Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

"Sepuluh juta? Banyak sekali! Valery, kamu nggak perlu memberi uang sebanyak ini pada Ayah. Saat ini, harga tomat sangat murah, cuma 600 perak per kilogram. Bahkan di kota saja cuma dijual 1,600 rupiah." "Terus, harga beli kubis juga cuma 200 sampai 400 perak per kilo." Valery tahu bahwa harga sayuran sangat murah, tetapi dia tidak menyangka bahwa akan semurah itu. Henry jelas meragukan pernyataan putrinya. Sebagai seorang petani yang sering memanen dan menjual sayurannya sendiri, dia tahu bahwa pendapatan terbaik dari hasil panen biasanya hanya sekitar empat hingga enam juta. Bahkan, kadang-kadang pendapatannya hanya dua atau empat juta saja. Selain itu, proses menanam tomat, mulai dari penyemaian hingga panen, membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan. "Selain tomat yang kita panen dalam tiga bulan terakhir, tanaman apa lagi yang kita tanam?" tanya Valery. "Ayah juga menanam semangka, tapi masih perlu satu bulan lagi untuk matang," jawab Henry. Keluarga Valery mengandalkan penanaman buah musiman, sehingga harga sayuran yang dihasilkan cenderung tidak terlalu tinggi. Jika mereka memiliki rumah kaca, proses budidaya dan panen akan menjadi lebih cepat. Selain itu, dengan menanam berbagai jenis sayuran dan buah musiman, mereka dapat memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Saat mengingat ucapan ayahnya bahwa harga kubis sangat rendah dan waktu tanamnya relatif singkat, Valery pun mulai membuat rencananya sendiri. "Ayah, setelah tomat ini matang, kita tanam kubis lagi saja!" ujar Valery. "Kubis? Nggak bisa! Kalau ditanam sekarang, pasti nggak laku. Kita harus menunggu sampai bulan November baru bisa menanamnya!" tegas Henry. Saat bulan November dan cuaca makin dingin, kubis menjadi komoditas yang sangat digemari. "Ayah, tapi pelangganku yang ada di kota sudah pesan kubisnya. Kita tanam saja kubisnya. Aku jamin kita nggak akan rugi!" kata Valery dengan ekspresi serius. "Nak, sepertinya kamu nggak paham tentang produk pertanian. Sekarang, kubis benar-benar nggak laku di pasaran," ujar Henry berusaha untuk menjelaskan. "Ting!" Tiba-tiba, ponsel Henry berbunyi. "Dana sebesar Rp 4.000.000 telah ditransfer ke rekening Anda." Henry terkejut saat melihat putrinya kembali mengirim uang ke rekeningnya. Tangannya pun langsung gemetar tak terkendali. Dalam waktu singkat, putrinya telah memberinya uang sebesar 14 juta rupiah! Jumlah itu setara dengan hasil penjualan sayurannya selama setengah tahun! Sebagai seorang petani sayur, mendapatkan penghasilan 20 juta dalam setahun adalah pencapaian yang luar biasa dan memerlukan kerja keras. "Ayah, dengarkan aku. Setelah ini, kita tanam kubis saja!" ujar Valery. "Oke! Aku akan menanamnya. Aku akan beli bibit kubisnya sekarang juga!" seru Henry dengan semangat. Dengan uang yang dimilikinya, dia pun segera pergi ke toko bibit. Kemudian, sisa uangnya dia berikan kepada istrinya, Yassie. "Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana? Apa kamu diam-diam menyimpan semua uang peganganmu?" tanya Yassie penasaran. "Valery yang memberikan semua ini padaku. Dia sudah menjual semua tomat yang ada di sawah! Aku juga sudah sepakat dengannya untuk menanam kubis bulan depan." "Aku akan ambil beberapa ratus ribu untuk beli bibit kubis dan menanamnya semua," tambah Henry dengan gembira. Dia belum pernah mendapatkan uang sebanyak ini dari hasil menjual sayur. Jadi, dia bersyukur karena semua kerja kerasnya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Menjadi seorang petani sayuran memang melelahkan, tetapi aktivitas menjual hasil panenlah yang paling menyita pikirannya. Setiap harinya, dia harus berangkat ke kota dengan becak sejak pukul empat atau lima pagi dan menghabiskan hampir seharian penuh untuk berjualan. Tidak bisa dipungkiri bahwa dia dan istrinya memang merasakan kesulitan hidup berdua. Karena semua tanaman tomat di ladang mereka sudah terjual, mereka pun kini tidak perlu lagi pergi ke pasar untuk berjualan, sehingga mereka dapat menghemat banyak tenaga. Valery pun berencana menyewa sebuah gudang di kota untuk mengelabui orang-orang. Dia akan membawa hasil panen ke gudang tersebut, lalu baru memindahkannya ke dalam ruang dimensinya. Di sisi lain, Michael juga menyadari bahwa persediaan makanan di dalam ruang dimensinya telah berkurang setengahnya. Setengah dari persediaan tersebut adalah perhiasan yang telah dia kumpulkan, sedangkan sisanya adalah makanan dan minuman yang disiapkan Valery untuknya. Dia pun bisa merasakan bahwa ruang dimensinya agak membesar, yang mana menunjukkan bahwa kristal energi yang dia berikan pada Valery bekerja dengan efektif. Kemudian, dia memasukkan dua kristal energi lagi ke dalam ruang dimensi dan menunggu Valery menyerap energinya. Saat ini, dia dan Luke sedang dalam perjalanan menuju markas. "Aku menemukan