Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Di vila keluarga Vijendra. Sopir sudah menunggu di pintu. Begitu melihat Adelia datang, dia langsung membuka pintu mobil dengan hormat. Adelia melihat seorang pria sudah duduk bersandar di dalam mobil dengan santai. Pria itu terkesan tenang dan dingin, tetapi tahi lalat di leher pria itu menambahkan sedikit kesan penuh dambaan. Adelia sontak tertegun. Tadi pagi dia memberi tahu Justin hendak pergi ke toko obat tradisional untuk membeli bahan obat. Adelia tidak menyangka Justin mendahuluinya masuk ke dalam mobil. "Biar kutemani," kata Justin dengan nada datar. Adelia hanya balas mengangguk dengan ragu. Mobil pun melaju. Justin melihat-lihat ponselnya, sementara Adelia melamun menatap keluar jendela mobil dengan kikuk. "Den Justin, Bu Adelia, kita sudah sampai. Tapi, sayangnya nggak ada tempat parkir di depan Toko Obat Bosena." Sopir itu memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang terletak di ujung jalan. Adelia melirik kaki Justin, lalu berkata, "Pak Justin tunggu aku saja di dalam mobil." "Iya." Namun, Justin tidak tenang juga membiarkan Adelia pergi sendirian. Sementara Justin terus melihat ponselnya di dalam mobil bersama si sopir, Adelia berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Toko Obat Bosena adalah toko obat tradisional terbesar di Kota Hanara. Dari kejauhan, Adelia sudah bisa melihat kerumunan orang di sekitar toko. Adelia pun berjalan mendekat dan mendengarkan sejenak kehebohan yang terjadi. Ternyata para pelanggan datang ke tempat ini untuk meminta penjelasan terkait obat-obatan di Toko Obat Bosena yang dipalsukan dan itulah yang menyebabkan keributan ini. "Bahan obat-obatan kami adalah yang terbaik! Kalau kalian nggak punya buktinya, jangan seenaknya saja bicara!" tegur si ahli obat tradisional di sana dengan wajah yang memerah marah. "Bisa saja 'kan kalian yang sengaja berbohong!" "Enak saja kalau bicara! Aku masih punya resepnya!" "Ayo ganti rugi! Kalian cari uang, tapi caranya jahat banget! Gimana kalau ada pasien yang jadi sakit gara-gara makan obat kalian!" Si ahli obat pun langsung menghardik dengan kasar, "Cepat pergi dari sini! Nggak usah ribut-ribut lagi! Percuma juga menjelek-jelekkan bos kami!" Pintu toko pun ditutup dan kerumunan orang itu langsung ricuh. Mereka saling dorong. Tiba-tiba, terdengar jeritan seseorang. "Ada yang pingsan!" "Cepat telepon ambulans! Di sini ada dokter nggak?" Seorang pemuda terbaring di atas jalanan dengan wajah pucat, irama napasnya terdengar lemah dan dia tidak sadarkan diri. Semua orang lain yang lewat tidak berani menyentuhnya karena takut pemuda itu malah mati! Adelia segera mendekat sambil berseru, "Tolong semuanya menjauh! Kasih ruang buat bernapas!" Adelia pun membungkuk dan memeriksa. Kaki dan tangan pasien terasa dingin, matanya terbelalak. Ini adalah ciri-ciri pingsan biasa. Adelia mengeluarkan jarum dari balik pergelangan lengan bajunya, lalu menusukkannya ke titik DU20, GV26 dan lain-lain untuk membuat pria itu sadar. Setiap gerakan Adelia tampak tenang dan stabil, terlihat jelas dia menguasai teknik terapi akupunktur. "Nak, kamu beneran bisa atau nggak? Ini masalah nyawa, bukan saatnya kamu sok jadi pahlawan ... " Begitu salah seorang pria paruh baya di sana selesai berkomentar, pemuda tampan yang tampak lemah itu pun perlahan membuka matanya. "Oh, sadar, sadar." Dia sama sekali tidak menyangka betapa hebatnya gadis satu ini! Begitu sadar, Kevin Saputra malah melihat seorang gadis yang terlihat begitu cantik dan anggun seperti peri. Sebersit cahaya obsesif berkilat dalam pandangannya. Dia hendak mengucapkan terima kasih. Namun, si peri mendahuluinya dengan berkata, "Pinggang dan lututmu terlalu lemah, cairanmu kurang. Lebih baik kamu ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan secara menyeluruh. Karena ada batasan, jadi aku cuma bisa memberimu terapi akupunktur." Rasanya Kevin hampir pingsan lagi dengan napas tersengal. Setelah memastikan pemuda ini baik-baik saja, Adelia pun melepas jarumnya dan berjalan pergi. Karena ada masalah dengan obat-obatan di Toko Obat Bosena, dia memutuskan untuk membeli yang dia butuhkan di Toko Obat Norena yang terletak di seberang. "Nak, gadis tadi bilang cairanmu kurang, itu berarti kamu punya masalah impotensi. Dengarkan nasihatku, ya. Asetmu itu punya batas umur. Makin sering digunakan, makin nggak efektif. Kamu harus menjaga kesehatanmu baik-baik," nasihat kerumunan orang itu. Ya ampun, lebih baik dia tetap mati sajalah hari ini. "Kevin! Oh, putraku tersayang!" Bu Anara yang terlihat berkilauan dengan berbagai macam perhiasannya itu pun berjalan menghampiri sambil membawa tasnya. Dia mengusap air matanya samibl berkata, "'Kan sudah Ibu bilang jangan sembarangan makan obat tradisional begini! Kenapa sih kamu nggak nurut? Setiap hari kamu selalu saja beli