Dia masih mencintaiku
"Sudahlah, kamu gak usah berkilah. Kalaupun itu benar, aku sudah tidak perduli lagi."
"Mas, apa Mas yakin sudah tidak ada cinta untukku dihatimu Mas?"
Dia hanya diam tak menanggapi ucapan ku.
"Apa Mas yakin tidak percaya dengan ucapan ku, Mas?" Mimik wajahnya berubah menjadi sendu. Aku tahu apa yang ia pikirkan saat ini. Dia ingin percaya padaku. Tapi karena egonya lebih tinggi sehingga menutup mata hatinya.
"Kamu yang pertama Mas, yang pertama merenggut kesuciannku."
"Apa kamu bisa membuktikan itu? Tidak, kan." Wajah sendunya berubah menjadi amarah saat aku mengatakan kebenaran itu. Aku hanya diam, tak tahu harus bicara apa lagi. Bukti? Bukti seperti apa yang di minta mas Guna. Bagaimana bisa aku membuktikan kalau aku benar-benar tidak pernah membohonginya.
"Kamu tidak bisa kan, membuktikan itu. Ah, sudahlah buang-buang waktu ku saja." Dia kemudian pergi meninggalkan ku, tapi aku mengejarnya Hingga aku menabrak pelayan cafe yang sedang membawa kopi panas.
"Aghhhr, panas, panas!!" Aku mengibas-ngibaskan tanganku yang terkena tumpahan kopi panas itu.
Mas Guna yang mendengar aku kesakitan kemudian menghentikan langkahnya dan berbalik kearah ku. Dia melihat kearah tanganku yang memerah, dengan cepat dia menghampiri ku.
"Kamu gak apa?" Diraihnya tanganku yang melepuh itu. Aku bisa melihat masih ada cinta yang kuat dari mata Mas Guna. Perhatian nya masih sama padaku. Terbukti saat dia terlihat khawatir denganku saat aku mengerang kesakitan.
Mas Guna membawaku untuk duduk di tempat kami duduk tadi. Dia memanggil pelayan cafe untuk mengabaikan obat untuk tanganku yang melepuh.
"Pasti sakit sekali, ya?" Dia tampak meniup-niup di bekas tanganku yang luka.
"Mas!" Aku memanggilnya, perlahan dia melepaskan tanganku.
"Aku melakukan itu karena aku nggak mau kamu terluka," ujarnya.
"Apapun alasan mu, aku seneng kamu masih perhatian denganku." Tak lama kemudian pelayan datang membawa obat yang di minta mas Guna. Mas Guna langsung mengambil obat itu kemudian di bukanya setelah itu di oleskannya ditangan ku.
Perhatiannya yang seperti itu yang membuat aku jatuh cinta pada mas Guna. Dan sampai sekarang cintaku tak sedikitpun berkurang untuknya.
"Ya sudah, aku permisi dulu." Usai mengobati tanganku dia pamit padaku.
"Mas, tolong antarkan aku. Aku tidak bisa menyetir dalam keadaan tanganku yang seperti ini." Dia menghentikan langkahnya, tampak sedang berfikir. Tak lama setelah itu dia berkata
"Ya sudah, ayo!" Aku tersenyum lega saat dia tidak keberatan untuk mengantarku. Tidak menunggu lama lagi, aku berjalan mengikutinya.
Sampainya di parkiran, dia juga membukakan pintu mobilnya.
"Masuklah!" Perintahnya dengan suara lembut. Rasanya aku ingin sakit terus seperti ini. Agar Mas Guna memperhatikan ku dan tidak berbuat kasar lagi padaku.
Aku masuk kedalam mobilnya. Setelah sesaat disusul oleh Mas Guna. Sebelum melajukan mobilnya dia sempat melirikku. Aku sangat senang sekali. Dia benar masih mencintaiku.
Karena sikapnya itu, membuat aku semakin yakin untuk tetap memperjuangkan mas Guna lagi.
"Apa aku harus mengantarmu ke rumah sakit?" Tanyanya memecah keheningan.
"Lukamu sepertinya agak sedikit parah. Aku takut kalau tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan infeksi." Dia masih tetap fokus menyetir sembari sesekali melirik ke arahku.
"Tidak perlu Mas, aku gak apa. Sakit di tanganku ini tidak sebanding dengan sakit yang aku rasakan." Aku mulai terbawa suasana dengan perhatiannya. Dia hanya diam tak menanggapi ucapan ku.
"Kamu menalakku di malam pertama kita. Hanya karena tidak ada berkas darah di tempat kita bercinta. Lantas kamu menuduhku tidak perawan lagi. Kamu tidak percaya padaku, Mas?" Aku melihat ada raut penyesalan di wajah mas Guna.
"Sudahlah, gak usah bahas itu lagi."
"Jika Mas mau merubah keputusan Mas. Aku akan dengan senang hati menerimamu kembali, Mas."
