Bab 10
Setelah Yulius pergi, Nanda menatap Selina dengan tatapan aneh.
Putrinya ini memang sangat cantik dan memiliki banyak pengagum.
Namun, jika menyangkut Yulius, mengapa dia tampak menghindarinya?
"Ah, mungkin kamu terlalu manja dan keras kepala, makanya Dokter Yulius jadi kesal," ujar Sandi setelah menghela napas.
"Aku nggak begitu! Yulius cuma nggak suka dengan masalah, makanya …," jawab Selina dengan kesal.
Nanda menghela napas sambil menatap ke arah pintu. "Sudah lama sekali aku nggak bertemu pemuda seberbakat ini. Dia nggak sombong ataupun nggak sabaran. Sikapnya tenang dan santai, tapi punya keahlian yang luar biasa."
"Hal yang paling penting, dia nggak tergoda oleh harta dan ketenaran. Saat tadi aku memberinya cek, sikap tenang dan dinginnya benar-benar jauh melampaui usianya."
"Orangtuanya pasti luar biasa bisa mendidik anak seperti dia. Kalau ada kesempatan, aku ingin bertemu mereka."
Setelah selesai berbicara, Nanda berbalik dan menatap Selina sambil menggelengkan kepala. "Baik kamu maupun Ferry, masih jauh tertinggal dari Dokter Yulius. Kalian harus lebih berusaha."
Selina belum pernah melihat ayahnya memuji seorang anak muda sebanyak ini.
Apakah Yulius memang sehebat itu?
Huh!
Selina merasa sedikit tidak terima.
"Ayah rasa Yulius nggak membencimu. Kamu sebaiknya lebih sering berbicara dengannya, berusahalah menjadi temannya. Anak ini pasti bukan orang biasa!" Nanda kembali berpesan
…
Yulius kembali ke kebun sayurnya, berniat memetik beberapa sayuran untuk dibawa pulang.
Ketika dia berada sekitar satu meter dari kebun sayur, dia menemukan serangkaian jejak kaki di tanah.
Meskipun jejak kaki itu sangat dangkal di jalan pegunungan yang kering, Yulius masih dapat melihat setidaknya enam jejak sepatu yang berbeda.
Artinya, sekitar satu jam yang lalu, ada enam orang berjalan menuju kebun sayur.
Ini tidak biasa, karena biasanya tidak ada orang yang datang ke bukit kecil ini.
Jangan-jangan ada yang ingin mencuri sayur?
Memikirkan hal ini, Yulius mempercepat langkahnya.
Saat tiba di luar kebun, beberapa sosok hitam yang muncul dari samping, langsung mengepungnya setengah lingkaran.
Enam moncong pistol terarah padanya.
Salah satu dari pria berbaju hitam itu melangkah maju dengan senyum di wajahnya. "Kawan, kami cuma ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Harap jawab dengan jujur."
"Baiklah, silakan tanyakan," jawab Yulius dengan wajah tenang, tanpa sedikit pun rasa panik.
"Apakah kebun ini milikmu?" tanya pria berbaju hitam itu.
"Iya, ini kebunku."
"Dan kemarin sore sekitar jam segini, apa kamu juga berada di sekitar kebun sayur ini?" tanya orang berbaju hitam itu lagi.
"Betul." Saat itu, Yulius sudah tahu tujuan mereka datang.
"Apa kamu melihat seorang wanita kemarin sore?" tanya pria berbaju hitam itu sambil memicingkan mata.
"Lihat," jawab Yulius.
Beberapa orang berbaju hitam itu saling pandang dan mata mereka memancarkan niat membunuh.
"Apa kamu menyelamatkan wanita itu?" Jari-jari pria berbaju hitam itu sudah menempel pada pelatuk, siap menembak kapan saja.
"Sebenarnya, aku nggak menyelamatkan wanita itu. Teman-temanmu yang ingin membunuhku, jadi aku membela diri dan membunuh mereka," jawab Yulius dengan senyum tipis.
