Bab 13
Setelah keluar dari kantor kepala prodi, Alice merasa lega.
Pak Damian … Benarkah dia?
Keluarga Cavali selalu terlihat ramah dan harmonis di depan umum, tetapi sebenarnya mereka sangatlah sadis dan kejam dalam menyelesaikan masalah …
Saat ini, terdengar suara yang lembut dari arah belakang Alice, "Halo, bagaimana kalau aku membawamu ke ruang ujian?"
Alice menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap ke belakang.
Di ujung koridor terlihat seorang pria dengan tubuh yang tinggi dan ramping. Pria yang memiliki wajah tampan itu tersenyum ramah di bawah pancaran sinar matahari yang hangat.
"Nggak perlu … " ujar Alice.
Tanpa menunggu Alice selesai berbicara, Damian langsung berjalan mendekatinya.
"Nggak apa-apa, aku kebetulan searah," ujar Damian dengan nada memaksa.
Alice tidak tahu harus berkata apa.
Calvin yang sedang menunggu di koridor tidak bisa menahan diri untuk memanggil Damian, "Kak Damian … kamu nggak searah, kepala sekolah sedang menunggumu."
Damian segera memiringkan kepalanya dan menatap Calvin dengan tatapan yang sangat tajam.
Calvin segera mengubah perkataannya setelah menyadari tatapan tersebut, "Hehe, hari ini cuacanya cukup bagus."
"Ayo pergi," ujar Damian sambil menatap ke arah Alice.
Saat ini, Damian tersenyum samar dengan wajahnya yang tampan dan tegas. Tatapan tajam yang dilihat oleh Calvin tadi seolah-olah seperti ilusi.
Calvin kehabisan kata-kata.
Calvin berkata di dalam hatinya: "Bos, bisakah kamu memperlakukan orang dengan adil?"
Namun, gadis ini benar-benar terlihat cantik.
Alice tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka. Dia hanya mengikuti Damian dari belakang.
Pria tampan dan wanita cantik yang berjalan di koridor itu menciptakan pemandangan yang indah.
Di tikungan tangga, Damian yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan Alice segera menghentikan langkahnya agar tidak menabraknya.
Damian berbalik lalu menatap Alice sambil berkata, "Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"
Hati Alice berdebar kencang, lalu bergegas mundur satu langkah dengan ekspresi yang tetap terlihat datar sambil berkata, "Pak, cara gombal seperti ini sudah ketinggalan zaman."
Damian tidak tahu harus berkata apa.
Dia kembali melangkah maju sambil menatap Alice dengan tatapan yang makin tajam.
Damian berkata di dalam hati: "Apa dia benar-benar nggak mengenaliku? Atau nggak ingin mengenaliku?"
Tinggi badan Damian yang mendekati 190 cm. Itu memberikan rasa tekanan yang tidak terlihat bagi Alice yang hanya memiliki tinggi badan 168 cm.
Pria yang ada di depan matanya saat ini sangat berbeda dengan pria yang sopan dan lembut tadi.
Alice kembali mundur dua langkah, tetapi Damian terus menatapnya dan kembali maju dua langkah. Alice ingin mundur lagi, hanya saja punggungnya sudah menyentuh dinding.
"Kamu benar-benar nggak mengenalku? Lenni Cavali?" tanya Damian sambil menopang tangannya ke dinding dan menatap Alice dengan tatapan yang dalam.
Damian menopang salah satu tangannya di dinding dan menatap Alice dengan tatapan yang penuh perasaan dan ekspresi yang rumit.
Hati Alice berdebar kencang setelah mendengar nama Lenni Cavali.
Tujuh belas tahun yang lalu, Alice dibawa pulang oleh keluarga Cavali karena kelalaian dan dia menjadi nona besar di keluarga tersebut selama enam tahun lamanya.
Sebelas tahun yang lalu, kepala keluarga Cavali meninggal dan sebelum meninggal, dia menunjuk putra ketiganya sebagai pewaris keluarga Cavali. Namun, satu malam sebelum putra ketiganya naik tahta, dai tiba-tiba dibunuh oleh seseorang.
