Bab 7
Aktor?
"Apa semua pebisnis seperti kalian itu selicik ini?" tanya Adelia dengan susah payah.
Justin menyentuh lipatan di celananya sambil menjawab, "Wajar saja berbohong demi mendapatkan keuntungan."
Adelia pun menyadari bahwa menyewa aktor sebanyak ini juga tidak membutuhkan uang yang terlalu banyak. Proyek di tangan Justin jauh lebih bernilai tinggi.
"Terima kasih."
Adelia berujar dengan tulus.
Ucapan terima kasih itu membuat suasana hati Justin menjadi jauh lebih baik.
Tidak lama kemudian, mobil mereka tiba di rumah sakit. Adelia bergegas mengurus pendaftaran rawat inap.
Sewaktu masih muda, tubuh neneknya itu digunakan hingga titik darah penghabisan. Akibatnya, aliran darahnya menjadi tidak baik dan energinya habis.
Kemampuan pengobatan Adelia tidak mampu menyelamatkan nyawa neneknya. Dia terpaksa menabung demi membeli obat-obatan modern yang mampu memperpanjang usia neneknya.
"Cucuku, Nenek nggak mau dirawat di rumah sakit," kata Kamila sambil menarik lengan pakaian Adelia dengan tangannya yang kurus. "Tenang saja, Nenek akan kembali ke desa."
"Nggak boleh," tolak Adelia dengan tegas. "Nenek harus nurut padaku, ya. Dokter bilang penyakit Nenek bisa sembuh. Sudah, sini Nenek berbaring dulu. Aku mau bayar dulu."
Saat berjalan melewati Justin, langkah Adelia terhenti sesaat.
Namun, dia akhirnya meninggalkan kamar rawat inap tanpa mengatakan apa-apa.
"Maaf sudah merepotkanmu hari ini, Justin," kata Kamila sambil bersandar di atas bantal yang lembut. Matanya yang sudah renta dan kabur menunjukkan sorot rendah hati dan kebaikan.
"Gimanapun juga, dia itu sudah jadi istriku."
Justin duduk di kursi roda, kedua tangannya yang panjang diletakkan di atas lutut.
"Adelia benar-benar malang. Ayahnya meninggal muda, sementara ibunya membuangnya demi mengejar harta. Dia bisa belajar berkat bantuan orang baik, tapi dia sangat berwawasan."
Nenek Kamila berkata sambil mengusap air matanya dengan tangannya yang sudah kasar.
Justin jadi teringat saat Adelia mencium dan menyentuhnya. Tidak ada satu gerakan pun dari wanita itu yang terkesan anak baik-baik.
"Dia itu terang-terangan dan cukup keras. Dia nggak tahu bagaimana bersikap menyenangkan kepada orang lain. Dia nggak mungkin tunduk pada orang yang jahat, tapi dia nurut sama orang yang baik. Dia itu tipe orang yang akan membalas satu kebaikan orang lain sepuluh kali lipat. Apa kamu berkenan menjaganya, Justin?"
Justin menyimak kata-kata Kamila, lalu mengiakan dengan suara pelan.
Entah kenapa, kata-kata dalam hasil penyelidikan tentang riwayat hidup Adelia itu menjadi lebih jelas dan terbayang berkat cerita Kamila.
Adelia dan Justin menemani Kamila seharian dan baru meninggalkan rumah sakit sore harinya.
Di perjalanan pulang.
Di dalam mobil yang memiliki interior megah dan remang-remang.
Suara Justin memecah keheningan diantara dirinya dan Adelia.
"Apa ucapanmu sebelumnya masih berlaku?" tanya Justin, sebersit cahaya berkilat dalam pandangannya yang terkesan gelap dan sunyi itu. "Kamu bisa mengobati kedua kakiku?"
"Masih!"
Adelia langsung bersumpah. "Aku janji akan mengobati kakimu."
Kali ini, Justin percaya.
Mana mungkin dia tidak percaya dengan murid Roman si dokter pengobatan tradisional yang sudah dilatih selama sekian tahun?
"Siapa gurumu?"
Justin sudah punya dugaan, tetapi dia tetap ingin mendengarnya dari mulut Adelia.
"Aku belajar dari Kakek Roman, tetanggaku di desa," jawab Adelia dengan wajah yang memerah malu. "Dia nggak sepopuler si Pak Roman itu sih, tapi dia mengajarku dengan sungguh-sungguh. Dia mengobati semua orang di desa."
Sesuai dugaannya.
Adelia tidak tahu identitas gurunya yang sebenarnya, wanita itu juga tidak tahu bahwa Roman menetap di desa setelah mengubah namanya.
"Aku percaya padamu," kata Justin dengan nada santai.
Yah, tidak masalah.
Justin sudah menyembunyikan jejak-jejak Pak Roman sehingga tidak ada yang mungkin bisa mengaitkan seorang kakek di desa dengan dokter pengobatan tradisional. Anggap saja Justin melakukan ini agar tidak mengusik kehidupan masa tua Pak Roman.
"Penyakit Nenek sangat kompleks. Aku akan mempekerjakan seorang perawat untuk mengurusnya secara jangka panjang, kamu bebas menjenguknya di rumah sakit kapan pun kamu ada waktu luang. Biaya perawatannya akan dipotong dari biayaku saat berobat."
"Aku benar-benar berterima kasih, Pak Justin," kata Adelia dengan sorot tatapan yang terlihat begitu gembira. "Terima kasih sudah memercayai kemampuan pengobatanku."