cincin emas!" seru Luke dengan gembira sambil melepaskan cincin emas dari tangan sebuah kerangka. Untungnya, Valery tidak mengetahui asal-usul semua emas yang mereka temukan. Jika dia tahu, dia pasti akan mengalami trauma. Markas mereka tidak terlalu jauh dari lokasi tersebut, tetapi karena tidak memiliki kendaraan, mereka terpaksa berjalan kaki. Michael pun berangan-angan ketika ruang dimensinya menjadi makin besar, dia bisa menyimpan mobil di dalamnya. Dengan begitu, dia akan memiliki kendaraan sendiri. Setelah kiamat, semua mobil sudah tidak berfungsi karena rusak parah dan bensinnya pun terkontaminasi hujan asam. Beberapa stasiun pengisian bahan bakar pun banyak yang hangus terbakar selama berminggu-minggu. Saat ini, akhirnya mereka sampai di markas darurat yang dibangun dari tenda-tenda seadanya. Kondisi markas itu sangat memprihatinkan, kotor, dan tidak teratur. Bahkan tidak ada dinding yang mengelilinginya. Markas ini sebenarnya adalah bekas pangkalan militer yang telah mereka sulap menjadi tempat tinggal. "Kak Michael, Kak Luke, syukurlah kalian sudah kembali!" seru seorang pria berpakaian compang-camping dengan mata berkaca-kaca. "Kak Michael, ada banyak anak-anak yang demam tinggi dan nggak kunjung sembuh," ujar pria itu dengan cemas. Adiknya sendiri pun termasuk salah satu dari mereka yang mengalami demam. "Kalau kita nggak segera menemukan obat penurun panas, mereka bisa meninggal," lanjutnya dengan nada pilu dan mata berkaca-kaca. "Tenang, aku punya obatnya!" kata Michael. Di apotek-apotek kota mereka, sebagian besar obat sudah kedaluwarsa atau habis dijarah. Michael pun segera mengeluarkan beberapa botol obat dari ruang dimensinya seraya berkata, "Berikan dulu obat ini pada anak-anak. Kalau kurang, nanti aku carikan lagi." "Terima kasih banyak, Kak Michael!" seru pria itu dengan penuh syukur. "Kita punya obatnya! Kak Michael bawa obat buat kita! Anak-anak pasti akan sembuh!" seru pria itu dengan gembira. Saat mendengar kabar bahwa ada banyak anak-anak yang demam, Luke pun segera berlari menuju gubuk darurat tempatnya tinggal. Kemudian, Michael pun segera mengikutinya. Gubuk itu dibangun dari tenda bekas militer. Di dalamnya, duduk seorang wanita dengan wajah pucat. Wanita tersebut tidak lain adalah istri Luke yang bernama Titian Ramh. Meskipun baru berusia dua puluhan tahun, dia tampak jauh lebih tua karena kulitnya yang kusam dan pucat. Luke menikah di usia muda, sementara Michael masih melajang. "Anak kita mana? Bagaimana keadaannya?" tanya Luke dengan cemas. Dengan tubuh lemah, Titian menggendong anaknya yang berusia dua tahun. Namun, tubuh anak itu tampak lebih kecil dari usianya. Wajah anak itu pucat dan kurus, tanda kekurangan gizi. Di hadapan mereka, terdapat panci kecil berisi cairan hitam pekat yang diambil dari pohon. Cairan itu bersifat asam, beracun, dan dapat menyebabkan diare parah pada orang dewasa, bahkan kematian pada anak-anak. "Kita sudah nggak punya makanan lagi. Anak kita sudah dua hari nggak makan," ratap Titian dengan suara serak. Bibirnya pecah-pecah dan sorot matanya terlihat kosong. "Tenang, aku bawa makanan!" Luke segera memandang Michael dengan tatapan penuh harap. Michael pun langsung mencari makanan yang disiapkan Valery di ruang dimensi dan mengeluarkan susu bubuk kedelai. "Ini susu bubuk kedelai. Kamu bisa memberikannya untuk anakmu," ujar Michael. Mata Titian langsung berbinar saat melihat susu bubuk kedelai itu. Akhirnya, anaknya bisa makan sesuatu! "Dean, bangun! Ayahmu bawa makanan untukmu." Luke segera mengambil botol kosong, mengisinya dengan air mineral, lalu mencampurnya dengan susu bubuk kedelai. Dengan tangan gemetar karena gembira, Titian menerima botol itu dan memberi makan Dean dengan perlahan-lahan. Dean membuka mata dengan lemas. Sepertinya dia bahkan tidak memiliki tenaga untuk makan. Namun, karena ada makanan di depannya, insting bertahan hidupnya pun muncul kembali. Dean pun meminum susunya dengan lahap hingga habis setengah botol. "Jangan minum terlalu banyak," kata Luke. "Kamu sudah lama nggak makan apa-apa, jadi pelan-pelan saja." "Di sini juga ada mi instan. Luke, cepat buatkan mi rebus untuk Titian," ujar Michael. Akhir-akhir ini, makanan makin sulit didapat. Bahkan tanaman di sekitar yang beracun pun sudah banyak yang dipetik dan dimasak. Tanaman yang sudah bermutasi tersebut sangat beracun dan ada banyak orang yang sakit karena terlalu banyak memakannya. Jadi, tidak ada yang tahu apakah orang-orang itu bisa terus bertahan hidup dalam waktu yang lama. "Aku akan pergi untuk memeriksa anak-anak lain dan melihat apakah mereka punya obat yang cukup," ujar Michael. Luke pun menangguk, lalu segera menyalakan api untuk memasak mi instan untuk istrinya. Namun, aroma sedap yang dihasilkan dari mi instan tersebut menarik perhatian orang-orang di sekitar.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.