Semua bukti di tempat kejadian menunjukkan bahwa pelakunya adalah ayah Alice saat itu, yaitu Hendra Cavali.
Semua orang menyalahkan dan menuduh Hendra membunuh saudaranya sendiri karena ingin merampas kekuasaannya. Setelah itu, Hendra pun dipenjara.
Ibu Alice tidak percaya kalau suaminya akan membunuh saudara kandungnya sendiri. Oleh karena itu, dia pun berusaha menyelidiki hal ini selama berbulan-bulan. Setelah menemukan beberapa petunjuk, dia pun memutuskan untuk kembali ke keluarga Cavali. Hanya saja, dia mengalami kecelakaan mobil dan mati ditempat bersama sopir.
Waktu itu, nenek Alice mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Untuk menjaga keturunan keluarga Hendra, dia memutuskan untuk membakar rumahnya sendiri dan berpura-pura mati. Setelah itu, dia pun membawa Alice untuk bersembunyi di pedesaan agar bisa tumbuh besar dengan selamat …
Perasaan Alice menjadi begitu kacau ketika teringat akan masa lalu.
Meski saat ini Alice sudah tahu kalau Hendra bukan ayah kandungnya, dia tetap berterima kasih atas jasa pengasuhannya yang tidak akan pernah terbayar olehnya seumur hidup.
Alice kembali ke kota Binsar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mencari bukti yang kuat agar bisa membela ayah angkatnya dan membalas dendam atas kematian ibu angkatnya di kota Canai.
Sebelum menemukan pembunuhnya, Alice tidak akan percaya pada siapa pun dari keluarga Cavali.
Termasuk pria yang ada di depan matanya saat ini, walaupun dulunya mereka memiliki hubungan yang sangat dekat!
"Aku bukan Lenni Cavali, namaku Alice Hermawan," ujar Alice setelah menyimpan rasa takutnya. Dia tidak sengaja menatap kedua mata Damian yang ada di depannya.
"Nggak, kamu seharusnya bermarga Amarta sekaligus nona besar di keluarga Amarta," ujar Damian sambil menggertakkan giginya.
Mendengar ini, bulu mata Alice yang lebat bergetar pelan. Setelah berpikir sejenak, dia pun merasa kalau ini bukanlah hal yang perlu dirahasiakan.
"Karena kamu sudah tahu kebenarannya, kamu juga harus mengerti kalau kita sekarang nggak ada hubungan lagi, tolong minggir," ujar Alice.
Damian segera berkata, "Kamu … "
Di dalam mata Damian yang memerah itu, terpantul wajah dingin Alice. Dia tidak mengerti kenapa gadis yang begitu dekat dengannya dulu bisa berubah menjadi begitu acuh tak acuh.
Damian tiba-tiba mengerutkan keningnya ketika terpikir akan sesuatu. Wajah tampannya mulai berkerut dan ekspresinya terlihat begitu menderita.
Melihat ini, Alice juga mengerutkan keningnya. Dia lalu melirik ke arah tangan Damian di dinding dan melihat begitu banyak urat yang muncul di tangannya. Dia terlihat seperti sedang berusaha menahan diri.
Apakah Damian sakit? Penyakitnya kambuh?
"Kamu sakit … hm … " ujar Alice.
Ketika Alice baru saja membuka mulutnya, tenggorokannya tiba-tiba dicekik oleh tangan yang kuat.
Kedua mata Damian semakin merah, dia lalu berkata dengan napas yang berat dan ekspresi yang menderita, "Mengapa … mengapa kamu meninggalkanku … "
Kekuatan tangannya tidak berkurang dan membuat Alice tercekik hingga sulit bernapas.
Alice mencoba untuk membuka cengkraman tangannya, tetapi sama sekali tidak berguna. Wajah kecilnya perlahan memerah …
Ketika berbalik, Calvin sangat terkejut melihat Damian sedang mencekik leher Alice. Dia segera berlari menghampiri mereka.
"Kak Damian, cepat lepaskan! Apa kamu ingin membunuhnya?" teriak Calvin.
Wajah kecil Alice terlihat begitu merah karena kesulitan bernapas.
Dia akan meninggal kalau hal ini terus berlangsung.