"Terima kasih atas kejujuranmu. Selamat tinggal." Pria berbaju hitam itu tersenyum dingin lalu menarik pelatuk pistolnya.
"Dor!"
Sebuah tembakan meletus dan sebuah peluru mengarah lurus ke dahi Yulius.
Jarak antara pria berbaju hitam dan Yulius hanya sepuluh meter. Pada jarak sedekat ini, manusia mana pun tidak akan mungkin bisa menghindar!
Namun, Yulius hanya sedikit memiringkan kepalanya dan berhasil menghindari peluru itu!
"Ah, sudah kubilang kalau teman kalian mati karena ingin membunuhku. Kenapa kalian semua ikut-ikutan?" Suara Yulius terdengar seperti hantu, menggema di telinga setiap pria berpakaian hitam.
Keenam pria berbaju hitam itu mulai panik, mencari-cari sosok Yulius, tetapi tidak menemukannya.
"Dor!"
Sesaat kemudian, seorang pria berbaju hitam berteriak kesakitan dan terlempar ke udara.
"Dia di sini!" teriak seorang pria berbaju hitam lainnya sambil melepaskan tembakan.
"Dor!"
Suara tembakan membahana, diikuti dengan jeritan-jeritan kesakitan.
Hanya dalam waktu 30 detik, lima dari enam orang berbaju hitam telah terkapar di tanah, tak bernyawa.
Pria yang tadi mengajukan pertanyaan saat ini masih hidup.
Melihat kemampuan Yulius yang luar biasa, pria berbaju hitam itu pucat pasi dan tubuhnya gemetar.
Dia baru saja berhadapan dengan monster!
Kabur!
Dia harus kabur!
Kalau tidak, nyawanya akan melayang!
Pria berbaju hitam itu berbalik hendak lari, tetapi mendapati Yulius sudah berdiri di depannya.
"Ah!"
Pria berbaju hitam itu berteriak, mengangkat pistol dan hendak menembak Yulius yang berdiri sangat dekat.
"Krek!"
Namun, sesaat kemudian, tangan kanan pria berbaju hitam yang menggenggam pistol itu terpotong oleh tangan Yulius!
Pria berbaju hitam itu meraung kesakitan lalu terduduk di tanah, matanya membelalak lebar, penuh dengan rasa takut.
Dia harus meminta bantuan!
Dia juga harus memberi tahu Nona Yuanita bahwa orang ini adalah monster!
Pria berbaju hitam itu mengeluarkan ponsel jadul dari sakunya dengan tangan kirinya, lalu menekan sebuah nomor.
Yulius hanya diam memperhatikannya.
Tiga detik kemudian, panggilan telepon di seberang sana tersambung.
Pria berbaju hitam itu baru ingin berbicara, tapi Yulius sudah merebut ponselnya.
"Halo."
Di seberang, suasana hening sejenak.
"Orang yang kamu kirimkan sudah aku bereskan. Aku nggak suka masalah, jadi kuharap ini yang terakhir kalinya," kata Yulius.
"Nona Yuanita, orang ini bukan orang biasa. Kamu harus mengirim Kak Virya ... ah!" Pria berbaju hitam di sampingnya berteriak keras. Sebelum dia selesai berbicara, Yulius sudah lebih dulu menendang dadanya, membuatnya menjerit sekali lagi sebelum akhirnya mati.
"Siapa nama lengkapmu?" tanya Yulius melalui telepon.
Masih tak ada jawaban dari seberang.
"Oke, kalau nggak mau bilang ya sudah. Ingat pesanku, jangan menggangguku lagi." Setelah berkata begitu, Yulius menutup telepon.
Melihat darah dan mayat yang berserakan di sekelilingnya, Yulius memijat pelipisnya.
Apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini?
Masalah yang dihadapi lebih banyak daripada sepuluh tahun sebelumnya!