obat di Toko Obat Bosena ini! Kamu kok malah percaya pada omong kosong para dokter gadungan itu!" "Jangan sebut namaku, Ibu!" desis Kevin yang terbaring lemah di atas jalan. Dia rasanya mau menangis, dia merasa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang peduli padanya. Para penonton yang berkerumun pun menceritakan apa yang terjadi barusan dengan bersemangat, sekaligus peringatan dari si dokter muda. "Di mana orang yang menyelamatkan nyawa putraku? Keluarga Saputra harus mengucapkan terima kasih dengan memberikan imbalan yang besar!" "Ah, itu dia di seberang jalan sana!" Bu Anara yang sangat mencintai anaknya itu sontak tertegun saat melihat wajah yang dia kenal! Kenapa malah wanita itu! Adelia bahkan tidak tahu ada yang mengenalinya. Dia kembali ke mobil dengan setumpuk bahan obat. "Kok lama?" tanya Justin sambil meletakkan ponselnya dan menatap Adelia. "Tadi ada insiden." Sebersit cahaya melintas dalam pandangan Justin, tetapi dia tidak bertanya lebih lanjut dan berkata, "Tadi pihak rumah meneleponku. Katanya adikku dan ayahku sudah pulang." "Bukankah itu berarti aku harus menyiapkan hadiah penyambutan atau semacamnya?" "Nggak usah, justru mereka yang harus menyiapkannya buatmu." Saat mereka berdua kembali ke rumah, suara TV dan orang mengobrol terdengar di ruang tamu. Begitu masuk, Adelia melihat seorang gadis yang cantik dan ceria berlari menghampirinya. "Kakak Ipar! Namaku Irena." "Halo." Adelia sangat menyukai gadis yang jujur dan apa adanya seperti ini. "Senang bertemu denganmu, Adelia. Maaf Ayah nggak hadir di hari pernikahan kalian," kata Daffa Vijendra, ayah Justin, seraya memberikan sebuah amplop tebal kepada Adelia. "Ayah nggak tahu kamu sukanya apa, jadi Ayah hanya bisa memberikan sesuatu yang biasa." Adelia pun melirik Justin. Justin mengisyaratkan istrinya itu untuk menerima pemberian ayahnya. "Terima kasih," ujar Adelia sambil menerima amplop uang yang tebal itu. "Kakak Ipar nggak usah sungkan denganku atau Ayah. Ayah punya banyak uang cadangan." Bu Jihan pun melirik putrinya dengan tajam. "Jangan bicara nggak sopan begitu. Kamu ini bagaimana sih." "Aku cuma senang bisa bertemu kakak iparku," sahut Irena. "Dia jauh lebih baik daripada wanita yang nggak punya hati nurani itu, yang kabur setelah kecelakaan. Untung saja dia itu dari Yayasan Bintang ... " "Irena!" Bu Jihan menyela putrinya dengan tegas, membuat Irena menciutkan pundaknya dengan takut. Dia juga baru menyadari bahwa tidak baik mengungkit soal wanita itu di depan Adelia. Yayasan Bintang? Apa ... maksudnya adalah Yayasan Bintang Bulan? Adelia merasa ragu dan tidak yakin. Nanti saja akan dia tanyakan langsung kepada Justin saat ada kesempatannya. "Pak, Bu," panggil Bibi Eni. "Tadi rumah lama menelepon, katanya malam ini ada jamuan makan malam keluarga Vijendra." Setiap bulan, keluarga Vijendra memang mengadakan jamuan keluarga selama satu hari. Jihan pun mengernyit dengan agak kesal. "Ngapain ada jamuan makan segala di tengah kondisi genting kayak gini? Sudah pasti mereka berniat jelek." "Kalau kamu nggak mau pergi, biar aku telepon mereka dan mengatakan kalau keluarga kita nggak akan datang," hibur Daffa. Daffa pun mengambil telepon, lalu langsung menelepon ke rumah lama dan menjelaskan situasinya. Telepon itu tidak ditutup. Ekspresi Daffa yang serius dan tegang bisa dilihat oleh semua orang. "Apa itu benar?" tanya Daffa dengan suara bergetar. Setelah mendapatkan jawabannya, dia pun menutup telepon dengan terkejut. "Ada apa?" tanya Jihan dengan cemas. Daffa melirik keluarganya sebentar, lalu berbisik di telinga Jihan. "Sungguhan?" tanya Jihan dengan kaget. "Iya. Ayahku sudah memverifikasinya." "Kalau gitu, ayo kita pergi! Sekalipun jamuan ini adalah jebakan, aku akan tetap menghadirinya! Tentu saja aku nggak akan melewatkan kesempatan sebagus ini," kata Jihan dengan tegas. "Ibu, ngapain sih menghadiri jamuan keluarga?" keluh Irena. "Mereka pasti akan menghina kita. Aku nggak mau melihat Revan yang sombong itu." "Kita harus hadir. Mereka bilang berhasil menemukan murid Roman yang katanya bisa menyembuhkan penyakit ini." Napas Irena pun tersentak dengan kaget. Dia merasa sangat senang dengan kabar ini. "Itu berarti kaki Kakak bisa sembuh!" Adelia pun menunduk menatap Justin. Dibandingkan dengan dia yang tidak terkenal ini, Justin pasti lebih percaya dengan murid Roman. Cahaya yang masuk melalui kaca jendela menyinari wajah Justin yang tampan. Sorot tatapannya terlihat begitu mendalam. Ekspresinya sama sekali tidak terlihat senang. Justin malah memegang pergelangan tangan Adelia dan berujar mengingatkan dengan lembut. "Nanti pas sampai di rumah lama, pokoknya kamu cukup berdiri di belakangku dan jangan ngomong apa-apa." Adelia sontak tertegun. Apa mungkin akan ada sesuatu terjadi di jamuan makan malam keluarga?

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.