunjuk Yulius yang tetap tenang, begitu marah sampai tak bisa berkata apa-apa.
Dia tidak menyangka, Yulius yang selama lebih dari dua tahun selalu bersikap tenang, tiba-tiba menimbulkan masalah besar di akhir masa SMA-nya!
"Cepat bawa Dean dan Thomas ke UKS!" Hanif berteriak kepada para siswa yang masih terpana.
Beberapa anak buah Dean segera tersadar, lalu bergegas mengangkat kedua orang itu keluar kelas.
Hanif berbalik dan menatap Yulius dengan tajam. "Kamu, ikut aku ke kantor!"
Doni menatap Yulius dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dan kesedihan.
Dia tahu, Yulius pasti akan kesulitan mengatasi masalah yang dia timbulkan hari ini.
Hasil terbaik yang mungkin terjadi adalah Yulius dikeluarkan dari sekolah dan harus membayar biaya perawatan medis.
Sedangkan hasil terburuknya, Yulius akan menghadapi amarah Wafa Hermawan dan mungkin akan menghilang dari Kota Jianghai.
Setelah Yulius mengikuti Hanif keluar kelas, suasana di dalam kelas langsung menjadi sangat riuh.
"Yulius benar-benar luar biasa. Dia menghajar Dean sampai seperti itu … "
"Dulu aku kira Yulius itu pendiam banget, sampai-sampai nggak berani banyak bicara. Ternyata dia sebrutal itu … "
Para siswa dan siswi sibuk membicarakan Yulius. Banyak di antara mereka yang selain terkejut, juga merasa lega.
Bermodalkan latar belakang keluarganya yang kaya, Dean selalu bersikap sombong dan angkuh di kelas. Banyak orang sudah lama benci padanya.
Hari ini, Yulius menghajar Dean sampai babak belur. Bisa dibilang, Yulius sudah melakukan sesuatu yang sudah lama mereka inginkan tapi tak pernah berani lakukan.
"Hehe, kalian kira Yulius hebat? Dia itu cuma orang bodoh! Sudah mau lulus malah berani memukuli teman sekelasnya. Hukuman paling ringan mungkin dikeluarkan dari sekolah! Bahkan bisa saja dicatat dalam catatan kelakuan buruk dan dia nggak akan bisa ikut ujian masuk universitas."
" Lagi pula, orang tua Dean pasti nggak akan membiarkan Yulius lolos begitu saja. Aku pernah bertemu ayah Dean beberapa kali, dia sangat berkuasa di kota ini, dan punya banyak anak buah. Setelah Yulius keluar dari sekolah, apa dia masih bisa selamat? Sangat diragukan!" kata Yasmin sambil tertawa sinis.
"Intinya, setelah kejadian ini, hidup Yulius bisa dibilang sudah hancur. Dia nggak bisa ikut ujian masuk universitas dan juga akan dibalas oleh keluarga Dean. Kalau nggak mati, pasti cacat," tambah Shinta, teman sebangku Yasmin.
Setelah mendengar perkataan mereka, para siswa pun merasa hal itu masuk akal.
Namun, mereka tidak terlalu peduli. Bagaimanapun juga, mereka tidak dekat dengan Yulius. Jadi, jika Yulius dikeluarkan, dipukuli, atau bahkan mati, itu tidak ada hubungannya dengan mereka.
Hal terpenting bagi mereka adalah mereka merasa sangat puas melihat Dean dipukuli seperti itu.
Di dalam kantor.
Wajah Hanif merah karena marah, tangannya yang menggenggam gelas air juga sedikit gemetar.
"Yulius, masalah ini nggak bisa aku selesaikan sendiri. Aku akan melaporkannya langsung ke bagian bimbingan konseling. Kamu … jaga dirimu."
Suara Hanif terdengar berat.
Yulius sama sekali tidak peduli.
Tujuannya datang ke sekolah hanyalah untuk menghabiskan waktu. Dia bisa pergi kapan saja dan hukuman tidak berarti apa-apa baginya.
Justru provokasi Deanlah yang membuatnya merasakan kesenangan yang telah lama hilang dari hidupnya yang membosankan.
Meskipun Yulius sudah hidup selama ribuan tahun, pada dasarnya dia hanyalah seorang kultivator Tahap Pemurnian Energi yang bahkan belum mencapai Tahap Pembentukan Dasar.
Pada dasarnya, Yulius masih manusia biasa, dan setiap manusia pasti punya amarah.