"Adelia, mulai sekarang mereka semua pasti akan memohon-mohon padamu."
Semua orang itu buta, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sudah kehilangan harta karun yang berharga.
Justin pun pernah berada di posisi yang sama dengan mereka.
Adelia tidak paham apa maksud Justin. Yang jelas, suara pria itu terdengar begitu menyenangkan dan membuat hatinya terasa hangat, seperti cahaya bulan yang menyinari permukaan danau di saat malam.
Justin pun mengeluarkan sebuah kontrak dari laci yang terletak di konsol utama mobil, lalu memberikannya kepada Adelia.
Adelia menunduk menatap judul yang dicetak besar-besar di atas kertas itu. "Surat Perjanjian Pernikahan".
Dalam perjanjian tersebut, tertulis bahwa mereka akan bercerai setelah kaki Justin sembuh. Batas waktu maksimum perjanjian mereka adalah tiga bulan.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Justin juga akan memberikan Adelia satu set properti dan cek senilai miliaran.
"Kalau nggak ada klausul yang membuatmu keberatan, tanda tangani saja. Aku nggak ingin ada berutang budi, jadi sekalian anggap kontrak ini sebagai perjanjian kerahasiaan." Justin membuat kontrak ini setelah membaca hasil penyelidikan kemarin.
Adelia pun menengadah menatap Justin, lalu membubuhkan tanda tangannya yang anggun dan cantik itu.
"Senang bekerja sama denganmu, Pak Justin."
Saat tersenyum, mata Adelia yang berbentuk cantik itu terlihat begitu cerah dan menawan.
Justin sontak tertegun, lalu balas tersenyum kecil.
Hatinya yang selama ini tidak pernah tergerak pun terasa seperti digelitik oleh bulu yang lembut.
Bibi Eni segera menyambut kepulangan mereka berdua.
"Den Nathan datang berkunjung ke sini."
"Oke."
Adelia mendorong kursi roda Justin menuruni landaian. Begitu melewati pintu masuk, dia melihat seorang pria tampan sedang duduk di sofa. Beberapa helai poni yang berantakan menutupi dahi pria itu, dia terlihat seperti berdarah campuran dengan pupil mata berwarna biru tua.
"Justin."
Nathan segera bangkit berdiri. Begitu melihat Adelia, dia pun menyapa, "Oh, kamu pasti Adelia."
Dia sengaja ke sini untuk melihat seperti apa wujud wanita yang membuat Justin sampai harus mengerahkan kekuatan pribadinya.
"Ini Nathan, orang yang nggak penting. Kamu nggak perlu sopan-sopan dengannya," ujar Justin memperkenalkan atas dasar sopan santun.
"Hei, apa maksudmu aku nggak penting, hah! Sudah sekian lama aku mengabdi padamu!" Kalau bukan karena perlindungan dari Nathan, identitas lain Justin pasti sudah tersebar.
Adelia balas tersenyum kecil, sorot tatapannya terlihat sangat bahagia.
Melihat responsnya yang seperti ini membuat Nathan merasa agak kikuk.
"Justin, aku ke sini karena ada hal penting."
Adelia yang peka pun langsung berkata, "Kalian ngobrol saja, aku ke kamar dulu untuk bersiap-siap." Maksud Adelia adalah bersiap untuk melakukan sesi terapi akupunktur.
Justin mengangguk.
Setelah Adelia pergi, barulah Nathan berani bertanya dengan nada jahil, "Mau siap-siap buat apa? Bersiap buat bulan madu?"
"Pergi sana!"
Nathan pun terkekeh pelan, lalu bertanya, "Dia benar-benar murid si dokter pengobatan tradisional? Nggak kelihatan, ya! Ternyata langit masih berbelas kasihan padamu. Apa kamu nggak merasa dia terlihat agak mirip dengan ... "
"Pergi saja sana kalau kamu nggak ada urusan penting."
"Jangan gitu dong! Aku ke sini buat menyampaikan laporan kuartal Grup Viel ... "
Sementara itu, di rumah keluarga Andoko.
Sarah merasa sangat kesal, dia membanting semua kemasan kosmetiknya ke atas lantai.
"Dasar wanita jalang! Bisa-bisanya dia!" Sarah merasa begitu cemburu, tetapi terus menghibur dirinya sendiri.
Sekarang Justin sudah cacat, jadi Revan adalah pilihan terbaiknya.
Drrt, drrt ...
Ponsel yang Sarah letakkan di atas meja rias pun bergetar. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Sarah menarik napas dalam-dalam dan berujar dengan suara serak seperti sedang menangis, "Kak Revan, Justin jahat banget! Masa dia membawa ... "
"Suratnya dapat nggak?" tanya Revan dengan tidak sabar. "Aku nggak akan mau menikahimu kalau keluarga Andoko nggak bisa memberiku apa yang kuinginkan."
Ekspresi Sarah mendadak menjadi tegang.
"Kak Revan, aku sampai meminta Adelia menggantikanku menikah demi kamu."
"Sudah ya, kututup saja."
"Tunggu dulu!" Sebersit cahaya jahat pun berkilat dalam pandangan Sarah. "Aku punya ide! Kali ini pasti akan membuat keluarga putra kedua Vijendra memohon padamu dan menyerahkan surat pemindahan proyek itu dengan sukarela."
Sarah buru-buru menjelaskan rencananya. Revan yang berada di ujung telepon sana merasa sangat puas.
"Sarah, ternyata kamu lebih kejam daripada yang kukira!"
Rencana Sarah itu sama saja dengan memangkas rumput hingga ke akarnya.