…
Di kediaman keluarga Yalendra.
Yuanita menutup telepon. Tangannya yang putih bersih masih sedikit gemetar.
Dia dan keluarga Yalendra tidak pernah diancam seperti ini!
"Siapa kamu sebenarnya?" ujar Yuanita dengan bibir merah menyala dan mata tajam yang penuh kemarahan.
Hari ini dia mengirim enam pengawal elit keluarganya, tetapi ternyata mereka semua tewas.
Hal ini bahkan tak pernah sekalipun dia bayangkan dalam mimpi.
Dalam dua hari ini, dia sudah kehilangan delapan pengawal elit.
Teringat akan kata-kata terakhir anak buahnya di telepon, Yuanita Yalendra mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Suruh Virya menemuiku."
…
Di bangsal VIP di rumah sakit pusat Jayandra.
Ruby terbangun dari koma dan melihat kedua orang tuanya di samping tempat tidurnya.
Melihat Ruby sudah sadar, Daniel yang sejak tadi merasa khawatir akhirnya lega."Ruby, kamu akhirnya sadar. Apa ada yang sakit?"
Liliana, ibunya yang berada di sampingnya, juga tampak sangat cemas.
"Ayah, Ibu, aku baik-baik saja," jawab Ruby.
Setelah memastikan bahwa kondisi Ruby baik-baik saja, ekspresi Daniel berubah serius, "Ruby, kamu yakin keluarga Yalendra yang melakukan ini?"
"Aku yakin. Saat itu, kedua pembunuh itu mengira aku pasti akan mati. Jadi, mereka menyebut nama Yuanita Yalendra," jawab Ruby samabil mengernyitkan dahi.
"Keluarga Yalendra! Berani sekali! Dulu kita hanya bersaing secara adil, tapi sekarang mereka menyerang secara terang-terangan dan bahkan ingin mengambil nyawa putri kesayanganku! Kalau aku nggak balas dendam ini, aku nggak pantas jadi ayah!" kata Daniel marah.
Beberapa saat kemudian, emosi Daniel sedikit mereda. "Ruby, apa kamu ingat siapa yang menyelamatkanmu? Dia adalah pahlawan besar keluarga kita. Kita harus berterima kasih padanya."
Ruby masih merasa takut saat mengingat kemampuan bertarung Yulius.
"Aku nggak tahu namanya … tapi dia terlihat masih muda dan sangat kuat. Kedua pembunuh itu punya pistol, tapi mereka bahkan nggak punya kesempatan untuk menembak," kata Ruby.
"Ada orang sehebat itu? Bahkan lebih hebat dari Om Milan-mu?" tanya Daniel.
Milan adalah saudara sepupu Daniel. Dia adalah seorang petarung bawaan level sembilan dengan kekuatan luar biasa.
Ruby menggeleng. "Aku nggak tahu, tapi dia memang sangat hebat."
"Hmm … bagaimanapun juga, dia adalah penyelamat kita. Kita harus menemukannya dan membalas budi," lanjut Daniel.
…
Keesokan harinya di kelas, Yulius duduk di kursinya sambil menatap Selina yang duduk di sampingnya.
"Hei, kamu harus menepati janji, 'kan?" kata Yulius.
"Nanti setelah pelajaran selesai. Kenapa buru-buru banget, sih!" sahut Selina dengan kesal.
Dia juga punya harga diri dan dibenci oleh laki-laki seperti ini sungguh menyakiti hatinya.
Setelah pelajaran selesai, Selina berdiri dengan kesal dan berjalan ke ruang guru.
Akhirnya dia bisa sedikit menjauh dari pusat perhatian dan tidak lagi menjadi sorotan.
Yulius menarik napas panjang.
Lima menit kemudian, Selina kembali dengan wajah tidak senang dan duduk di samping Yulius.
"Kepala sekolah nggak mengizinkan aku pindah kelas, malah aku yang dimarahi."