Terlepas dari seberapa besar perbedaan kekuatan dan pengalaman antara Dean dan Yulius, jika saatnya bertindak, ya harus bertindak.
Jujur saja, rasanya cukup menyenangkan ketika bisa menindas yang lemah!
Di dalam kelas.
Begitu Selina masuk kelas, dia melihat bercak darah di bagian belakang kelas, meja yang terbalik, dan buku-buku yang berserakan di lantai.
Apa yang terjadi?
Selina bingung dan melihat sekeliling, menatap teman-temannya.
Ketika teman-teman sekelasnya melihat Selina masuk, mereka semua menutup mulut dan menatap Selina dengan tatapan aneh.
Selina kembali ke kursinya dan melihat hanya tersisa satu kursi di sebelahnya yang merupakan tempat Yulius.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Selina mengernyitkan dahi, masih kebingungan.
Doni yang duduk di belakang, menatap Selina dengan mata berbinar.
Yulius mungkin masih bisa diselamatkan!
Kemudian, Doni mengajak Selina ke koridor dan menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi.
"Dia, dia baru saja meremukkan tulang tangan orang?" Selina menutup mulutnya dan bertanya dengan tidak percaya.
"Ya ... kami semua mendengar suara tulang yang retak dan sampai sekarang kami masih merinding tiap kali mengingatnya. Padahal tubuh Yulius terlihat kurus, tapi tenaganya luar biasa kuat," kata Doni, masih merasa takut.
Selina berpikir dalam-dalam.
Ini adalah kesempatan yang bagus untuknya.
Kesempatan yang sempurna untuk memaksa Yulius menyembuhkan penyakit kakeknya!
"Aku mengerti. Aku akan mencari cara agar Yulius nggak dikeluarkan," kata Selina pada Doni.
"Bagus sekali!" kata Doni dengan gembira.
Selina adalah putri dari keluarga Tanadi. Jika dia mau membantu, Yulius pasti bisa diselamatkan!
Kantor Urusan Akademik.
Yulius berdiri di depan Cakra, direktur Kantor Urusan Akademik, dan Hanif selaku wali kelasnya, berdiri di sampingnya.
"Yulius, kami sudah memberi tahu ayah Dean, dan dia sedang dalam perjalanan kemari. Sebelum itu, aku ingin tahu kenapa kamu memukul Dean?" Cakra bertanya dengan wajah serius.
"Aku sudah bilang, dia yang mulai duluan. Dia melempar mejaku ke belakang kelas dan aku memintanya mengembalikannya, tapi dia menolak dan malah memukulku," jawab Yulius dengan jujur.
"Dia yang mulai? Lalu kenapa sekarang dia yang terluka, sedangkan kamu nggak terluka sama sekali?" Cakra bertanya sambil mengernyikan dahi.
"Mudah saja, karena aku lebih kuat darinya," jawab Yulius.
Cakra langsung berdiri dan menggebrak meja sambil berkata dengan marah, "Omong kosong! Kamu sudah memukul orang tapi masih merasa benar? Apa kamu pantas disebut pelajar? Apa kamu pantas jadi remaja? Aku akan memanggil keluargamu dan kita lihat bagaimana mereka mendidikmu!"
"Aku nggak punya keluarga, jadi Anda nggak perlu memanggil siapa-siapa," kata Yulius.
"Kamu nggak punya keluarga?" Cakra menoleh ke Hanif.
Hanif sempat ragu sebelum akhirnya berkata, "Pak Cakra, Yulius memang nggak punya keluarga. Dalam berkasnya tertulis dia yatim piatu, dibesarkan oleh seorang kakek, tapi kakeknya sudah meninggal saat dia SMP."
"Jadi dia yatim piatu. Kalau begitu, seharusnya kamu lebih tahu diri! Kamu nggak malu sama orang yang sudah membesarkanmu? Kalau dia masih hidup, dia pasti akan sangat kecewa padamu," Cakra terus memarahinya dengan penuh emosi.
Tentu saja, berkas Yulius semuanya palsu. Kakek yang dia sebutkan itu tidak pernah ada.
Lagi pula Yulius tidak ingin mendengarkan ceramah dari orang yang jauh lebih muda darinya, jadi dia pun menyela, "Pak Cakra, langsung saja umumkan keputusan hukuman untukku. Aku nggak punya waktu untuk mendengar omelanmu."
"Kamu, kamu …" Cakra begitu marah sampai-sampai tak bisa berkata-kata, wajahnya memerah karena emosi.