"Aku tidak akan merubah keputusan ku sebelum kamu bisa membuktikannya padaku. Kalau kamu memang tidak pernah melakukannya dengan siapapun," ujarnya tanpa menoleh ke arahku.
Sejenak diantara kami tidak ada yang bersuara. Tak lama kemudian, dering ponsel mengusik indera pendengaran kami. Sumber suara ponsel itu dari milikku. Aku mengambil ponselku yang masih berdering itu di tas. Setelah mengetahui siapa yang menelpon, aku geser tombol telpon berwarna hijau dan terdengar suara seseorang dari seberang.
"Assalamualaikum, Pak Devan." Sekilas mas Guna melirikku saat aku sebut nama pak Devan, atasanku.
"Inshaa Allah nanti saya akan kesana." Aku menutup ponselku dan memasukkan kembali kedalam tasku.
"Ngapain Pak Devan menelpon kamu, di hari libur seperti ini!" celetuk mas Guna dengan nada tidak suka.
"Aku diminta Pak Devan untuk menemaninya makan malam dengan klien yang dari Surabaya," jawabku jujur. Seketika dia menghentikan mobilnya secara mendadak, membuat aku hampir terpentok darkboks mobil.
"Aneh, kenapa kamu yang menemaninya. Harusnya kan sekertaris atau assisten nya!" Kemudian dia menatap ke arahku. Aku bisa melihat, ada rasa cemburu di mata mas Guna.
"Karena kemarin kan meetingnya sama aku Mas. Jadi ya makan malamnya sama aku juga dong. Kenapa Mas, kamu cemburu?" Aku tersenyum padanya dan menggoda mas Guna, dia langsung mengalihkan pandangannya ke kemudi.
"Aku tidak cemburu! Hanya saja,"
"Hanya saja apa Mas?"
"Ah, sudahlah. Terserah kamu mau jalan sama siapa, bukan urusan ku." Dia menghidupkan mesin mobilnya lagi dan langsung melajukan dengan kecepatan tinggi. Terlihat jelas, dia tidak suka kalau aku jalan dengan lelaki lain. Tapi dia begitu gengsi untuk mengatakannya.
Malam harinya, aku baru saja melaksanakan sholat magrib dan bersiap diri untuk makan malam bersama pak Devan. Sebenarnya ini bukan cuma makan malam saja. Tapi ini adalah trik pak Devan supaya investor dari Surabaya itu mantap bekerjasama dengan rumah sakit tempat aku bekerja. Rencananya Pak Devan mau menambah beberapa ruangan lagi, karena mengingat banyaknya jumlah pasien akhir-akhir ini membuat kekurangan ruang rawat. Jadi, rumah sakit tempat aku bekerja sangat memerlukan suntikan dana yang besar saat ini.
Pak Devan akan menjemput ku karena aku belum bisa mengendarai mobilku. Tanganku masih sakit. Tepat pukul tujuh malam, pak Devan tiba di rumah. Aku berpamitan pada nenek setelah itu menemuinya di luar.
Pria berusia 27 tahun itu nampak berdiri di sisi mobil menunggu kehadiran ku. Seulas senyuman dia tunjukkan saat aku sudah ada di hadapannya.
"Kamu sudah siap?"
"Sudah Pak, ayo kita berangkat sekarang."
"Okey."
Kami sudah ada di dalam mobil saat ini. Pak Devan mulai melajukan mobilnya keluar dari pagar rumah dan menuju ke jalan. Saat mobil kami melintas, aku seperti melihat mobil milik Mas Guna terparkir tak jauh dari rumah. Tapi aku ragu, mana mungkin dia ada disitu. Kurang kerjaan banget dia.
Dua puluh menit kemudian kita sampai ke restoran yang terhubung dengan hotel di atasnya. Kami kemudian turun dari mobil untuk masuk ke dalam menemui klien kami yang sudah terlebih dulu sampai di sana.
Restoran mewah bernuansa Eropa menyambut kedatangan kami. Pak Arifin yang duduk di salah satu bangku tak jauh dari tiang besar melambaikan tangannya pada kami. Kami pun segera menghampirinya.
"Selamat malam Bu Dewi dan pak Devan," sapa nya ramah pada kami berdua.
"Selamat malam Pak Arifin. Maaf membuat anda lama menunggu," balas pak Devan menyalami beliau. Begitupun juga denganku.
"Bu Dewi, kenapa tangannya? Kok di perban seperti itu." Pak Arifin memperhatikan tanganku yang terbalut perban.
"Terkena kopi panas Pak," jawabku.
Kami kemudian duduk dan langsung membahas kerjasama yang akan kita jalin. Sembari menikmati hidangan yang kami pesan malam itu, akhirnya pertemuan itu menemui kesepakatan. Pak Arifin bersedia menginvestasikan dananya di rumah sakit tempat aku bekerja. Makan malam itu diakhiri dengan saking bersulang minum Wine, sebagai penghormatan untuk klien kami. Tapi tidak denganku, aku menolaknya karena aku tidak terbiasa minum, minuman keras seperti itu.
To be continued