Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 11

Orang-orang pun berbondong-bondong menawarkan hasil panen mereka kepada Valery. Saat ini, penduduk desa mengalami kesulitan dalam menjual hasil panen. Mereka mampu menghasilkan panen yang baik, tetapi kendala utama terletak pada pemasaran produk pertanian mereka. Jika menjual melalui internet, para penduduk desa merasa sangat dirugikan karena harus menanggung biaya pengiriman yang tinggi. Biaya produksi yang mereka keluarkan pun tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Sejak awal, bertani memang dianggap sebagai pekerjaan yang melelahkan. Sebagian besar penduduk desa biasanya menjual hasil panen mereka ke kabupaten atau kota-kota yang ada di sekitar. "Oke, oke. Aku akan memeriksa apa yang aku butuhkan dulu. Setelah itu, aku akan hubungi kalian!" ujar Valery. Dia tidak menyangka bahwa pembelian ubi jalar dalam jumlah besar akan menimbulkan antusiasme yang tinggi dari orang-orang desa. Wendy yang harusnya menjadi sorotan akan pernikahannya pun seakan terlupakan di tengah kesibukan tersebut. Karena besok Valery tidak perlu menjadi pendamping pengantin lagi, dia pun memutuskan untuk tidak menghadiri pernikahan tersebut. Dia akan mengurus hal lain yang lebih penting! Namun, sebelumnya, Valery telah memberikan uang sumbangan kepada Wendy sebesar 400 ribu. Dia merasa sudah kaya dan menganggap jumlah tersebut tidak seberapa. Kini, Valery sudah memiliki puluhan juta rupiah! Dia pun yakin akan mendapatkan lebih banyak uang lagi di masa depan. Di desa, memberi uang sumbangan sebesar seratus ribu kepada pengantin yang bukan keluarga dekat sudah menjadi hal yang lumrah. Sementara di kota, uang sumbangan yang diberikan biasanya mulai dari 400 ribu dan bahkan sering kali mencapai satu juta. Awalnya, Wendy merasa iri saat melihat kondisi kulit wajah Valery yang lebih cerah darinya. Namun, setelah menerima uang sumbangan sebesar 400 ribu dari Valery, suasana hatinya pun menjadi lebih baik. Dia pun berbicara kepada Valery dengan penuh antusias. Tidak bisa dipungkiri, uang memang bisa membeli kebahagiaan. Sore harinya, saat Valery pulang, Henry, Yassie, dan Nenek Erna sudah menunggunya dengan penuh harap. Sebelum sempat masuk ke halaman rumah, Yassie sudah bertanya dengan penuh semangat. "Valery, Ibu dengar kamu membeli semua ubi jalar milik Eva dan kentang milik keluarga Sirius." Di desa, berita apa pun akan menyebar dengan sangat cepat ke seluruh penjuru dalam waktu beberapa jam saja. "Ya, aku punya teman di Malka. Jadi, aku beli banyak sayur untuk dikirim ke sana." "Aku sudah beli semua semangka dan tomat hasil panen keluarga kita. Selain itu, aku juga sudah minta Ayah untuk menanam kubis. Nanti, aku akan beli semuanya." Setelah kiamat, tanah yang ada di tempat Michael tidak bisa lagi digunakan untuk bertani. Jadi, persediaan makanan yang disiapkan Valery akan sangat dibutuhkan. "Valery, kamu memang pembawa keberuntungan bagi keluarga kita! Saat ini, sayuran memang sulit laku di pasaran. Kamu sudah meringankan beban kami semua!" Jika tidak dibeli Valery, mereka harus mengangkut hasil panen mereka ke kabupaten setiap pagi. Harga sayuran lebih mahal di pagi hari dan akan turun di sore atau malam hari. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir panen makin melimpah, harga sayuran justru makin murah, sehingga petani makin sulit untuk mendapatkan penghasilan. Jika anak-anak muda di desa ini tidak pergi bekerja di kota, mungkin situasinya tidak akan seperti ini. Valery sudah membeli semua sayuran sekaligus, sehingga dia hanya perlu melakukan beberapa perjalanan lagi. "Ayah, kumpulkan saja semua sayurnya dan bawa ke gudang yang ada di kabupaten. Aku sudah punya alamatnya, jadi aku akan pergi bersamamu." "Oke, siap! Aku tahu menyekolahkanmu ke universitas memang nggak akan sia-sia. Kamu pasti akan sukses di kota," ucap Henry sambil tersenyum lebar. "Nanti, aku akan belikan Ayah traktor agar pekerjaan bertani Ayah nggak terlalu berat lagi," ujar Valery sambil tersenyum. "Harga traktor mahal sekali. Kalau nggak salah sampai puluhan juta!" ujar Henry dengan cemas. Dia merasa bahwa benda tersebut terlalu mahal. Bagaimanapun, pada masa itu mesin-mesin memang tidak murah. "Valery, kenapa kamu beli ubi jalar dari orang-orang? Kenapa kamu nggak bantu keluarga kita dulu? Pamanmu punya lahan luas dan panen ubi jalarnya bisa sampai beberapa ton. Kenapa nggak beli dari dia saja?" kata Nenek Erna sambil berjalan mendekat. "Tapi, Valery sudah beli banyak ubi jalar, apa dia masih butuh lagi?" tanya Yassie dengan bingung. Dia baru tahu bahwa Valery sudah membayar uang muka kepada Eva dan yang lainnya. Dia khawatir jika Valery membeli terlalu banyak tetapi barangnya tidak laku, Valery mungkin akan mengalami kerugian yang besar. Dia khawatir putrinya akan kehilangan banyak uang. "Kalau begitu batalkan saja kesepakatanmu dengan Eva dan beli dari pamanmu dulu," ujar Nenek Erna dengan acuh tak acuh. "Aku nggak bisa membatalkannya karena sudah bayar uang muka. Tenang saja, aku pasti akan pesan lagi dalam beberapa hari ke depan," jawab Valery. Bagaimanapun, Valery perlu berbicara dengan Michael terlebih dahulu tentang jumlah persediaan makanan yang dia butuhkan. Namun Nenek Erna langsung marah saat mendengar jawaban Valery. Raut wajahnya pun jadi terlihat sangat kesal. "Kenapa harus menunggu beberapa hari lagi? Valery, itu 'kan pamanmu sendiri. Harusnya dari awal kamu langsung memberitahu pamanmu, bukan malah membeli barang orang lain. Bagaimana, sih?" "Aku nggak bilang nggak mau membeli hasil pertanian Paman. Aku hanya menyuruh kalian menunggu beberapa hari lagi!" Valery menghela napas dengan kesal. Dalam hatinya, dia merasa neneknya terlalu pilih kasih. "Kalau begitu, kamu bisa memberiku uang muka satu juta dulu. Nanti, aku yang akan berikan uang itu ke Pamanmu. Kita pastikan dulu berapa harga ubi jalar darinya." Valery sebenarnya tidak masalah dengan uang satu juta, tetapi sikap neneknya membuatnya kesal. "Aku sudah nggak punya uang lagi. Nanti kalau ubi jalar yang sudah aku kumpulkan laku, baru aku punya uang. Lagi pula, Paman 'kan keluarga kita, masa harus pakai uang muka?" "Kamu sudah kasih uang muka satu juta ke Eva, tapi ke keluargamu sendiri malah nggak mau? Valery, ingat, dia itu paman kandungmu!" Ketika melihat ibu dan putrinya mulai bertengkar, Henry berusaha menengahi dan berkarat, "Valery, kamu sudah bekerja keras seharian. Lebih baik kamu istirahat dulu di kamar." Namun, neneknya tidak mau mengalah. Dia terus memaksa Valery untuk membayar uang muka hari itu juga. "Sudah, sudah! Aku yang akan bayar uang muka satu jutanya." Demi menghindari perselisihan dan kekhawatiran akan kesehatan ibunya, Henry akhirnya membayar uang muka tersebut. Dia takut jika ibunya marah, kondisi kesehatannya akan memburuk dan kakaknya akan menyalahkan mereka karena tidak merawat ibunya dengan baik. Dia juga khawatir jika terjadi pertengkaran, tetangga-tetangga akan ikut campur dan menyebarkan gosip. Bagaimanapun, kemarin Valery baru saja mentransfer lebih dari 14 juta untuknya. "Kalau begitu, berikan uangnya padaku sekarang juga!" Nenek bersikeras dan dia tidak akan merasa tenang jika uang itu belum berada di tangannya. "Yassie, cepat ambilkan uang sejuta untuk Ibu." Yassie yang mengelola keuangan keluarga merasa agak keberatan, tetapi dia tetap menuruti permintaan ibunya. "Tapi, Valery belum memastikan apakah dia akan beli ubi itu atau nggak. Bagaimana kalau dia nggak jadi membelinya? Bukankah Valery akan rugi?" Yassie merasa sangat khawatir pada putrinya. Henry mengerti kekhawatiran istrinya, tetapi jika dia membiarkan ibunya terus membuat keributan, masalah ini akan berlarut-larut. Mungkin ibunya akan tinggal lebih lama di rumah mereka daripada pindah ke rumah kakaknya. "Cepat lakukan saja!" ujar Henry. Dalam hati, Yassie merasa sangat kesal karena keluarga kecilnya selalu menjadi pihak yang dirugikan. Keluarga suaminya terdiri dari dua kakak laki-laki, dua kakak ipar perempuan dan satu adik ipar perempuan. Namun, keluarga kecilnyalah yang selalu mengalami kerugian dalam berbagai situasi. Ketika mengingat kejadian terakhir, ibunya sudah tinggal di rumahnya selama setengah bulan lebih dan menimbulkan banyak masalah baginya. Dia pun akhirnya menganggap uang tersebut sebagai biaya untuk membuat pikirannya tenang dengan kepergian sang ibu ke rumah kakaknya. Namun, uang satu juta sangatlah besar dan hampir setara dengan pengeluaran bulanan keluarga! Setelah beberapa saat, Nenek Erna pun menerima uang itu dengan senang hati dan pergi dengan wajah berseri-seri. Saat melihat ibu mertuanya pergi dengan gembira, Yassie merasa sedih dan kesal. Henry pun menyadari kekesalan istrinya dan berkata, "Ibuku sudah tua, jangan bertengkar dengannya." "Bagaimana kalau putri kita rugi besar karena hal ini?" tanya Yassie dengan cemas. "Anggap saja uang itu adalah biaya agar kita nggak stres. Lagi pula, Valery sudah memberi kita uang hasil jualan sayur. Aku yang akan membayar uang muka itu agar hidup kita bisa damai," ujar Henry mencoba menenangkan istrinya. "Aku sudah nggak tahan lagi dengan kebisingan yang ditimbulkan." Ingatan akan pertengkaran dengan ibunya dan cemoohan seluruh desa membuat mereka berdua terdiam. Valery pun sudah pergi ke kamarnya. Sepanjang sore, ponselnya dibanjiri notifikasi yang berisi berbagai macam tanggapan positif terhadap novelnya. Sepertinya novelnya sukses besar! Karena melihat persediaan makanan di ruang dimensinya sudah habis, Valery pun segera menyiapkan pasokan makanan lagi dan memberi tahu Michael bahwa dia menginginkan semua novel di toko buku yang pernah dia berikan padanya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.